Translate

Berpegang teguhlah pada Kesabaran


“Berpegang teguhlah pada Kesabaran*”
*oleh: Ben Ra Vika

ada yang nampak lebih baik hari ini. Tenang dan menenangkan. Jemari ini bisa lancar menari di atas simbol-simbol. Memainkan peran. Tidak lebih buruk dari yang lalu. Kini, kehidupan itu muncul kembali. Sebuah tawaran. Menggantikan yang lama. Meski hanya mata yang memandang. Seluruh anggota tubuh ini seakan ikut bergembira dalam lompatan-lompatan. Bersama hembusan nafas keinginan yang memburu. Beriring hari dan waktu yang terus melaju. Tidak adakah yang lebih baik dari ini. Baru. Ini menjadi asing bagi diriku. Keadaan yang tidak pernah aku rasakan sebelumya. Sungguh berbeda.
Jika angin bisa membawa menerbangkan semua ini. Lenyap. Tapi ini adalah nyata. Angin tak terlihat. Celetuk pikiran ini menawarkan. Dengan hati yang berharap. Kesabaran menjadi langka. Karena ia sesuatu yang mahal tak ternilai dengan materi apapun. Hatilah yang membuat. Hati ini yang menciptakannya menjadi begitu anggun. Tidak masalah rasa raga yang terluka. Sabar. Buah kesabaran adalah madu. Manis sekali. Ini mengingatkan pada perjalananku. Jauh dan berliku. Penuh penderitaan dan kesengsaraan. Tapi selalu ada hasil yang bisa didapatkan. Hasil yang besar. Buah dari sabar.
Besarnya gunung, tidak akan tahan bila isi dalam perutnya terus berontak. Lautan yang tenang tidak akan mampu menahan hentakan bumi yang mengguncang. Angin semilir  tidak bisa membebaskan dari lingkaran tornado. Hati yang sabar ini. Mampu mengalahkan segala macam kesombongan, kemurkaan dan reaksi alam. Lihatlah burung yang terbang. Sedikit sekali yang bisa ia bawa pulang. Hanya cukup sehari bagi keluarganya. Mereka sabar. Hari esok selalu menyediakan sesuatu yang baru bagi mereka. Lihatlah semut kecil. Musuh yang tersembunyi. Selalu mau menanti saat untuk keluar. Tidak akan mencari bila tidak ada yang pasti. Mereka memiliki kesabaran. Sabar yang tak terbatas harus ada pada diri ini.
                Ujian itu datang lagi, menghempas. Bertahan. Bisikan-bisikan sesat menghantui. Ku halau. Rintangan ini menghadang kembali. Akalku bisa mengatasi. Kemampun-kemampun ini dari mana diperoleh. Spontan. Tidak. Bukan reaksi tanpa sadar. Ada sistem pengendali dalam diri ini. Sebuah alat tercanggih yang tak dapat ditiru oleh siapapun. Bekerja tidak seperti mesin robot. Berjalan tanpa sadar. mengarungi alam pikiran dan hati. invisible. Aku tersadar. Manakala ia bekerja ini merupakan inti dari jati diri kita. Sekuat ia mengatasi serangan dalam diri, sekuat itu pulalah jati diri ini. Sabar. tidak ada yang bisa lebih kuat darinya. Tidak ada yang bisa lebih canggih darinya dan tidak ada suatu bentuk apapun yang dapat merutuhkannya.

MODEL PENELITIAN FIQIH (Fatwa-Fatwa MUI) ATHO’ MUDZHAR

MODEL PENELITIAN FIQIH (Fatwa-Fatwa MUI) ATHO MUDZHAR*
Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia tahun 1975-1988
*oleh: Ben Ra Vika

A.    Pendahuluan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang secara legalitas mendapat pengakuan dari negara, mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mengeluarkan kebijakannya sebagai dewan fatwa dan pemberi nasehat baik kepada masyarakat maupun terhadap kelancaran program pemerintah. Sejak awal berdiri hingga saat ini MUI telah mengeluarkan beberapa fatwa. Fatwa-fatwa tersebut menyangkut banyak hal, seperti bidang agama, sosial, dan persoalan ilmiah lainnya.
Ragam fatwa yang dikeluarkan di atas tidak semuanya laris manis diterima masyarakat. Tidak semua fatwa MUI selaras dengan masyarakat dan kebijakan pemerintah, terkadang juga yang menimbulkan polemik di masyarakat bahkan dalam tubuh MUI sendiri. Fatwa tentang larangan menghadiri perayaan Natal bagi kaum Muslimin dan penggunaan alat kontrasepsi dalam keluarga berencana pernah menjadi permasalahan yang cukup rumit saat itu. Hamka yang ketika itu selaku ketua umum MUI harus bergulat dengan pemerintah.
Karena pemerintah saat itu mengangggap dengan adanya fatwa di atas, dapat mengahalangi kelancaran terwujudnya Keluarga Berencana (KB) di Indonesia. Polemik yang berkepanjangan tidak jarang menimbulkan kontroversi, sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti, seberapa jauh fatwa-fatwa tersebut absah dari segi hukum Islam, dan adakah factor-faktor sosial politik ikut melatarbelakangi lahirnya fatwa-fatwa itu?.
Terlepas dari beberapa polemik yang muncul dari lahirnya fatwa-fatwa MUI, hal itu tidak bisa menghilangkan fungsi dan tanggung jawab MUI sebagai badan atau lembaga yang dibentuk oleh negara yang bertujuan untuk mengeluarkan atau menyuarakan fatwa-fatwa. Fatwa-fatwa tersebut terkategorikan dalam urusan pernikahan, bisnis, warisan, sholat dan sebagainya.[1]
Persoalan di atas menjadi perhatian Atho Mudzhar untuk meneliti dan menganalisis bagaimana metodologi dan lingkungan sosio-politik dan kebudayaan yang mengitarinya. Karena jika dicermati, jelaslah bahwa fatwa-fatwa itu berbeda satu sama lain dalam sifatnya pada kedua tingakatan analisis tersebut.


B.     Biografi singkat Atho Mudzhar
Atho Mudzhar lahir di Serang, Jawa Barat pada 20 oktober 1948. Menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1961 dan meneruskan ke Pendidikan Guru Agama selama 6 tahun di Serang hingga tahun 1966. Selanjutnya ia melanjutkan studi di IAIN Jakarta sebagai mahasiswa tugas belajar dari departemen agama, tamat tahun 1975. Program magisternya ditempuh di Brisbane, Australia melalui bantuan beasiswa Colombo Plan, dengan orientasi studi Master of Social and Development pada tahun 1978. Adapun gelar Doctoralnya diperoleh di University of California Los Angeles (UCLA) pada tahun 1990.
Beberapa buku-bukunya yang telah dipublikasikan antara lain: Belajar Islam di Amerika (1991) dan Fatwa Majlis Ulama Indonesia (edisi dwi bahasa: indonesia dan Inggris, 1993) yang berasal dari disertasi doktoralnya berjudul: “Fatwas of the Council of Indonesian Ulama:  A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988”.

C.     Kegelisahan Akademik
Islam biasanya didefinisikan sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk kebahagiaan dan keselamatan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Sebagai wahyu Islam berarti ajaran dan sebagai ajaran berarti Islam sebagai gejala budaya. Ketika seseorang mempelajari bagaimana ajaran Islam tentang salat, puasa, zakat, haji, tentang konsep keesaan Allah, tentang argumen adanya tuhan, tentang Jabariyah dan Qadariyah, tentang arti dan tafsir kitab suci, tentang riba, tentang aturan etika dan nilai moral dalam Islam, berarti ia sedang mempelajari Islam sebagai gejala budaya.
Ketika Islam dilihat sebagai gejala budaya, maka metodologi yang digunakan adalah metode penelitian budaya seperti filsafat, sejarah, studi naskah dan arkeologi serta ilmu lainnya. Lalu, ketika Islam dilihat sebagai gejala sosial maka metodologi yang digunakan adalah metode penelitian ilmu-ilmu sosial. Atau dapat pula suatu studi Islam mencoba melihat suatu gejala Islam sebagai gejala budaya dan sosial sekaligus. Studi tentang fatwa-fatwa dilihat sebagai studi menggabungkan melihat Islam sebagai gejala budaya dan sosial sekaligus. Ketika studi itu membahas dalil-dalil naqli suatu fatwa dan pembahasan masalah itu dalam kitab-kitab fikih berarti sedang melihat fatwa sebagai gejala budaya. Dan manakala studi itu membahas faktor-faktor sosial politik yang mempengaruhi penafsiran para ulama tentang dalil-dalil tersebut berarti sedang melihat Islam sebagai gejala sosial.[2]
Atho Mudzhar secara sistematis membagi wilayah permasalahan fatwa MUI ini dalam dua aspek: pertama, bagaimana fatwa-fatwa MUI itu dirumuskan secara metodologis; dan kedua, faktor-faktor sosial politik, dan kultural apa yang melatar belakangi lahirnya fatwa-fatwa MUI itu, dan bagaimana dampak fatwa itu terhadap masyarakat. Selain itu, Apa substansi yang terkandung bersama dengan lahirnya fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia?

D.    Pentingnya Topik Penelitian
Penelitian ini mengandung signifkansi pada pemahaman tentang latar belakang lahirnya fatwa-fatwa MUI. Terkait dengan kelembagaan MUI yang dibentuk oleh pemerintah, yang bertugas mengeluarkan fatwa hukum Islam maka ini akan menarik untuk diteliti sejauh mana pengaruh sosio-politik kultural yang ada dalam masyarakat.
Sebagaimana diketahui pula bahwa Hukum Islam, sejauh ia berhubungan dengan manusia, sesungguhnya merupakan produk sejarah kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa setiap pemikiran hukum Islam pada hakekatnya juga merupakan hasil dari adanya interaksi antara si pemikir hukum Islam—baik berupa individu ataupun institusi formal – dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik di mana pemikiran itu dihasilkan.

E.     Kerangka Teori
Syarat utama dalam melakukan penelitian baik tesis, disertasi ataupun lainnya adalah penguasaan metodologi. Tanpa penguasaan metodologi ilmiah yang memadai, dapat dipastikan penelitian itu gagal. Begitupun Atho Mudzhar ketika hendak melakukan penelitan fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia. Dia membaca hasil-hasil penelitan sebelumnya yang dinilai terbaik. Dia juga membaca buku-buku sosiologi seperti The Coming Crisis of Western Sociology oleh Gouldner, buku tentang teori konflik sosial oleh Lewis Coser, Teori tentang Organisasi oleh Olson, Tentang Perubahan Sosial oleh Emitai Etizoni, Metode-metode Penelitian Masyarakat oleh Koentjaraningrat, dan buku The Discovery of Grounded Theory oleh Barney G.Glazer dan Anzelm Strauss.
Dalam penelitannya tentang fatwa-fatwa MUI mulai tahun 1975-1988, Atho Mudzhar melihat bahwa metodologi fatwa-fatwa itu tidak mengikuti suatu pola tertentu. Beberapa fatwa berawal dengan dalil-dalil menurut Al-Qur’an sebelum melacak hadis-hadis yang bersangkutan atau menunjuk pada naskah-naskah fiqih. Fatwa lainnya mengenai masalah yang dibicarakan tanpa mempelajari terlebih dahulu ayat-ayat al-Qur’an atu hadis-hadis yang bersangkutan. Bahkan ada sejumlah fakta, bahwa beberapa fatwa kecil yang bahkan tidak mengemukakan dalil sama sekali, baik yang berdasarkan naskah maupun yang menurut akal sama sekali; ia langsung saja menyatakan isi fatwa.[3]
Secara teori, MUI secara mendalam mempelajari keempat sumber hukum Islam: al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas, demikian menurut urutan tingkat wewenangnya menurut madzhab Syafi’ie. Tetapi dalam praktik, prosedur metodologis tersebut tidak sepenuhnya diberlakukan. Disamping terkait dengan persoalan teknis metodologis, ternyata perumusan fatwa-fatwa MUI senantiasa terikat oleh beberapa faktor yang bersifat politis.[4] Beberapa fatwa hanya terikat pada satu faktor, tetapi ada pula yang terikat pada gabungan beberapa faktor, sehingga sering mempersukar dalam menentukan faktor mana yang dianggap paling berpengaruh.
Faktor pertama; adalah kecenderungan perumusan fatwa-fatwa untuk membantu kebijakan pemerintah. Fatwa tentang peternakan kodok, daging kelinci, pemotongan hewan dengan mesin dan keluarga berencana telah menunjukkan sifat dukungan fatwa-fatwa tersebut membantu kebijakan-kebijakan pemerintah. Yang lebih menarik pun dalam hal ini adalah bahwa soal ibudah pun dapat dikatakan sedikit banyak telah dipengaruhi oleh keinginan untuk membantu kebijakan pemerintah. Contohnya adalah fatwa tentang berlakuny Jeddah dan bandar udara Raja ‘Abdul Aziz sebagai tempat mi’qat bagi para jamaah haji indonesia. Namun demikian bukan berarti keinginan untuk mendukung kebijakan pemerintah itu tidaklah berarti bahwa fatwa-fatwa tersebut tidak berdasarkan keagamaan.
Faktor kedua, keinginan untuk menghadapi tantangan dan menjawab persoalan-persoalan zaman moderen. Banyak fatwa-fatwa yang menunjukkan telah disusun sedemikian rupa untuk mengatasi perkembangan-perkembangan moderen. Fatwa yang membolehkan sumbangan kornea mata dan pencangkokan jantung adalah fatwa-fatwa yang mencoba menaggapi perkembangan moderen dalam bidang kedokteran. Dan ini bisa juga dicatat bahwa beberapa fatwa bahkan  menunjukkan kemajuan dalam menerapkan cara berpikir menurut hukum agama, sebagaimana ditunjukkan sewaktu-waktu dengan kesediaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh badan sekuler, parlemen, mengungguli pandangan naskah fiqih baku.
Selain itu ada beberapa fatwa yang menyimpang dari ikatan pada pandangan ajaran syafi’i dan empat madzhab sunni yang berlaku, untuk kemudian menerima pandangan mazhab Zahiri yang umumnya tidak diakui, seperti halnya dalam persoalan sholat jumat bagi orang-orang yang dalam perjalanan dan soal mi’qat. Akan tetapi harus diingat pula, bahwa gambaran yang demikian itu bukanlah hal yang berlaku umum. Gambaran utama fatwa itu masih dikuasai oleh pandangan syafi’i. Hal ini dilihat dari penunjukkan karya-karya syafi’i sebagai rujukan seperti syarh al-muhazzab dari an-Nawawi dan fath al-wahhab dari al-Ansari mendapat prioritas utama dari lainnya. Tuhfat al-muhtaj dari ibn Hajar al Haitami dan I’anat at-Talibin dari Sayyid Bakri ad-Dimyati menyusul kemudian. Sedangkan karya Syafi’i sendiri, Al-Umm, jarang sekali dipergunakan dibandingkan dengan susunan rujukan Nahdlatul Ulama yang memberika prioritas pandangan pandangan ar-Rafi’i bersama dengan pandangan an-Nawawi, kehadiran an-Nawai maupun al-ansari bersama sebagai pengganti ar-Rafi’i menunjukkan bahwa Komisi Fatwa MUI tidaklah dikuasai oleh para ulama Nahdlatull Ulama.
Faktor ketiga, ialah hubungan antaragama. Terbukti bahwa perumusan beberapa fatwa telah dipengaruhi oleh persaingan sejak lama dan saling tidak percaya antar umat Islam dan kaum Kristen di negeri ini. Maka, tidak heran pula untuk menjelasakan fatwa tentang larangan menghadiri perayaan natal telah dipengaruhi oleh masalah persaingan antar golongan antar agama. Persaingan itu sangat kuat hingga bertentangan dengan pemerintah mengenai masalah tersebut. Selain itu juga fatwa-fatwa tentang pernikahan dengan non-muslim. Dari fatwa-fatwa tersebut nampaknya terdapat keinginan untuk memelihara hubungan baik dengan pemerintah dan kewaspadaan terhadap ancaman kristenisasi. Fatwa yang melarang kaum muslimin hadir pada perayaan natal adalah salah satu contoh yang jelas di mana MUI telah berani mengambil risiko untuk tidak sepakat dengan pemerintah demi menghadapi ancaman kristenisasi.
Faktor keempat, adanya hasrat keinginan untuk menjawab tantangan-tantangan zmaan modern. Di dalam MUI sendiri terdapat oknum-oknum progresif yang termasuk dalam keanggotaan komisi fatwa. Akan tetapi kedudukan oknum-oknum progresif itu tidaklah kuat untuk memasuki dinamika yang lebih besar ke tubuh komisi fatwa dalam pelaksanaan pemikiran hukum Islam.yang demikian sebagian adalah akibat keterikatan kuat yang berkelanjutan dari sebagian besar anggota komisi pada mazhab syafi’i disebabkan oleh pendidikan tradisional modern hanya sebagian kecil saja.
Mengenai peranan fatwa dalam masyarakat, orang dapat mencatat bahwa kebanyakan fatwa telah dikeluarkan sebagai tanggapan atas keprihatinan umum pada sesuatu atau atas pertanyaan pemerintah atau badan-badan lainnya. Ini berarti bahwa pemilihan persoalan yang diberika fatwanya itu telah dilakukan sedemikian rupa sehingga fatwa-fatwa itu menyangkut masyarakat luas.
Berdasarkan tipologinya, ada lima golongan fatwa sepanjang menyangkut reaksi masyarakat.
1.      Pertama, fatwa yang tersiar luas dan tidak menimbulkan pertentangan. Fatwa-fatwa ini terkait dengan soal kebudayaan termasuk dalam golongan ini: izin untuk pertunjukan film Adam and Eve, larangan pembacaan secara keliru ayat-ayat al-Qur’an dalam lagu-lagu.
2.       Kedua, fatwa-fatwa yang tidak mendapat penyebaran secara luas atau tidak juga memperoleh reaksi banyak dari masyarakat; fatwa itu disambut oleh kaum muslimin tanpa menimbulkan perhatian. Termasuk dalam hal ini adalah fatwa sholat jumat dalam perjalanan.
3.       Ketiga, fatwa-fatwa yang cukup tersiar luas dan telah menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat Islam, sedangkan pemerintah tetap bersikap netral. Termasuk dalam hal ini; fatwa mengenai peternakan kodok dan makan daging kodok.
4.      Keempat, fatwa-fatwa yang tersiar secara luas tetapi hanya menimbulkan sedikit pertentangan, sedangkan pemerintah menyambutnya dengan baik. Dalam hal ini, adalah fatwa tentang miqat dan tentang Keluarga Berencana.
5.      Kelima, fatwa-fatwa yang tersiar secara luas dana telah menimbulkan banyak pertentangan, sedangkan pemerintah tidak menyukai fatwa itu. Fatwa yang paling menonjol dari golongan ini adalah fatwa mengenai kehadiran orang Islam pada perayaan natal.
Maka, secara umum bisa dikatakan bahwa fatwa-fatwa MUI adalah hasil dari seperangkat keadaan sosial budaya dan sosial politik, yang kebijakan pemerintah merupakan bagian di dalamnya. Akan tetapi tingkat dampak fatwa-fatwa pada masyarakat tidak sama dengan tingkat pengaruh pemerintah, baik secara negatif maupun positif. Fatwa tentang izin untuk menggunakan IUD dalam Keluarga Berencana yang sangat dipengaruhi kebijakan pemerintah boleh jadi mempunyai pengaruh yang sama seperti fatwa tentang larangan bagi kaum muslimin untuk menghadiri perayaan natal, yang bebas dari pengaruh pemerintah atau bahkan berlawanan dengan kebijaksanaan pemerintah.
F.      Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian yang dilakukan Atho’ Mudzhar ini, ia menggunakankan pendekatan sosiologi. Selain itu Atho Mudzhar jugan menggunakan dua metode. Pertama, deskriptif-eksploratif yaitu sebuah penelitian yang berusaha untuk menggambarkan sebuah kenyataan atau fenomena, sehingga dari sana bias diidentifikasi cirri-ciri yang diinginkan. Hal ini terlihat saat peneliti berusaha memaparkan prosedur pembuatan fatwa. Kedua, komparasi yaitu bentuk penelitian yang berusaha menemukan persamaan atau perbedaan sesuatu terhadap sesuatu yang lain. Ini terlihat saat peneliti membandingkan fatwa-fatwa MUI dengan teks fikih klasik (syafi’i). Pendekatan ini juga digunakan untuk melihat seberapa jauh tanggapan masyarakat terhadap fatwa dan pengaruh sosio politik yang mempengaruhinya. Dalam kacamata fikih kontemporer, teori ini juga dikenal dengan teori talfiq.

G.    Ruang Lingkup Dan Istilah Kunci Penelitian
Studi yang dilakukan oleh Atho Mudzhar ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penelitian agama dengan menjadikan fenomena budaya – dalam hal ini adalah fatwa-fatwa MUI, yang menjadi bagian dari produk-produk atau bentuk-bentuk hukum Islam, sebagai objek kajiannya dengan menggunakan kerangka teori dan analisis sosiologi. Penelitian ini memanfaatkan data-data literatur (library research) beserta data-data lapangan (field research) sekaligus. Utamanya adalah sejumlah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI sejak tahun 1975-1988.
Istilah kunci yang dipakai dalam penelitian ini adalah fatwa, hukum Islam dan sosiologi.

H.    Kontribusi Bagi Ilmu Pengetahuan
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh badan fatwa MUI menurut Atho’ Mudzhar sudah barang tentu tidak terlepas dari kondisi dan lingkungan yang mempengaruhinya. Pengaruh itu Tidak hanya bersumber dari para mufti dan cendikiawan muslim yang lansung berinteraksi dengan nash yang akan difatwakan menjadi sebuah naskah, dan dijalankan sebagai sebuah anjuran atau nasihat yang tidak mengikat. Pengaruh social-budaya dan politik secara signifikan turut berpengaruh terhadap eksistensi fatwa. Artinya, secara tidak lansung fatwa harus sejalan dengan kondisi social masyarakat dan sejalan dengan pemerintah selaku pengatur dan pengambil kebijakan. Kecendrungan itu terlihat ketika MUI berperan aktif membantu beberapa program pemerintah, seperti fatwa peternakan kodok, KB, IUD, dan lain sebagainya. Walaupun begitu, secara umum fatwa disusun sedemikian rupa untuk mengatasi dan menjawab perkembangan zaman.
Secara metodologi, jelas bahwa fatwa bukanlah bersumber dari kaedah hokum Islam yang bersifat klasik. Fatwa tidak mengikuti pandangan siapapun secara menyuluruh, namun fatwa mempunyai pola tersendiri. Bagi beberapa fatwa, argument atau landasan utama yang dipakai tetaplah bersumber dari Al Qur’an dan hadis, dan beberapa diantaranya juga merujuk pada kitab-kitab fikih, hanya saja pola yang dipakai berbeda secara umum. Akan tetapi ada pula fatwa yang lansung diinterpretasikan melalui metode rasional, tanpa menggunakan nash/dalil sama sekali. Hal ini dikarenakanan secara teori MUI percaya sebuah fatwa dapat dikeluarkan ketika MUI telah mempelajari secara mendalam keempat sumber hokum Islam yaitu Al Qur’an, hadis, Qiyas, dan Ijma’.

I.       Sistematika Penulisan
Penelitian ini bertolak dari suatu asumsi bahwa produk fatwa yang dikeluarkan MUI selalu dipemgaruhi oleh setting sosio cultural dan sosio politik, serta fungsi dan status yang harus dimainkan oleh lembaga tersebut. Produk – produk fatwa MUI yang ditelitinya adalah terjadi di sekitar tahun 1975 sampai dengan 1988 pada saat mana Menteri Agama dijabat masing-masing oleh A. Mukti Ali (1972-1978), Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1985) dan Munawir Sjadzali (1983-1988). Sementara itu Ketua MUI dijabat oleh K. H. Hasan Basri.
Hasil penelitian Atho Mudzhar dituangkan dalam empat bab. Bab pertama mengemukakan tentang latar belakang karakteristik Islam di Indonesia serta pengaruhnya terhadap corak hukum Islam. Karakteristik tersebut dilihat dalam empat aspek, yaitu latar belakang kultur, doktrin teologi, struktur social dan ideology politik, selanjutnya, pada bagian ini juga dikemukakan tentang kondisi hukum Islam di Indonesia serta berbagai lembaga yang memegang kekuasaan hukum tersebut mulai dari periode penjajahan sampai dengan periode Indonesia merdeka. Berbagai muatan pemikiran yang dikemukakan pada bagian pendahuluan ini digunakan sebagai alat untuk menganalisa berbagai produk fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama. Dengan demikian penelitian ini ingin melihat seberapa jauh latar belakang budaya, doktrin teologi, struktur social dan ideologi politik yang dianut masyarakat dan pemerintah Indonesia.
Pada bab kedua, desertasi tersebut mengemukakan tentang MUI dari segi latar belakang didirikannya, sosio politik mengitarinya, hubungan MUI dengan pemerintah dan organisasi Islam serta organisasi non Islam lainnya dan berbagai fatwa yang dikeluarkannya.
Pada bab ketiga, penelitian dalam desertasi tersebut mengemukakan tentang isi produk  fatwa yang dikeluarkan oleh MUI serta metode yang digunakannya. Fatwa – fatwa tersebut antara lain meliputi bidang ibadah ritual, masalah keluarga dan perkawinan. Kebudayaan, makanan perayaan hari-hari besar agama nasrani, masalah kedokteran, keluaraga berencana dan aliran minoritas dalam Islam.
Sedangkan bab keempat adalah berisi kesimpulan yang dihasilkan dari studi tersebut. Dalam kesimpulan tersebut dinyatakan bahwa fatwa MUI dalam kenyataannya tidak selalu konsisten mengikuti pola metodologi dalam penetapan fatwa sebagaimana dijumpai dalam ilmu fiqih. Fatwa – fatwa tersebut terkadang langsung merujuk pada Al – Qur’an sebelum merujuk pada hadits dan pada kitab fiqih yang ditulis para ulama mazhab. Sedangkan sebagian fatwa lainnya terkadang tidak didukung oleh argumen yang meyakinkan, baik secara tekstual maupun rasional. Menurut peneliti hal ini tidak berarti MUI tidak memiliki metodologi yang digunakan. Secara teoritis setiap produk fatwa yang dikeluarkan MUI didasarkan pada landasan Al – Qur’an, Al – Hadits, Ijma dan Qiyas yang dianut oleh mazhab Syafi’i. Namun dalam prakteknya dasar – dasar hukum tersebut tidak selamanya diikuti.
             
J.       Penutup
Penelitian Atho Mudzhar bermanfaat dalam upaya membuka pikiran dan pandangan para ulama fiqih di Indonesia yang cenderung kurang berani mengeluarkan fatwa, atau kurang produktif dalam menjawab berebagai masalah actual yang muncul di masyarakat sebagai akibat dari kekurang pahaman dalam memahami situasi  dalam rangka melahirkan produk hukum. Hukum Islam baik langsung maupun tidak langsung masuk ke dalam kategori ilmu social. Hal ini sama sekali tidak mengganggu kesucian dan kesakralan Al – Qur’an yang menjadi sumber hukum Islam tersebut. Sebab yang dipersoalkan di sini bukan mempertanyakan relevan dan tidaknya Al – Qur’an tersebut, tetapi yang dipersoalkan adalah apakah hasil pemahaman terhadap ayat – ayat Al – Qur’an, khususnya mengenai ayat – ayat ahkam terbut masih sejalan dengan tuntutan zaman atau tidak. Keharusan menyesuaikan hasil pemahaman ayat – ayat Al – Qur’an yang berkenaan dengan hukum tersebut dengan perkembangan zaman perlu dilakukan. Karena dengan cara inilah makna kehadiran Al – Qur’an secara fungsional dapat dirasakan oleh masyarakat.


 
Daftar Pustaka

Atho Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia: A Socio-Historical Approach, Jakarta:Ofiice of Religious Research and Development, and Training Ministry of Religious Affairs Republic of Indonesia, 2003
Amin Abdullah dkk, Antologi Studi Islam; Teori dan Metodologi, Yogyakarta: DIP PTA IAIN KALIJAGA, 2000
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam: dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998


[1] Atho Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia: A Socio-Historical Approach, (Jakarta:Ofiice of Religious Research and Development, and Training Ministry of Religious Affairs Republic of Indonesia, 2003), hlm. 122.
[2] Amin Abdullah dkk, Antologi Studi Islam; Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: DIP PTA IAIN KALIJAGA, 2000), hlm. 240-241.
[3] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam: dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm247.
[4] ibid

Kebebasan


Kebebasan*
*oleh: Ben Ra Vika
Sore itu aku diajak bapak memancing. Jauh di ujung pedesaan. Sungai kecil mengalirkan air yang jernih. Payah sudah aku berjalan. Bapakku cuman berkata “sebentar lagi sampai nak…”. Akupun semangat melangkahkan kakiku mengiringi bapak. Akhirnya tibalah di hulu sungai. Bapak memasang umpan dan segera menjatuhkan kail ke dalam sungai. Aku terheran dan termenung. Begitu banyak ikan yang berenang di sungai dan kelihatan jelas. Jernih sekali air sungai tersebut. Aku bertanya pada bapak “pak, kenapa tidak kita tangkapin pake tangan saja ikan-ikannya?”. Aku bertanya karena dasar sungai tersebut tidaklah dalam, akupun pasti tidak tenggelam jika terjun ke dalamnya. “biar saja nak, kita pake pancing saja, kalau kita masuk ke sungai airnya tidak akan jernih lagi dan tentu ikan-ikan itu akan pada kabur.”
Jawaban bapak itu sungguh mengingatkanku kini. Kalimat yang sederhana dan penuh makna. Adakalanya ketika kita hendak mencari dan mendapatkan sesuatu kita sering kali lupa dengan niat yang kita tanamkan di awal. Niat yang harus selalu menjadi pedoman hidup baik bagi kita dan juga orang lain. Memperoleh sesuatu tidak harus berarti mengorbankan kehidupan orang lain. Mendapatkan tujuan harus senantiasa bersinergi dengan kondisi kehidupan sekitar. Langkah-langkah ataupun cara harus disesuaikan agar pencapain tujuan tidak menimbulkan air keruh di sekitar aliran sungai.
Kehidupan dengan kebebasan. Bebas dalam kehidupan. Dua kalimat ini mengandung pengertian yang berbeda. Pertama, bahwa kehidupan ini harus terbebas dari unsur-unsur yang memaksa. Bahwa saling menghargai dan memahami merupakan aspek utama dalam kehidupan. Tidak mungkin tercipta keharmonisan hidup tanpa dengan adanya unsur saling pengertian dan memahami satu sama lain. Yang kedua, berarti bahwa bebas dalam kehidupan merupakan perilaku sosial tak terkontrol. Di mana seseorang dengan hak independensinya berusaha mendapatkan setiap keinginan untuk memperoleh tujuan. Dengan cara ini, tujuan merupakan hal utama. Untuk mendaptkannya maka semua cara akan dilakukan meskipun dengan mengorbankan kehidupan di sekitarnya.
Ikan yang bebas berenang dalam alian sungai janganlah kita tangkap semuanya dengan mengeruhkan air sungai tersebut. Air sungai yang kita keruhkan akan berimplikasi pada daerah aliran sungai tersebut secara menyeluruh, mungkin bisa sampai ke hilir. Kekeruhan air akan menyebabkan ikan-ikan menjadi mabuk, tidak tenang, kabur meninggalkan sanak saudaranya. Meninggalkan kehidupannya yang tenang karena ingin menyelamatkan diri dan juga generasinya. Air yang keruh tidak membutuhkan waktu singkat untuk dijadikan jernih kembali. Tentunya melihat ini dengan bijak, kita akan menjadi tahu bahwa kebebasan tidak menjadi cara pandang untuk membebaskan diri kita untuk membolehkan segala macam cara dalam mencapai tujuan. Tujuan hidup.


*catatan pagi ini, ketika teringat masa-masa kecil bersama bapak tercinta.

HAK ASASI DALAM HUKUM ISLAM


Istilah HAM pada masa sejarah awal Islam belum dikenal secara luas. Seiring dengan ekspansi wilayah oleh umat muslim maka semakin luas pulalah wilayah territorial Islam. Pada gilirannya, akan banyak penganut ajaran / agama yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Dalam system pemerintahan permulaan Islam, mereka yang tidak mau memeluk agama Islam disebut zimmi. Istilah ini merupakan modifikasi dari kata jiwar, yaitu sebutan tradisi orang araab untuk memberikan perlindungan terhadap pihak asing.
Hak Asasi Manusia (huququl insan al-asasiyah) dideklarasikan pada abad 15 H, dengan sebuah perjanjian yang ditanda tangani di Perancis yang dikenal dengan Universal Islamic Declaration of Human Rights, tepatnya di kota Paris tahun 1981. secara terminologis HAM merupakan fenomena baru yang muncul ke permukaan. Beberapa pihak mereferensikan istilah ini dari code of law yang dilahirkan oleh pemerintahan Babylonian King Hammurabi (2130-2088 S.M). Bukti sejarah yang paling awal menyampaikan kepada kita adalah Aturan-aturan Republik Roma yang memberi hak kepada warga negaranya untuk berpartisipasi dalam hukum, termasuk membuat dan memilih petugas-petugas Negara. Yang paling akhir adalah droits de I’llhome yang dirumuskan para pemikir Prancis pada awal masa modern. Secara positif; tujuan HAM adalah ingin menundukan manusia sebagaimana mestinya dengan memberikan hak-hak dasarnya tanpa membedakan suku, bangsa, warna kulit, jenis kelamin, dan agama. Seiring dengan banyaknya perhatian kalangan terhadap isu HAM, namun hal ini ternyata tidak mengurangi jumlah tingkat pelanggaran kekerasan yang ada, bahkan cenderung meningkat.
Permasalahanya, dalam isu ini barat mengkaitkan masalah pelanggaran HAM dengan Islam. Ann Elizabeth Mayer, yang menulis hubungan pelanggaran HAM dengan Islamisasi di wilayah Pakistan , Iran dan Sudan. Menurutnya program Islamisasi yang dicanangkan di tiga wilayah tersebut tidak merubah keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Namun secara positif ia memperingatkan masyarakat Islam bahwa pelanggaran HAM bias merajalela di tengah masyarakat dimana penguasanya mengklaim mendasarkan pada ajaran Islam. Dalam hal ini Islam hanya dijadikan topeng atas kebobrokan system pemerintahannya.
Gambaran masyarakat minoritas Non-muslim yang tinggal dalam wilayah kekuasaan umat Islam dijadikan topic utama sebagai serangan terhadap pelanggaran HAM oleh Barat terhadap Islam. Jacques Ellul, dalam karyanya Bat Ye’or, The Dhimmi, posisi zimmi sama saja dengan pekerja kasar di bangsa Eropa pada zaman pertengahan. Status pekerja kasar berubah denga kondisi sejarah yang makin maju, sedangkan menurutnya zimmi sangatlah berbeda. Ia merupakan satu realisasi dari ajaran agama dalam melihat dunia ini. Menurutnya pula zimmi merupakan perwujudan dari pandangan teologi Islam yang bersifat absolut/ mutlak yang merupakan keharusan yang harus diwujudkan dalam kehidupan.
Pengertian zimmi itu sendiri mengandung beberapa perbedaan pandangan diantara kalangan cendikiawan muslim. Al-Razi berpendapat bahwa zimmi hanya terbatas pada ahli kitab. Zamakhsyari berpendapat bahwa ayat la­a ikraha fi al-din diberlakukan bukan hanya kepada ahli kitab tapi juga kepada semua non muslim. Pendapatnya mendapat dukungan dari Sachedina. Muhammed Talbi (Tunisia) mengemukakan analisis yang lebih berbeda lagi tentang masalah keyakinan untuk menerima dan menolak Islam adalah merupakan hak individu, karena itu adalah fitrah. Pemaksaan hanya akan dilakukan oleh mereka yang tidak memahami secara betul keyakinannya itu sendiri. Jadi tidak ada alas an untuk membatasi zimmi hanya pada ahli kitab dan semua non-Muslim tidak bisa dipaksa untuk melepaskan keyakinan mereka untuk diperangi. Nurkholis Madjid  yang mengutip pendapat ‘Abdul Hamid Hakim, seorang pembaharu dari padang panjang, mengatakan bahwa ahli kitab tidak hanya mencakup pengikut agama Kristen, Yahudi, atau Majusi seperti yang disebut dalam hadis Nabi, namun juga meliputi agama yang memiliki kitab suci, seperti Hindu, Budha, Cina, Jepang dll.

Beberapa hal yang menjadi perbandingan tentang kegelisahan pandangannya terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah Timur Tengah. Ia mengungkap beberapa contoh yang sangat-sangat jelas menyalahi konsep pelanggaran terhadap HAM. Diantaranya; kasus pelarangan perempuan yang mengemudi mobil yang diberlakukan oleh pemerintah Saudi. Bahkan, pemerintah melalui mutawwa melakukan penangkapan terhadap mereka yang berdemonstrasi di sepanjang jalan-jalan Riyadh. Melalui pemegang wilayah keamanan tertinggi mereka yaitu Syeikh Abd al- Aziz bin Baz menjustifikasi pelarangan tersebut didasarkan pada concern umum di dalam hukum Islam untuk menjaga moralitas dan menghindari situasi yang dapat mendorong kepada perbuatan asusila. Usaha untuk mendeskriditkan para pemrotes dikutuk sebagai 'tidak Islami'. Dan perempuan tersebut dicap sebagai 'murtad' dan sebagai pendukung perbuatan asusila yang merupakan bagian dari konspirasi Amerika mensekulerisasikan Saudi Arabia. Bagi mereka julukan 'simpatisan Amerika' dan 'sekuleris Amerika yang najis'.
Lain halnya dengan Saudi Arabia, di Yordania, kasus ini terjadi manakala Tujan al-Faysal mengemukakan tuntutan hak kesetaraan bagi kaum perempuan dan menyerang gagasan kalangan konservatif Islam. Bagi kalangan konservatif Islam saat itu dia mendapat kutukan atas segala tindakan tuntutannya. Mereka, melalui pengadilan syari'ah mengajukan hukuman baginya sebagai orang murtad yang tidak diberi hak membebaskan diri dari hukuman mati melalui pertobatan. Sebagai akibat dari tindakanya, halal bagi setiap muslim untuk membunuhnya, diceraikan dari suaminya, dipisahkan dari anak dan keluarganya.
Di Mesir, pada 15 April 1991, sebuah organisasi yang mengatas namakan hak asasi manusia, yaitu The Arab Women's Solidarity Association (AWSA), dibubarkan oleh pemerintah melalui sebuah keputusan administratif. Hal ini diberlakukan setelah mereka mengemukakan gagasan persamaan status perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang. Konsekuensinya, semua aset organisasi tersebut di transfer ke organisasi perempuan yang lain.
Di Libya, Muammar Qadafi, seorang diktator kiri melalui hukum Libya tidak memberikan perlindungan bagi kebebasan beragama. Ia memenjarakan dan mengeksekusi kalangan muslim fundamentalis yang menentangnya. Menuduh mereka dengan tuduhan murtad dan zindiq. Dengan begitu dia mengutuk penentang politiknya yang dia anaiaya sebagai Zindiq. Begitupu yang terjadi di Sudan, seorang wakil dari regim fundamentalis radikal sedang berusaha menjustifikasi sebuah hukum yang memberlakukan hukuman mati bagi mereka yang murtad atas dasar bahwa perbuatan itu sam dengan perbuatan melawan Negara.

Melalui bukti-bukti yang di kemukakan oleh Meyer diatas, dia berfokus pada masalah perempuan dan kebebasan beragama. Adapun hal yang menurutnya layak diperdebatkan adalah mengenai bagaimana hukum Islam harus diinterprestasikan atau diaplikasikan, tetap relevan untuk berbagai dimensi pemikiran Islam kontemporer; tetapi tidak perlu harus memahami berbagai seluk beluk doktrin Islam untuk mengerti kapan hak-hak dan kebebasan tidak dapat dibiarkan direbut dari tangan kaum muslim. Yang diperlukan adalah rasa keadilan dan empati bagi mereka yang menderita.


Persepsi Islam Terhadap Hak Asasi Manusia

Terkait dengan pembahasan HAM dalam perspektif Islam dan Barat (sekuler) memiliki beberapa perbedaan yang sangat mendasar. Dalam perspektif Islam, syaria'at memberikan garis pemisah yang jelas antara huquq Allah dan huquq al –ibad. Hak Allah adalah merupakan kewajiban yang dicanangkan bagi tiap manusia untuk dilaksanakan. Hal ini sebagai manifestasi dari pengakuan atas Kemahakuasaan, Keesaan dan Keunikan-Nya. Hak manusia merupakan anugerah Tuhan kepada-Nya yang kelak akan kembali. Dalam hal ini sifat Hak Asasi Manusia bersifat teosentris. Artinya, yaitu hak yang bertujuan dan bersumber dari Tuhan. Sekuler, memandang HAM hanya  bersifat pada hubungan manusia itu sendiri yang diperoleh sebagai produk alamiah sejak lahir. Dengan demikian HAM sekuler bersifat antroposentris yakni hanya terfokus hanya pada manusia itu sendiri. [1]
Islam, dalam mengekspresikan kebebasan manusia menempatkannya dalam konsep keadilan. Konsep keadilan ini sudah dijelaskan dalam surat potongan ayat 8 dari surat Al- Maidah yang artinya berbunyi " … dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berbuat tidak adil".[2] Dengan demikian keadilan yang tercermin dalam ajaran Islam berlaku bagi semua jenis golongan dan penganut agama yang berbeda. Implikasinya, masyarakat non muslim minoritas yang tinggal dalam wilayah mayoritas muslim harus akan mendapatkan perlakuan keadilan yang sama dengan muslim itu sendiri. Ibnu Taimiyah dalam pandangannya tentang kenegaraan Islam mengatakan bahwa "sungguh saling berkelindan; tanpa kekuasaan Negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin wahyu, Negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik."[3] ia juga menambahkan "melihat tegaknya sebuah keadilan berarti melaksanakan perintah dan menghindar dari kejahatan dan kemasyarakatan tauhid serta mempersiapkan munculnya sebuah masyarakat yang hanya mengabdi kepada Allah."[4]
Terkait dengan keberadaan HAM (Hak Asasi Manusia), seharusnyan kita juga berpikir tentang keberadaan KAM (Kewajiban Asasi Manusia).[5] Karena secara kausal dimana ada hak pasti ada kewajiban. Hak ialah sesuatu yang diterima, sedangkan dan kewajiban adalah sesuatu yang diberikan, baik kepada orang lain, masyarakat, maupun dalam bentuk bakti kepada Tuhan (Allah). Hubungan keduanya amatlah erat dan tidak dapat dipisahkan. Jadi, manakah yang harus didahulukan antara hak dan kewajiban. Dalam perspektif ajaran Islam, kewajiban lebih diutamakan sebelum memperoleh hak. Contohnya; seorang yang hendak solat (berdoa) maka ia wajib berwudlu. Dalam kehidupan sehari-hari; orang yang mau naik kereta api harus membeli tiket terlebih dahulu.
Adapun, perlakuan kebebasan beragama dan perlakuan terhadap muslim telah jelas diatur dalam pasal-pasal yang disepakati pada deklarasi HAM Islam yang ditanda tangani pada bulan September 1981 di Paris, pada permulaan abad 15 era Islam, yang mana telah disepakati oleh para sarjana muslim, ahli hukum, dan para perwakilan pergerakan Islam seluruh dunia. Isi dari pasal-pasal perjanjian tersebut didasarkan pada Kitab suci Al-Qur'an dan As-Sunnah. Jadi, sudah jelas bahwa Islam sangat menjamin akan terlaksanannya keadilan bagi seluruh umat manusia.
                Deklarasi HAM Islam sedunia itu sendiri dari dari pembukaan dan 22 macam pasal hak-hak asasi manusia yang harus ditegakkan dalam setiap pemerintahan diwilayah atau Negara-negara Islam. Diantara pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
1   Hak Hidup
2. Hak Kemerdekaan
3. Hak Persamaan dan Larangan terhadap Adanya Diskriminasi yang Tidak Terizinkan
4. Hak Mendapat Keadilan
5. Hak Mendapatkan Proses Hukum yang Adil
6. Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyalahgunaan Kekuasaan
7. Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyiksaan
8. Hak Mendapatkan Perlindungan atau Kehormatan dan Nama Baik
9. Hak Memperoleh Suaka (Asylum)
10. Hak-hak Minoritas
11. Hak dan Kewajiban untuk Berpartisipasi dalam Pelaksanaan dan Manajemen Urusan-urusan Publik
12. Hak Kebebasan Percaya, Berpikir, dan Berbicara
13. Hak Kebebasan Beragama
14. Hak Berserikat Bebas
15. Hak Ekonomi dan Hak Berkembang Darinya
16. Hak Mendapatkan Perlindungan atas Harta Benda
17. Hak Status dan Martabat Pekerja dan Buruh
18. Hak Membentuk Sebuah Keluarga dan Masalah-masalahnya
19. Hak-hak Wanita yang Sudah Menikah.
20. Hak Mendapatkan Pendidikan
21. Hak Menikmati Keleluasaan Pribadi (Privacy)
22. Hak Mendapatkan Kebebasan Berpindah dan Bertempat Tinggal
                Secara universal Islam sudah lengkap memberikan jalan petunjuk bagi terselenggarannya sebuah konsep keadilan disetiap pemerintahan yang berlaku. Adapun permasalahan terkait dengan penyelewengan pasal-pasal yang sudah ditanda tangani diatas adalah merupakan bentuk kelemahan pimpinan yang bersifat personal. Ini tidak bisa sepenuhnya dikaitkan dengan ajaran Islam. Hal yang terjadi pada kasus-kasus penyalah gunaan hak di wilayah timur tengah seperti yang ditulis oleh Ann Elizabeth Mayer. Menurut penulis, konsep ajaran ukhuwah Islamiyah bagi umat Islam sudah menjadi pengikat untuk terciptanya masyarakat yang adil.

DAFTAR PUSTAKA
·         Dr. Alwi Shihab dkk, Islam Inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung: Mizan, 1998), hal 179.
·         Al-Qur'and dan Terjemahan, Depag RI,
·         Dr. Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hal 57.
Majalah Mimbar, Edisi October, 2004.


[1] Dr. Alwi Shihab dkk, Islam Inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung: Mizan, 1998), hal 179.
[2] Al-Qur'and dan Terjemahan, Depag RI,
[3] Dr. Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hal 57.
[4] Ibid, hal 57.
[5] Majalah Mimbar, Edisi October, 2004.