Translate

FAHAM ANTROPOMORFIS


FAHAM ANTROPOMORFIS

Berasal dari bahasa Yunani antrophos “Manusia” dan morphe “Bentuk”, adala istilah modern, ditegaskan sejak abad kedelapan belas, menjelaskan kecenderungan universal secara praktis dalam membentuk gagasan-gagasan dan konsep-konsep keagamaan, dan dalam sebuah tingkatan dasar, untuk mengalami sifat-sifat ketuhanan, atau “Suci”(istilah tersebut digunakan karena kekurangan istilah yang tepat, tanpa keharusan menerapkan komitmen teori Rudolf Otto), dalam jenis-jenis dan bentuk yang paling mudah, yang ada diperuntukan bagi pemikiran manusia-yaitu, wujud manusia itu sendiri. Ide mempunyai sejarah yang panjang dalam pemikiran orang barat. Orang Yunani kuno, termasuk Patristik, literature yang berkenaan (meremehkan)kepada “anthropomorfis” mengartikan orang-orang pemeluk ide-ide anthropomorfis tentang ketuhanan. Istilah ini juga dipakai dalam bahasa latin oleh Augustin untuk mengembalikan terhadap mereka yang karena oleh “imaginasi pemikiran badaniah Dewa mereka dalam bentuk patung orang yang bisa dirusak” (patrologi Latina 43.39), dan dibawah pengaruhnya, hal ini berlanjut digunakan secara terus menerus oleh para penulis hingga akhir masa Leibniz pada abad kesembilan belas.

Pengertian dan Perbedaan
Dalam sejumlah keberadaan yang lebih umum, Anthropomorfis dapat didefinisikan sebagai gambaran Tentang non-material,”ruhani” yang menjelma dalam fisik dan bentuk manusia secara spesifik. Ide tentang bentuk manusia merupakan sebuah bagian penting dari definisi tersebut, karena bagaimanapun juga seseorang sebaiknya bersepakat dengan penyajian –penyajian dan manifestasi-manifestasi sifat ketuhanan dalam semua bentuk material yang mungkin.sudah tentu, perbedaan-prebedaan tajam sering berubah dan bahkan mengemuka, khususnya karena dalam banyak budaya kegamaan, dewa sering diasumsikan baik dalam mitologi dan iconografi(ilmu arca) sebagai bentuk hewan(yang bersuaraa keras,­theriomorfis); campuran, peranakan, bentuk setengah hewan-setengah manusia (yang bersuara/berbicara keras, therionthropis); atau “mustahil”imajinasi yang terlalu gila, dan bahkan bentuk yang aneh sekali. Dewa-dewa bisa dipahami atau dibayangkan secara keseluruhan atau sebagian berujud binatang, sebagaimana Hathor dan Anubis, Dewa Sapi dan Dewa Serigala dalam agama masyarakat Mesir Kuno, atau mereka mungkin memiliki binatang avataras , sebagaimana berlaku pada Wisnu yang berujud Ikan,kura-kura darat,manusia-singa dan babi hutan. Dewa dan dewi mungkin bisa memiliki kepala dan lengan yang banyak sebagaimana Brahma; dewi mungkin memiliki banyak payu dara, seperti pada dewi Ephesus(artemis); atau mungkin mereka diwujudkan dengan bentuk-bentuk wajah dan tokoh yang kasar “kejam/jahat” tanpa kombinasi-kombinasi alamiah dari bagian tubuh, sebagai penipu kepercayaan mesir dan India kuno, diantara lainnya, menyediakan sejumlah contoh yang banyak. Mengutip kembali terminologi Otto,  Seseorang dapat menentang hal yang mana itu tepat merepresentasikan kualitas theriomorfis dan therianthropis non-manusia, yang mana hal itu dapat memfungsikan mereka kedalam fungsi sebagai lambang-lambang ketuhanan sebagai “pelengkap yang lain”. (lihat; Binatang dan Therianthropis)
Sedangkan fenomena tentang anthropomorfis yang sesuai telah menjadi sebuah pusat permasalahan didalam sejarah keagamaan(kepercayaan), teologi dan filosofi keagamaan (dlm istilah-istilah kritis tentang agama yang menyebabkan semangat internal keagamaan untuk sebuah pemahaman yang lebih baik tentang simbol-simbol tersebut), peralihan dari theriomorfis dan anthropomorfis (menurut pengetahuan saat ini yang lama hingga beberapa dekade yang lalu) telah sering ditampilkan sebagai hasil perkembangan yang pasti.  Oleh karena itulah Hegel, dalam Lectures on the philosophy of history (mempelajari filosofi sejarah), memuji agama/kepercayaan orang Yunani karena Anthromorfisnya menandakan bahwa “seseorang yang oleh karena kebenaran spiritualnya, mendapatkan kebenaran yang asli pada dewa-dewa Yunani.” Di tempat lain, Lectures on Athestics “mempelajari atheistic”, Hegel menambahkan bahwa orang nasrani lebih superior ketimbang agama orang Yunani karena ia telah mengambil anthromorphis sebuah langkah yang jauh yang menentukan.Tuhan tidak hanya semata berbentuk manusia yang indah dan ideal dan artistik tapi, sebuah “kenyataan, tunggal, individual, Tuhan yang menyeluruh dan manusia yang lengkap, yang telah masuk kedalam totalitas dari syarat keberadaannya (wujudnya).” Pendirian yang ditandai ini berbeda dengan pandangan Puitis asal Jerman yaitu Schiller (1759-1805), yang menilai agama Kristen lebih rendah dari pada Agama orang yunani: “Ketika dewa-dewa melebihi mahluk, maka manusia jadi melebih Illahiah” (dewa-dewa yunani). Satu hal yang perlu ditambahkan dalam polemik pertengahan kedua-duanya islam dan judaism menghukum Kekristenan yang tidak hanya untuk nya "ajaran banyak tuhan"(pengertian doktrin trinitasnya) tetapi  juga untuk ajaran anthropomorfisnya.
            Sebuah perbedaan sering di buat antara anthrophomorfis fiskis (anthropomorfis yang sesuai) dan mental atau anthripomorfis psikologis yang juga disebut Antrhopopathis (i.e. bukan bentuk dan ukuran manusia tapi perasaan manusia: Cinta, benci, nafsu/keinginan, marah dll). Dengan demikian, sementara hanya ada beberapa kepercayaan yang dituangkan tentang keutamaan anthropomorfis didalam kitab taurat(perjanjian Lama), Tuhan digambarkan sebagai Cinta, belas kasih, pemaaf, pemarah dan pengadzab (pendosa dan penjahat), dan membalas dendam dirinya terhadap musuhnya. Bahkan, ketika pemikiran yang mengenai agama yang semakin melepaskan dewata dari  format mental dan phisik yang lebih kasar tentang anthropomorfis, maka tinggal beberapa unsur-unsur tidak dapat diperkecil lagi. Sebagai contoh, tipe tertentu tentang sejarah teologi (heilsgeschichte)menyatakan bahwa Tuhan “memiliki kehendak” bagi ciptaan dan mahluknya. Pada kenyataannya, Agama sering mengexpresikan istilah tugas-tugas manusia untuk mengabdi pada sebuah kehendak Illahiah dan Takdir. Sisa pokok ajaran anthropomorfis bagaimanapun juga adalah gagasan ketuhanan sebagai pribadi, bertentangan terhadap konsep ketuhanan orang-orang tertentu. Juga, ungkapan verbal, bukan masalah bagaimana, perumpamaan itu harus diwujudkan, menjaga/mempertahankan basic dari anthropomorfis ini; Tuhan bapak, tuhan ibu, pecinta, raja, penuntun, hakim. perumpamaan lisan dan gambar orang suci bisa sangat menjadi sesuatu yang berbeda bahkan ketika keduanya merupakan anthromorphis. Pun begitu, agama budha adalah sebuah agama metafisis yang esensial, karena candi-candi budha (teravada yang tidak melebihi Mahayana) dapat menjadi titik penuh dengan patung(ungkapan)anthropomorfis. Mitologi Shinto, disisi lain, juga bisa dikategorikan dalam anthropomorphis, akan tetapi tempat suci orang Shinto(setidaknya jika tidak terkontaminasi oleh pengaruh ajaran budha) adalah sebuah patung dan gambar kosong sebagaimana masjid dan sinagog(gereja orang yahudi).
            Pebedaan lain yang penting yang dapat terjadi antara apa yang mungkin disebut –anthropomorphis utama dan tambahan(lanjutan). Yang pertama merefleksikan kesederhanaan, naïf, tanpa level kritikan (atau prekritikal) langsung secara nyata,dan  “ besar-besaran”dan merupakan imaginasi mitologis. Yang terakhir adalah lebih dogmatis dan berhati-hati. Tentang pernyataan perasaan/pengertian anthropomorfic yang fundamentalis ini dibuat dan tidak dipertahankan sebab mereka mencerminkan ketidak dekatan tingkat kesadaran religinya, tetapi sebab mereka mencerminkan suatu posisi dogmatis. Kitab suci injil dan tulisan-tulisan gereja menggunakan bahasa antropologis(manusia), dengan demikian bahasa ini seharusnya menjadi literatur yang bisa diterima dan diimani. Banyak perbedaan dalam sejarah teologi muslim yang seharusnya dilihat dalam sinar/cahaya perbedaan ini.

Implikasi Teologis dan Filosofis
suatu survei dari semua kejadian anthropomorfis agama di dunia akan bersifat serupa bagi suatu survei menyangkut mitologi dan ilmu arca religius dunia. Artikel ini akan dibatasi pada tinjauan yang ringkas dan padat tentang implikasi teologis dan filosofis dari anthropomorfis, dan mungkin ini semua akan lebih menyoroti terutama pada sejarah pemikir barat, bukan karena perkembangan yang bersifat analogis  yang menjadi kelemahan dimanapun, tapi karena didalam sejarah pemikir barat  permasalahanya telah menjadi jelas dengan lebih konsisten dan sistematis. Sejarah agama barat juga memamerkan/menampakan sebuah permasalahan khusus dan menarik, yaitu tentang Agama (kaum)Kristen….(kutipan kamus Hegel diatas) Karena orang-orang kristen menganggap lebih dari hany sekedar avatara ketuhanan yang lain, atau manifestasi dan dengan demikian doktrin penitisan (inkarnasi) merupakan permasalahan antropologi yang paling lebar.-itulah makanya, dokrtin alami tentang manusia dan relasinya dengan ketuhanan-dan di dalam sebuah cara yang khusus. Tapi, meskipun berlaina dari penitisan, elemen “pribadi”  dalam ajaran teistik tetap ada, sebagaimana yang telah kita saksikan atau kita lihat, sebuah aliran antropomorfis yang tak tereduksi. Keadaan ini sebaik yang didefinisikan oleh sarjana perjanjian lama dan teologian Jerman  Benhard Duhm, ketika dia mengatakan bahwa masalah nyata tentang ajaran bibel (injil) adalah bagaimana untuk memeperoleh kisaran bukan pada antropomorfis tetapi “psiomormfisnya” dalam merepresentasikan Tuhan.
            Kebanyakan ajaran-ajaran memulai dengan keterusterangan dan menafikan ide-ide antropomorfis tentang nilai ketuhanan. (dewa-dewi) dan bahkan dalam tingkatan kemajuan mereka yang lebih tinggi lagi tidak berpikir secara tegas tentang kandungan dongeng sederhana tentang gagasan “ kesederhanaan/kebersahajaan”, meskipun tokoh spiritualnya mungkin mempertimbangkan ungkapan kasar antropologis dan menggantinya dengan bahasa yang lebih sophistis. Anggapan antropomorfis dan fsikis kemudian diterangkan (diterangkan jauh) darinya, sebaliknya mereka mungkin selanjutnya melebih-lebihkan dengan memberikan sebuah pemahaman spiritual yang lebih dalam.



Antropomorfis dan Kritik Agama
Ungkapan “kritik tentang agama” harus dipahami dalam beberapa tingkatan-tingkatan. Hal ini tidak membutuhkan keharusan menjadi ateistik atau tidak beragama. Ungkapan ini hanyalah menerangkan bahwa statemen-statemen dan representasi keagamaan (baik kesederhanaan, populer, tradisi, ataupun tentang normative) dikritik karena dugaan mereka yang tak pantas dan dalam hal yang sama berkelakuan tida bermoral. Kritian ini bisa datang dari luar-dari filosofi, sebagai contoh-atau dari dalam-karena itulah ketika kesadaran keagamaan menjadi lebih bersifat sophistic, bersih, dan kritis dengan sendirinya (sering dibawah pengaruh filosofis yang kuat dari luar) diantara contoh yang paling awal dan dulu terkenal dari kecenderungan ini adalah penulis yunani XENOPHASES (abad kelima) tentang fragmen (penggalan) tulisan-tulisannya yang terpelihara (dijaga). Dia secara ironis menulis bahwa orang-orang Ethiopia merepresentasikan tuhan sebagai sesuatu yang hitam atau gelap. Orang-orang Tracia melukiskan mereka bermata biru, berambut merah, dan “ jika lembu jantan dan kuda…. Memiliki tangan dan dapat melukis.” Gambaran mereka tentang dewa mungkin melukiskan lembu jantan dan kuda. Xenophanes oleh karenanya mengantisipasi pemutar balikan faham atheis modern tetnang penciptaan isi perjanjianl lama (bibel), untuk memberi efek pada orang-orang yang menciptakan dewa(tuhan) dengan gambaran pikiran mereka. Dia juga menyerang anthropopathis: “ Homer dan Hesiod menghubungkan antar sesama manusia(laki-laki) tentang sifat yang tercela yang perlu dipertimbangkan: Pencurian, perzinahan dan penipuan.” Karena Xenophases sama sekali tidak agamis. Dia membicarakan satu Tuhan “ yang tidak berbentuk ataupun terpikirkan” menyerupai segala mahluk. Dia tidak mempunyai mata dan juga telinga, tapi dia sendiri adalah “ mata, ruh atau jiwa dan telinga secara keseluruhan.”
Plato juga menentang tentang semua konsep ketuhanan pada manusia. Untuk alasan ini dia juga mau melarang tradisi mitologi Homeris dari republik idealnya, “bukan masalah apakah (cerita-cerita ini semua memiliki) sebuah indera yang tersembunyi atau tidak” (republik 377-378). Tapi, kenyataanya bahwa plato menyebutkan kemungkinan sebuah indera yang tersembunyi menandakan salah satu jalan bahwa pemikiran religius dan apologetis menanggapi tantangan kritikal. Tantangan kritikal  ini harus bisa menjadi pertanyaan ulang, bukan anti-religius; bahkan ini merupakan seubah tren religius terhadap permunian itu sendiri dengan menyingkirkan/membersihkan elemen-elemennya sendiri yang mengacu pada kesederhanaan dan kesahajaan. Kecenderungan yang sama merupakan sebuah bukti di dalam banyak bagian perjanjian lama, dan tidak hanya di bagian kedua dari sepuluh perintah. Itu mengumpulkan kekuatan di bawah pengaruh filosofi helenistis, sebagai contoh Targum (terjemahan-terjamahan Aramais tentang perjanjian lama) yang mana dalam keinginan mereka ingin menghapus semua aliran antropomorfis, pengganti dari arti frase Yahudi “ dan Tuhan nampak’, “tuhan berbicara”, “tuhan melihat”’ “tangan tuhan” dan semacam frase alternatif seperti “ kejayaan penampakan tuhan”, “ kekuatan tuhan”, dan sebagainya.
            Pensucian yang pertama ini bagaimanapun juga tidak memecahkan masalah mental antropomorfis. Tatkala abad ke XVI, seorang esais asal Prancis, Montagne menulis tentang “ kita bisa menggunakan kata-kata seperti kekuatan, kebenaran, keadilan tapi kita tidak dapat memahami hal itu sendiri..... tak seorangpun yang berkualitas dari kita mampu menyifati wujud ketuhanan tanpa menodainya dengan ketidak sempurnaan kita”.(Essais 2.12) dia hanya menyimpulkan apa yang menjadi perdebatan filosuf islam, yahudi dan kristiani pada abad pertengahan. Permasalahan mereka, seperti masalahnya Montaigne bukanlah  terletak padaketidak mampuan menerima fisik dan karakter serta sifat moral tertentu, akan tetapi terletak pengakuan terhadap sifat-sifat tersebut. Filosuf yahudi terbesar di abad ke XII, Moses Maimunides (Musa bin Maimun), seperti filosuf muslim yang mendahuluinya, berpendapat dengan keras tanpa kompromi bahwa tidak ada sifat-sifat positif apapun yang bisa dilekatkan pada Tuhan. Seharusnya itu datang bukan sebagai suatu kejutan tentang sejumlah usaha-usaha Maimunides, yang mana disamping sebagai seorang filosuf besar juga seorang pemegang otoritas ajaran Nabi, yang seharusnya diabadikan sebagai penjelas tentang permasalahan penganut anthropomorfis yang ada dalam Injil. Sekali, seseorang menaikan jalan radikal ini, maka pertanyaan berikutnya menjadi tak bisa diacuhkan: bukan hanya “wujud”, “existensi” tapi juga konsep kemanusian dan bukan hanya definisi tentang Tuhan yang sama murninya dengan kemutlakan wujud tapi juga sebuah anthropomorofis, walaupun mengharap sebuah hal yang telah dijelaskan?
            Dua kecenderungan utama tersebut bisa dibedakan dalam tanggapan terhadap penolakan ini. Yang satu mengantarkan pada perhentian suara (keheningan mistikus); sedangkan yang lainnya mengantarkan lebih jauh pada teologi sophistic yang berdasarkan analisis kesadaran manusia.

Mistikus  (aliran mistik)
Metode yang paling radikal bahwa kesadaran religius dapat mengadopsi pemurinian itu sendiri dari paham antropomorfis yang merupakan pernyataan tentang ketidak cukupan pernyataan tentang ketuhanan yang mungkin ada dalam bahasa manusia. Di barat, tradisi ini kemballi kepada aliran teologi mistik Neoplatonis yang terkenal sebagai Aeoropagit Dionisu (abad ke V), yang mengenalkan kedalam terminology umat Kristen tentang “tuhan (dewa) yang tersembunyi dan “kegelapan ketuhanan”. Tradisi ini diwariskan kedalam bahasa latin barat oleh John Scottus Eriugena (abad ke IX), darinya ditularkan ke aliran mistik Eckhart dan Rhineland dan selanjutnya masuk kedalam beberapa tokoh-tokoh Inggris seperti Walter Hilton dan penulis (Jacob Boehme, Angelius Silesius) dan bahkan kedalam “ garis utama” aliran teologi nonmistik. Thomas Aquinas memberikan sebuah tempat didalam sistemnya tentang Teologi Negativa, dan Martin Luther berpikir lebih jauh lagi tentang trek mistik yang terkenal dengan Teologia Belanda (deutsch).
            Penolakan terhadap faham antropomorfis,atau lebih yang lebih tepat, refleksi kritis tentang bagaimana mempertemukan penolakan ini, yang ternyata merupakan factor penting dalam perkembangan aliran kebatinan. Tapi  aliran mistik yang radikal ini “memurnikan” bahasa yang pada akhirnya menghubungkan dengan aliran agnostic dan bahkan pengkritik nonreligius. Pusat teks di dalam penghormatan mengenai dialog-dialog tentang keagamaan yang murni oleh David Hume (1779), ditulis dalam bentuk sebuah percakapan antara tiga teman bicara: seorang skeptis, seorang kristiani yang dekat dengan tradisi misitk dan seorang yang percaya terhadap tuhan. Kristiani mistik tersebut menyatakan bahwa esensi ketuhana, sifat-sifat dan cara dari keberadaan (wujud) adalah misteri bagi kita. Si skeptis sependapat, tapi mengakui legitimasi sifat-sifat antropologis(bijaksana, berpendapat, niat), karena manusia secara sederhana tidak mempunyai kecenderungan pada diri mereka tentang bentuk pengekspresiannya. Dia sering mengingatkan kehati-hatian terhadap kekeliruan pengumpamaan persamaan kata-kata kita dan sifat-sifat ketuhan. Dengan kata lain, mistikus dan skeptis,  bahkan agnostis, bahkan kritikan anthropomorphis berniat untuk bersatu(bertemu). Pembicaraan seorang yang bertuhan tidaklah lemah untuk menagkap untuk maksud (poin) ini. Aliran ketuhananya menjadi lebih sophistis; hal itu telah menyerap dan mengintegrasikan kritik anthropomorfis. Tapi, jika semua ide tentang ketuhanan tersebut didefinisikan secara total menyalahi dan melebar, maka agama dan teologi tentu/pasti dan secara otomatis berhenti menjadi suatu ketertarikan apapun. Sebuah wujud spiritual yang tidak dapat di prediksikan (tidak ada kemauan, emosi(perasaan) dan cinta) menjadi sebuah fakta kebenara, tanpa semangat sama sekali. Pendapat Hume tentang akhir pertemuan Aliran mistik (termasuk panteisme) dan ateisme telah mempengaruhi jangkauan yang luas. Filosofis orang ateis abad kesembilan belas mengangkat pendapat milik Hume dan menggunakan kritik tentang anthropomorphis karena kebaikan dan kebuntuan terhadap hal yang mengantarkanya sebagai pengaruh dari pergeseran antropologi dan teologi: Esensi tuhan bukanlah suatu hal yang nyata tapi merupakan proyeksi dari kita, dalam sebuah latar belakang luar angkasa pada esensi manusia. Itulah kesimpulan untuk contoh Ludwig Feurbach (1804-1872)

Sifat-sifat lain untuk Anthropomorphism
Terlepas dari aliran mistik, pemkiran kristiani telah dituangkan dalam dua cara untuk mengkritisi faham antropomorphis. Secara tradisi, bentuk standar tologi teistik mencoba pada satu sisi untuk memurnikan agama dari faham antropomorfis yang mengundang kritik yang deras dan pada sisi yang lain untuk menghindari jenis “pemurnian(pembersihan)”yang radikal yang menghantarkan kepada keheningan mistikus atau ateis. Alternatifnya hanyalah dengan berbicara tentang Tuhan secara tidak apologis dan melalui sebuah kebenaran yang sempurna dan pasti serta “dengan analogi” pemahaman penuh dan valid akan firman. Subyek tersebut merupakan satu hal yang paling kompleks dalam sejarah teologi. Karena tujuan artikel ini harus mencukupi maksud dari keberadaan tentang jalan pertengahan ini, tanpa melanjutkan kedalam detail tekhnis atau menganalisa tipe-tipe yang berbeda tentang “analogi teologi”: pertalian analogi, utamanya dikenal dalam bentuk “ analogi wujud” (analogi ada), sebuah sumber konsep dalam kalangan toelog katolik Roma: analogi perbandingan, analogi keimanan(dianut oleh teolog protestan Karl Bath sebagai tanggapan konsep analogi wujud dari kaum katolik Roma), analogi hubungan dan sebagainya. Analogi teologi menggunakan pembeda yang dibuat oleh seorang filosuf muslim penganut Arisoteles yaitu Ibnu Rusyd(averous) diantara ketidaksamaan suara, persamaan suara dan pembenaran kaum analog. Dua pendahulu tersebut telah ditolak oleh dewan gereja katolik roma sebagai yang terakhir/ yang keempat  yang mendukung “analogi”.
            Hal lainnya, tipikal modern, metode tentang penghindaran masalah antropomorfis adalah pendangan yang memegang semua statemen agama untuk dijadikan statemen kesadaran agama kita. Bapak dari teori in, dalam sejarah pemikiran barat, adalah Friedrich Schleiermacher, seorang teolog Kristen protestan Jerman abad kesembilan belas. Pada jalan akhir pandangan ini juga menghadirkan peralihan/pergeseran dari teologi kedalan antropologi(seperti yang dijelaskan ringkas oleh Feuerbach) dengan perbedaan bahwa menurut Schleiermacher peralihan atau pergeseran ini menyajikan pemahaman religius, padahal menurut Feuerbach  ini menyajikan kritik keras terhadap agama dan semacamnya. Pengertian Scleiermacher yang mendalam ini masih menjalankan kegiatan “ ketidak-metologisan” injil Rudol Bultmann. Menurut Bultmann semua pernyataan tentang tindakan konkrit tuhan harus ditafsirkan “keberadaanya,” kecuali gagasan/pikiran perbuatan Tuhan (i.e., keikutsertaannya dalam menyelamatkan keberadaan kita). Keinginan para penentang Bultmann  sudah tentu mempertanyakan mengapa seseorang harus menghentikan secara singkat pada pembahasan keterangan-keterangan antropomorfis ini.teologi tentang kesadaran religius ini telah dihukum bid’ah oleh keduanya, baik kelompok gereja katolik Roma(lihat pascendi encyclical paus) dan juga kaum Kristen ortodox (e.g. Karl Bath).

Kesimpulan
            Artikel ini meskipun focus pada sejarah pemikiran barat, juga dimaksudkan untuk memberikan subuah gambaran hubungan dari bebeberap permasalahan yang terlahir oleh faham antropomorfis. Fenomena yang serupa, walaupun kurang terperici secara sistimatis dapat juga dalam tradisi keagamaan yang lain. Sebagai contoh, dalam konsepsi keumuman ajaran veda tentang kebenaran, yang mana mempertimbangkan ajaran ketuhanan personalis dan bhakti atau ketaatan sebagai bentuk ketundukan pada agama. Ajaran Budha Mahayana mempunyai sebuah ajaran anthropomorfis yang maju pesat dan orang-orang panteis semianthropomorfis, tapi figur-figur ini adalah gambaran simbolis yang dipentingkan pada tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi tentang  meditasi. Bersama-sama, agama-agama barat membuat masukan yang lebih besar untuk perbedaan-perbedaan didalam tingkat-tingkat pemahaman diantara jenis-jenis dan kondisi seseorang yang berbeda. Beberapa teolog muslim abad pertengahan juga mendukung doktrin (mendekati bid’ah) pengingat “kebenaran berganda” pada pembedaan orang-orang India antara samvtri (kebenaranyang lazim/menurut adapt” dan paramartha  (kebenaran absolute). Dengan cara yang sama, sebuah gagasan dan bahasa diadopsi terhadap kapasitas kekurang dewasaan dan kukurang majuan, yang dijustifikasi oleh umat Budha sebagai upaya {sarana kemahiran untuk mempelajari kebenaran). Bahkan Zen, seorang umat Budha dalam praktek kesehariannya menyembah patung-patung Budha dan Bodhisattva, meskipun secara teoritis dia mengaspirasikan untuk meniadakan kebenaran dan itu berarti belajar untuk “membunuh Budha” jika dia menemui dirinya sebagai sebuah kesalahan dalam jalan tersebut. Analogi agama Hindu bisa dibedakan antara saguna dan nirguna (i.e. kebenaran yang bersyarat” melawan “yang tak bersyarat”). Upanasadis neti, neti  atau  “peniadaan rangkap delapan” Nagarjuna bisa dikemukakan sebagai kejaidan “Teologi Negatif” orang-oang India. Agama sebagai pembeda dari masalah-masalah filosofis dapat diringkas dalam sebuah pertanyaan yang sederhana: Bisakah seseorang berdoa kepada dewa nonanthropomorfis?

ANTROPOSOPHY
(“Pengetahuan manusia” atau “kebijaksanaan manusia”) adalah nama yang diberikan oleh Rudolf Steiner (1861-1925), fiosuf Australia, pendidik, dan guru spiritual (ruhani), pada pengajarannya. Steiner juga mereferensikan dalam pengajarannya sebagai ilmu spiritual atau ilmu keruhanian, dengan demikian mengisyaratkan apa-apa yang dia pertimbangkan kedalam sifat-sifat empiris tentang penelitiannya mengenai dunia spiritual. Pada tahun-tahun awalnya sebagai seorang penulis dan guru topik-topik spiritual, Steinar berhubungan dengan perkumpulan/lembaga Theosofis, tapi pada tahun 1912, setelah ketidak setujuan dengan ketua/rector Anne Besant mengenai klaim bahwa Jiddu Krishnamurti adalah Reinkarnasi dari Isal al Masih, Steiner mendirikan perkumpulan/lembaga antroposophis. (lihat Biografi Besant). Sebagai sebuah pergerakan keruhanian(spiritual), Anthroposophy berakar pada aliran Rosicrus tentang tradisi esoteris (yang dipahami orang tertentu saja) umat Kristen. (lihat Rosicrucians)
            Keterangan Steiner yang paling jelas tentang Anthroposophy terdapat pada paragraf pembuka Pengantar Pemikiran-pemikiran Anthroposofis, yang mana dia menulis selama sisa bulan hidupnya:
  1. Anthroposophy adalah jalan pengetahuan, menuntun ruhani (spiritual) dalam diri manusia kedalam spiritual alam semesta. Ia muncul dalam diri seseorang sebagai kebutuhan hatinya, tentang perasaan kehidupan; dan ia dapat dibenarkan sebanyak ia bisa merasakan (menikmati) kebutuhan inti ini.
  2. Anthroposophy menghubungkan pengetahuan yang dicapai dalam sebuah jalan spiritual… karena pada bagian yang sangat terbatas dimana pengetahuan dipeoleh dari perhentian presepsi indera, ada yang terbuka melalui jiwa manusia itu sendiri dan melalui pandangan keluar jauh dalam dunia spiritual.
(Steiner, 1973, p.13)
           
Dari karya pertamanya yang sistematis, Die Philosophie Der Freitheit (1896) yang diterjemahkan sebagai The Pilosophy of Freedom  (filosofi kebebasan) (1916) dan juga sebagai The Philosophy of Spiritual Activity  (filosofi kegiatan spiritual) (1912), hingga tulisannya yang terakhir, Steiner dicari untuk menerangkan (dan membuat orang lain mampu untuk mencapai) spiritual, atau pemahaman indera yang bebas. Anthroposofi bisa dipahami sebagai disiplin penglihatan suatu titik terdalam atau spiritual, inti setiap kenyataan, hingga kenyataan-kenyatan tersebut nampak untuk dijadikan material yang nyata sekali. Walaupun itu sudah biasa dipahami sebagai pengajaran, Anthroposofi secara esensinya adalah sebuah disiplin yang mana denganya mampu melihata dunia spiritual secara langsung. Memakai tehnik antroposophical, Steiner ……(mana lagi nduk……ko’ putus nich……….hehehe………….;) ;) ;)

AL-QUSHAYRI (d. 465/1074)
Persyaratan untuk sebuah kehidupan masyarakat yang kolektif dan teratur. Hal itu adalah merupakan penrang yang perlu diterjemahkan untuk mempertahankan pandangan universal dan kebebasan beragama dalam menghadapi kekuatan sectarian (orang-orang picik), yang menentang prinsip prinsip dari Petunjuk Universal. Al-Qur’an sebagaimana yang direferensikan dalam ayat 85 surat 3 bahwa tidak ada agama selain “Al-Islam” yang akan diterima Tuhan. Itu berarti, “Islam” merupakan agama yang tunduk pada satu Tuhan. Itu dalam pengertian dengan arti literal dari kata “Al-Islam”. Al-Qur’an bukan tidak mengartikan degan Islam masyarakat agamis tertentu tunduk atau patuh pada nama ini tapi orientasi keagamaan dari pesuruh dan kepatuhan pada Tuhan yang Esa.
            Menurut undang-undang garis interpretasi ini, kita bisa mengatakan bahwa bentuk keistimewaan pergerakan universalistis dari Islam seharusnya diterapkan dalam hukum aturan keagamaannya dan perintah-perintahnya dan sikap tertentu itu sendiri di izinkan dalam menghadapi musuh-musuhnya, adalah sebagai bentuk hasil nyata dari adanya batasan-batasan manusia dalam jarak dan waktu. Selain dari semangat dan keimanan universalistis mereka semua, muslim terdahulu tidak dapat melakukannya, meskipun begitu mereka memiliki sebuah bentuk peribadatan yang istimewa, seandainya mereka pergi beribadah semua dan tidak dapat melakukannya tapi mereka memiliki sebuah gaya hidup tertentu, seandainya mereka hendak hidup di dunia ini. Persamaanya, jika masyarakat yang  didirikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan prinsip-prinsip universalitas dan persaudaraan sesama manusia akan memiliki kestabilan yang ada dan melanjutkan pembawaan misi ini secara efektif sepanjang keadaan sejarah., hal itu harus lebih dulu menemukan syarat-syarat yang menjadi keharusan dalam kehidupan apakah dalam bentuh misi-misi perdamaian atau dalam tanah peperangan.  
            Melihat pada pandangan poin ini menjadikan kebenaran, bahwa Islam dengan esensi  berisi pesan persaudaraan universal dan persahabatan seluruh manusia dalam menyembah Tuhan yang Esa serta mempraktekan sebuah sikap yang bermoral. Tapi dalam bentuk dan tubuh, ia nampak dalam sebuah bentuk tertentu dan tradisi yang spesifik. Pada akhirnya bukanlah sebuah penolakan terhadap yang terdahulu, Melainkan sebuah keadaan yang mengharuskan dari keberadaan fisikalnya. Untuk menerapkan dalam dunia tentang bentuk dan bahan memerlukan sarana untuk menerapkan kekhususan-kekhususan . tapi semua hal ini tidak mengharuskan melumpuhkan semangat kebebasan maupun mengaburkan pandangan universalitas. Pada kenyataanya orientasi pemikiran tentang keesaan Tuhan dan sebuah akhlak yang bermoral merupakan sebuah esensi dari agama yang terpusat dalam al-qur’an kecuali jika itu dihormati sebagai jiwa yang mendasar dari al-qur’an, sebuah bagian yang bisa dipertimbangkan tentang suatu hal yang nampak menjadi sulit diterangkan.

AL-QUSHAYRI (D.465/1074)
Aliran mistik Asy’ari ini di hargai dalam beberap buku;yang menarik darinya adalah Tafsir Lat a if al-ishaarat.
“dan karena kekafiran mereka (terhadap ‘Isa) dan tuduhan mereka terhadap maryam dengan kedustaan besar (zina),(Annisa 156)
 “dank arena ucapan mereka: “sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, ‘Isa putra Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan (tidak pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka.sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa benar-benar dalam keraguan; tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu,……….(Annisa 157)
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa 158)
Dia mendiskusikan surat An-Nisa ayat 157 sebagai sebuah bagian tema penafsiran yang menghubungkan sebuah bagian dari surat yang dimulai dengan surat An-Nisa ayat 156 dan berakhir dengan ayat 158.
Melebihi batas (hadd) adalah salah, seperti mengurangi dan meremehkan kebenaran juga salah. Mereka (orang-orang Yahudi) memunculkan pembicaraan (isu)menentang Maryam dan menuduhnya sebagai peselingkuh/pezina. Dan yang lainnya melebihi batas dalam menekannya, mereka berkata: “Anaknya(Maryam) adalah anak Tuhan”, dan semua golongan telah salah. Dan itu juga dikatakan bahwa Maryam berzina (waliyat) dengan Tuhan dan bahwa Dia telah disusahkan karena dua buah kelompok, yaitu orang-orang yang melebihkan (ifrat) dan orang-orang yang menyia-nyiakan(tafrit) dan yang menyalahkannya. Pengingkaran mereka yang menyedihkan disebabkan oleh kebajikan yang kurang akan sebuah respek. Dan mereka yang mengikuti mereka tidaklah mempunyai sebuah kebenaran untuk dikerjakan; mereka mempermasalahkan keistimewaannya dalam ketertekanan mereka. Dan mereka semua melakukan hal yang sama kecuali segolongan mayoritas kaum yang tua dari mereka.

Hal ini juga dikatakan bahwa Tuhan mengganti pemfitnah sebagai Isa, maka dia terbunuh dan disalib di tempatnya. Dan ini dikatakan:
“ Barangsiapa yang menggali lubang bagi temannya maka jatuhlah ia di dalamnya”

من حفرخفرة وقع فيها
(Peribahasa Bahasa Arab)
Dan dikatakan juga bahwa Isa Berkata:
“siapapun senang dengan kemungkinan penyerupaan/kemiripan yang dilimpahkan kepada dia dan dibunuh sebagai penggantiku”
Salah seorang murid yang senang untuk melakukan hal ini. Isa mengingatkannya, dengan berkata:
“ Jangan memikul penderitaan rasa sakit tanpa iman kepada Tuhan Sang Pencipta”
Kemudian dia (Isa) mengulangi:
“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.”
(Surat Al-Kahfi ayat 30)
Sejak laki-laki tersebut mempersilahkanya dengan bebas maka akhirnya Isa berteman dengannya. Karena Isa sudah diangkat ke suatu tempat yang disebut Zulfah, sementara ruh dari orang yang dikorbankan dinaikan dalam suatu tempat yang disebut dengan Qur’bah”.
Adalah suatu hal yang mengejutkan bahwa Al-Quraisyi, seorang pengikut faham Al-Sulami tidak memaparkan suatu apapun disini dibandingkan dengan penafsiran Ja’far. Apa-apa yang ktia punya merupakan legenda pergantian yang sederhana yang secara sederhana dilukiskan dalam warna-warna Sufi. Bahasanya di tandai dengan bentuk semacam ruh, nafs, zulfah, dan qur’bah.Ketiadaan kajian terhadap istilah-istilah yang dipergunakan para penulis ini menjadikan kesulitan untuk menebak signifikansi (arti) mereka diluar tujuan kebenaran mereka sebagai tingkatan-tingkatan pencapaian mereka. Bagaimanapun seseorang dapat melihat tajam/jelas sebuah keinginan yang nyata untuk membenarkan penerimaan Isa sebagai pengganti utusan: ini bisa dilihat dengan merujuk pada

Dan ini juga dikatakan bahwa Isa Berkata:
“ Dan katakanlah: “ kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir. Sesungguhnya telah kami sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka, dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang palling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”
(Al-Kahfi 29)
Alhamdulillah……………..
Mohon dimaklumi kalo kek banyak nulis kesalahan pada teks diatas…….
Kalau ada yang masih mu dikonsultasikan lebih lanjut kek siap aja Bantu…..hehehe……
Dah ya cu…….kek capek nich….
Tapi kek jadi kangen ama kerjain kayak gini lagi
Kalau masih ada yang tertinggal segera kirim
Ke PO BOX Kek ya……………………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar