Translate

HAK ASASI DALAM HUKUM ISLAM


Istilah HAM pada masa sejarah awal Islam belum dikenal secara luas. Seiring dengan ekspansi wilayah oleh umat muslim maka semakin luas pulalah wilayah territorial Islam. Pada gilirannya, akan banyak penganut ajaran / agama yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Dalam system pemerintahan permulaan Islam, mereka yang tidak mau memeluk agama Islam disebut zimmi. Istilah ini merupakan modifikasi dari kata jiwar, yaitu sebutan tradisi orang araab untuk memberikan perlindungan terhadap pihak asing.
Hak Asasi Manusia (huququl insan al-asasiyah) dideklarasikan pada abad 15 H, dengan sebuah perjanjian yang ditanda tangani di Perancis yang dikenal dengan Universal Islamic Declaration of Human Rights, tepatnya di kota Paris tahun 1981. secara terminologis HAM merupakan fenomena baru yang muncul ke permukaan. Beberapa pihak mereferensikan istilah ini dari code of law yang dilahirkan oleh pemerintahan Babylonian King Hammurabi (2130-2088 S.M). Bukti sejarah yang paling awal menyampaikan kepada kita adalah Aturan-aturan Republik Roma yang memberi hak kepada warga negaranya untuk berpartisipasi dalam hukum, termasuk membuat dan memilih petugas-petugas Negara. Yang paling akhir adalah droits de I’llhome yang dirumuskan para pemikir Prancis pada awal masa modern. Secara positif; tujuan HAM adalah ingin menundukan manusia sebagaimana mestinya dengan memberikan hak-hak dasarnya tanpa membedakan suku, bangsa, warna kulit, jenis kelamin, dan agama. Seiring dengan banyaknya perhatian kalangan terhadap isu HAM, namun hal ini ternyata tidak mengurangi jumlah tingkat pelanggaran kekerasan yang ada, bahkan cenderung meningkat.
Permasalahanya, dalam isu ini barat mengkaitkan masalah pelanggaran HAM dengan Islam. Ann Elizabeth Mayer, yang menulis hubungan pelanggaran HAM dengan Islamisasi di wilayah Pakistan , Iran dan Sudan. Menurutnya program Islamisasi yang dicanangkan di tiga wilayah tersebut tidak merubah keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Namun secara positif ia memperingatkan masyarakat Islam bahwa pelanggaran HAM bias merajalela di tengah masyarakat dimana penguasanya mengklaim mendasarkan pada ajaran Islam. Dalam hal ini Islam hanya dijadikan topeng atas kebobrokan system pemerintahannya.
Gambaran masyarakat minoritas Non-muslim yang tinggal dalam wilayah kekuasaan umat Islam dijadikan topic utama sebagai serangan terhadap pelanggaran HAM oleh Barat terhadap Islam. Jacques Ellul, dalam karyanya Bat Ye’or, The Dhimmi, posisi zimmi sama saja dengan pekerja kasar di bangsa Eropa pada zaman pertengahan. Status pekerja kasar berubah denga kondisi sejarah yang makin maju, sedangkan menurutnya zimmi sangatlah berbeda. Ia merupakan satu realisasi dari ajaran agama dalam melihat dunia ini. Menurutnya pula zimmi merupakan perwujudan dari pandangan teologi Islam yang bersifat absolut/ mutlak yang merupakan keharusan yang harus diwujudkan dalam kehidupan.
Pengertian zimmi itu sendiri mengandung beberapa perbedaan pandangan diantara kalangan cendikiawan muslim. Al-Razi berpendapat bahwa zimmi hanya terbatas pada ahli kitab. Zamakhsyari berpendapat bahwa ayat la­a ikraha fi al-din diberlakukan bukan hanya kepada ahli kitab tapi juga kepada semua non muslim. Pendapatnya mendapat dukungan dari Sachedina. Muhammed Talbi (Tunisia) mengemukakan analisis yang lebih berbeda lagi tentang masalah keyakinan untuk menerima dan menolak Islam adalah merupakan hak individu, karena itu adalah fitrah. Pemaksaan hanya akan dilakukan oleh mereka yang tidak memahami secara betul keyakinannya itu sendiri. Jadi tidak ada alas an untuk membatasi zimmi hanya pada ahli kitab dan semua non-Muslim tidak bisa dipaksa untuk melepaskan keyakinan mereka untuk diperangi. Nurkholis Madjid  yang mengutip pendapat ‘Abdul Hamid Hakim, seorang pembaharu dari padang panjang, mengatakan bahwa ahli kitab tidak hanya mencakup pengikut agama Kristen, Yahudi, atau Majusi seperti yang disebut dalam hadis Nabi, namun juga meliputi agama yang memiliki kitab suci, seperti Hindu, Budha, Cina, Jepang dll.

Beberapa hal yang menjadi perbandingan tentang kegelisahan pandangannya terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah Timur Tengah. Ia mengungkap beberapa contoh yang sangat-sangat jelas menyalahi konsep pelanggaran terhadap HAM. Diantaranya; kasus pelarangan perempuan yang mengemudi mobil yang diberlakukan oleh pemerintah Saudi. Bahkan, pemerintah melalui mutawwa melakukan penangkapan terhadap mereka yang berdemonstrasi di sepanjang jalan-jalan Riyadh. Melalui pemegang wilayah keamanan tertinggi mereka yaitu Syeikh Abd al- Aziz bin Baz menjustifikasi pelarangan tersebut didasarkan pada concern umum di dalam hukum Islam untuk menjaga moralitas dan menghindari situasi yang dapat mendorong kepada perbuatan asusila. Usaha untuk mendeskriditkan para pemrotes dikutuk sebagai 'tidak Islami'. Dan perempuan tersebut dicap sebagai 'murtad' dan sebagai pendukung perbuatan asusila yang merupakan bagian dari konspirasi Amerika mensekulerisasikan Saudi Arabia. Bagi mereka julukan 'simpatisan Amerika' dan 'sekuleris Amerika yang najis'.
Lain halnya dengan Saudi Arabia, di Yordania, kasus ini terjadi manakala Tujan al-Faysal mengemukakan tuntutan hak kesetaraan bagi kaum perempuan dan menyerang gagasan kalangan konservatif Islam. Bagi kalangan konservatif Islam saat itu dia mendapat kutukan atas segala tindakan tuntutannya. Mereka, melalui pengadilan syari'ah mengajukan hukuman baginya sebagai orang murtad yang tidak diberi hak membebaskan diri dari hukuman mati melalui pertobatan. Sebagai akibat dari tindakanya, halal bagi setiap muslim untuk membunuhnya, diceraikan dari suaminya, dipisahkan dari anak dan keluarganya.
Di Mesir, pada 15 April 1991, sebuah organisasi yang mengatas namakan hak asasi manusia, yaitu The Arab Women's Solidarity Association (AWSA), dibubarkan oleh pemerintah melalui sebuah keputusan administratif. Hal ini diberlakukan setelah mereka mengemukakan gagasan persamaan status perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang. Konsekuensinya, semua aset organisasi tersebut di transfer ke organisasi perempuan yang lain.
Di Libya, Muammar Qadafi, seorang diktator kiri melalui hukum Libya tidak memberikan perlindungan bagi kebebasan beragama. Ia memenjarakan dan mengeksekusi kalangan muslim fundamentalis yang menentangnya. Menuduh mereka dengan tuduhan murtad dan zindiq. Dengan begitu dia mengutuk penentang politiknya yang dia anaiaya sebagai Zindiq. Begitupu yang terjadi di Sudan, seorang wakil dari regim fundamentalis radikal sedang berusaha menjustifikasi sebuah hukum yang memberlakukan hukuman mati bagi mereka yang murtad atas dasar bahwa perbuatan itu sam dengan perbuatan melawan Negara.

Melalui bukti-bukti yang di kemukakan oleh Meyer diatas, dia berfokus pada masalah perempuan dan kebebasan beragama. Adapun hal yang menurutnya layak diperdebatkan adalah mengenai bagaimana hukum Islam harus diinterprestasikan atau diaplikasikan, tetap relevan untuk berbagai dimensi pemikiran Islam kontemporer; tetapi tidak perlu harus memahami berbagai seluk beluk doktrin Islam untuk mengerti kapan hak-hak dan kebebasan tidak dapat dibiarkan direbut dari tangan kaum muslim. Yang diperlukan adalah rasa keadilan dan empati bagi mereka yang menderita.


Persepsi Islam Terhadap Hak Asasi Manusia

Terkait dengan pembahasan HAM dalam perspektif Islam dan Barat (sekuler) memiliki beberapa perbedaan yang sangat mendasar. Dalam perspektif Islam, syaria'at memberikan garis pemisah yang jelas antara huquq Allah dan huquq al –ibad. Hak Allah adalah merupakan kewajiban yang dicanangkan bagi tiap manusia untuk dilaksanakan. Hal ini sebagai manifestasi dari pengakuan atas Kemahakuasaan, Keesaan dan Keunikan-Nya. Hak manusia merupakan anugerah Tuhan kepada-Nya yang kelak akan kembali. Dalam hal ini sifat Hak Asasi Manusia bersifat teosentris. Artinya, yaitu hak yang bertujuan dan bersumber dari Tuhan. Sekuler, memandang HAM hanya  bersifat pada hubungan manusia itu sendiri yang diperoleh sebagai produk alamiah sejak lahir. Dengan demikian HAM sekuler bersifat antroposentris yakni hanya terfokus hanya pada manusia itu sendiri. [1]
Islam, dalam mengekspresikan kebebasan manusia menempatkannya dalam konsep keadilan. Konsep keadilan ini sudah dijelaskan dalam surat potongan ayat 8 dari surat Al- Maidah yang artinya berbunyi " … dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berbuat tidak adil".[2] Dengan demikian keadilan yang tercermin dalam ajaran Islam berlaku bagi semua jenis golongan dan penganut agama yang berbeda. Implikasinya, masyarakat non muslim minoritas yang tinggal dalam wilayah mayoritas muslim harus akan mendapatkan perlakuan keadilan yang sama dengan muslim itu sendiri. Ibnu Taimiyah dalam pandangannya tentang kenegaraan Islam mengatakan bahwa "sungguh saling berkelindan; tanpa kekuasaan Negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin wahyu, Negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik."[3] ia juga menambahkan "melihat tegaknya sebuah keadilan berarti melaksanakan perintah dan menghindar dari kejahatan dan kemasyarakatan tauhid serta mempersiapkan munculnya sebuah masyarakat yang hanya mengabdi kepada Allah."[4]
Terkait dengan keberadaan HAM (Hak Asasi Manusia), seharusnyan kita juga berpikir tentang keberadaan KAM (Kewajiban Asasi Manusia).[5] Karena secara kausal dimana ada hak pasti ada kewajiban. Hak ialah sesuatu yang diterima, sedangkan dan kewajiban adalah sesuatu yang diberikan, baik kepada orang lain, masyarakat, maupun dalam bentuk bakti kepada Tuhan (Allah). Hubungan keduanya amatlah erat dan tidak dapat dipisahkan. Jadi, manakah yang harus didahulukan antara hak dan kewajiban. Dalam perspektif ajaran Islam, kewajiban lebih diutamakan sebelum memperoleh hak. Contohnya; seorang yang hendak solat (berdoa) maka ia wajib berwudlu. Dalam kehidupan sehari-hari; orang yang mau naik kereta api harus membeli tiket terlebih dahulu.
Adapun, perlakuan kebebasan beragama dan perlakuan terhadap muslim telah jelas diatur dalam pasal-pasal yang disepakati pada deklarasi HAM Islam yang ditanda tangani pada bulan September 1981 di Paris, pada permulaan abad 15 era Islam, yang mana telah disepakati oleh para sarjana muslim, ahli hukum, dan para perwakilan pergerakan Islam seluruh dunia. Isi dari pasal-pasal perjanjian tersebut didasarkan pada Kitab suci Al-Qur'an dan As-Sunnah. Jadi, sudah jelas bahwa Islam sangat menjamin akan terlaksanannya keadilan bagi seluruh umat manusia.
                Deklarasi HAM Islam sedunia itu sendiri dari dari pembukaan dan 22 macam pasal hak-hak asasi manusia yang harus ditegakkan dalam setiap pemerintahan diwilayah atau Negara-negara Islam. Diantara pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
1   Hak Hidup
2. Hak Kemerdekaan
3. Hak Persamaan dan Larangan terhadap Adanya Diskriminasi yang Tidak Terizinkan
4. Hak Mendapat Keadilan
5. Hak Mendapatkan Proses Hukum yang Adil
6. Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyalahgunaan Kekuasaan
7. Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyiksaan
8. Hak Mendapatkan Perlindungan atau Kehormatan dan Nama Baik
9. Hak Memperoleh Suaka (Asylum)
10. Hak-hak Minoritas
11. Hak dan Kewajiban untuk Berpartisipasi dalam Pelaksanaan dan Manajemen Urusan-urusan Publik
12. Hak Kebebasan Percaya, Berpikir, dan Berbicara
13. Hak Kebebasan Beragama
14. Hak Berserikat Bebas
15. Hak Ekonomi dan Hak Berkembang Darinya
16. Hak Mendapatkan Perlindungan atas Harta Benda
17. Hak Status dan Martabat Pekerja dan Buruh
18. Hak Membentuk Sebuah Keluarga dan Masalah-masalahnya
19. Hak-hak Wanita yang Sudah Menikah.
20. Hak Mendapatkan Pendidikan
21. Hak Menikmati Keleluasaan Pribadi (Privacy)
22. Hak Mendapatkan Kebebasan Berpindah dan Bertempat Tinggal
                Secara universal Islam sudah lengkap memberikan jalan petunjuk bagi terselenggarannya sebuah konsep keadilan disetiap pemerintahan yang berlaku. Adapun permasalahan terkait dengan penyelewengan pasal-pasal yang sudah ditanda tangani diatas adalah merupakan bentuk kelemahan pimpinan yang bersifat personal. Ini tidak bisa sepenuhnya dikaitkan dengan ajaran Islam. Hal yang terjadi pada kasus-kasus penyalah gunaan hak di wilayah timur tengah seperti yang ditulis oleh Ann Elizabeth Mayer. Menurut penulis, konsep ajaran ukhuwah Islamiyah bagi umat Islam sudah menjadi pengikat untuk terciptanya masyarakat yang adil.

DAFTAR PUSTAKA
·         Dr. Alwi Shihab dkk, Islam Inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung: Mizan, 1998), hal 179.
·         Al-Qur'and dan Terjemahan, Depag RI,
·         Dr. Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hal 57.
Majalah Mimbar, Edisi October, 2004.


[1] Dr. Alwi Shihab dkk, Islam Inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung: Mizan, 1998), hal 179.
[2] Al-Qur'and dan Terjemahan, Depag RI,
[3] Dr. Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hal 57.
[4] Ibid, hal 57.
[5] Majalah Mimbar, Edisi October, 2004.

tentang al-Qur'an


Al-Qur’an
Firman Tuhan, Sumber Pengetahuan dan Perbuatan
*oleh : Ben Ra Vika

Perjanjian antara Tuhan dan manusia dibuat oleh kebaikan yang mana manusia terima (amanah) dengan menjadi manusia yang bebas dan berakal beserta segala kesempatan dan bahaya yang berimplikasi tanggung jawab, yang ditandai secara nyata (fisik) dengan batu ka’ba. Rekaman spiritual tentang perjanjian ini terkandung dalam al-Qur’an, theophany Islam itu sendiri merupakan ungkapan kepandaian bicara dari perjanjian abadi antara manusia dan Tuhan. Dalam ayat al-Qur’an ‘Bukankah Aku Tuhan Kamu ‘ (VII,172) (الست بربكم), Tuhan menawarkan kepada manusia bahkan sebelum awal waktu yang bersejarah (masa terdahulu) dan penciptaan bumi tentang perjanjian ini dan jawabannya ‘Ya, Kami bersaksi’ (بلي شهدنا) manusia menyanggupi tantangan dari ajakan ini, dan menyetujui untuk untuk membawa kepercayaan ini sebagai ‘Hamba Tuhan’ (‘abd). Dalam hal ini ‘YA’ menyembunyikan rahasia dan signifikansi utama dari keberadaan manusia, tentang kehidupan mahluk teomorfis Tuhan sebagai Wakil Tuhan atau Khalifah di muka bumin ini.
Al-qur’an mengandung pesan dengan bantuan yang dengannya perjanjian ini dapat dijaga dan secara entelechy keberadaan manusia terpenuhi. Dengan demikian ia adalah pusat dari realitas dalam kehidupan Islam. Itu adalah dunia di mana seorang muslim tinggal. Dia terlahir dengannya dalam banyak nyanyian kalimat di setiap telinga anak Islam yang baru terlahir yaitu syahadat yang terkandung di dalam al-Qur’an. Dia belajar bagian-bagian tertentu darinya seperti seorang anak dan mulai untuk mengulangi beberapa bentuk rumusannya dari waktu dia bisa berbicara. Dia membacakan beberapa surat darinya dalam solatnya sehari-hari. Dia dinikahkan melalui bagian-bagian bacaan dari kitab suci dan ketika dia mati al-Qur’an dibacakan baginya. Al-Qur’an adalah urat atau daging kehidupan dari seorang muslim yang; kalimat-kalimatnya menyerupai substansi jiwanya yang terkait.
            Al-Qur’an bagi muslim merupakan wahyu dan kitab yang padanya pesan-Nya bagi setiap orang terkandung. Ia adalah Firman Tuhan yang diwahyukan Nabi melalui malaikat Jibril. Dengan demikian Nabi merupakan alat yang dipilih oleh Tuhan untuk pewahyuan firman-Nya, pada kitab-Nya baik semangat dan suratnya, isi dan bentuk, adalah bersifat Ketuhanan. Bukan hanya isi dan makna yang berasal dari Tuhan tapi juga wadah dan bentuk yang demikian merupakan sebuah aspek wahyu yang integral.
Menurut sumber-sumber tradisi, yang mana sendiri masalah tersebut dalam pertanyaan-pertanyaan, al-Qur’an diwahyukan kepada nabi ketika dia menghabiskan beberapa lamanya waktu, seperti dia sering menyendiri, dalam sebuah gua di gunung Hira’ dekat Mekkah. Tiba-tiba ketidaksadaran wadah manusianya dipinjam dan diluluhkan oleh malaikat Jibril, yang memiliki fungsi banyak cara dalam Islam seperti  Hantu Suci dalam agama Kristen. Dia berkata kepada Nabi ‘bacalah!’ (اقرا) dan dengan kata itu penurunan wahyu Ketuhanan dimulai. Itu adalah signifikansi terbesar bahwa ayat pertama yang diwahyukan adalah ‘bacaan’ untuk lambang supremasi dari kenabian dalam Islam yaitu sebuah Kitab. Di dalam agama lain ‘penurunan yang mutlak’ telah mengambil bentuk lain, tapi dalam Islam sama dengan agama Semit yang lainnya tapi dengan lebih penekanan, kenabian/pewahyuan dihubungkan dengan sebuah ‘kitab’ dan dalam faktanya Islam menggambarkan pengikut agama-agam wahyu sebagai ‘Orang-Orang Kitab’ (ahl al-kitab).
            Perintah malaikat Jibril untuk ‘membaca’ sang Nabi menjawab dengan menyatakan bahwa dirinyaa tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya, manusia ummi. Tapi wahyu Ketuhanan itu sendirilah yang telah memberikan kekuatan untuk ‘membaca’ kitab Tuhan dan dengan demikian dia menjadi manusia perantara wahyu ini yang  dia serukan kepada umat manusia. Agama kebenaran ini, seperti banyak  sering terjadi di tradisi-tradisi lainnya, adalah sebuah kesulitan bagi manusia untuk menerima dengan akal, bukan karena ia sendiri tidak masuk akal tapi karena akal memerlukan pengalaman sensibilitas keseharian dan dikejutkan dengan sebuah fenomena yang melebihi ikatan dan pengaruh pada pengalaman tersebut.  Seseorang bertanya bagaimana bisa Nabi menjadi Ummi dan masih ‘membaca’. Bagaimana bisa dia yang buta huruf dan masih bisa mengumandangkan al-Qur’an yang merupakan hal yang paling indah dari semua karya dalam bahasa Arab, sebuah kitab yang memiliki kefasihan tersendiri sebagai mukjizat terbesar dalam agama Islam.
            Banyak kalangan penulis Barat menulis tentang pertanyaan pokok ini, mulai dengan asumsi – sering bersembunyi di dalam tabir yang juga menyebut dengan ‘Objektivitas’  dan ‘Ilmu Pengetahuan’- bahwa al-Qur’an bukan sungguh-sungguh Firman Tuhan, wahyu dari langit. Dengan demikian, ia harus dijelaskan lebih jauh. Bukan Firman Tuhan, dalam pandangan mereka ia pasti merupakan karya nabi secara natural yang karenanya pasti merupakan seorang penyair yang sangat bagus dan tidak mungkin dia seorang buta huruf. Dia pasti telah belajar banyak hal di sana sini dari komunitas bangsa Yahudi di Madinah atau biarawan Kristen di Syria dan meletakkan mereka semua ke dalam sebuah kitab yang nampak dalam kritikan-kritikan ini sebagai sebuah replika atau tiruan kitab suci kitab suci lainnya seperti Taurat dan Injil.
Sebuah pandangan semacam ini mungkin telah dipertahankan oleh seseorang yang menolak semua pewahyuan semacam di atas tapi adalah sebuah keanehan untuk mendengar pandangan-pandangan semacam penulis yang sering menerima Agama Kristen dan agama Yahudi sebagai kebenaran wahyu. Adalah tidak cukup untuk membuat sebuah perbandingan morfologis antara Islam dan taruhlah agama Kristen untuk menyadari mengapa Nabi harus buta huruf dan mengapa seseorang yang mengerti agama metafisis dan secara intelektual harus menerima agama semacam keduanya, itu semuanya tradisi-tradisi ortodok, atau lebih bahaya ketidak-konsistenan intelektual atau kemunafikan spiritual.
Seseorang pasti bisa membuat perbandingan antara Islam dan Kristen dengan membandingkan Nabi dengan Kristus (Jesus/Isa), Al-Qur’an dengan Injil (perjanjian baru), Jibril dengan Ruh/Hantu Suci, Bahasa Arab dengan Bahasa Armaic, bahasa yang diucapkan oleh Kristus, dll. Dengan cara ini kitab suci dalam sebuah agama dapat dicocokan dengan kitab suci dalam agama lainnya, figur pusat dalam sebuah agama dengan figur pusat dalam agama lainnya dan seterusnya. Tipe perbandingan ini akan pasti bermakna dan berguna mengungkap pengetahuan tentang struktur pada dua agama. Tapi untuk memahami apa arti al-Qur’an bagi umat Islam dan mengapa Nabi diyakini sebagai buta huruf menurut keyakinan umat Islam, itu lebih penting untuk mempertimbangkan perbandingan ini dari sudut pandang yang lain.
Firman Tuhan dalam Islam adalah al-Qur’an; dalam agama Kristen ia adalah Kristus. Kendaraan dari – Pesan Ketuhanan dalam Agama Kristen adalah Maria Sang Perawan; dalam agama Islam ia adalah ruh Muhammad. Nabi harus buta huruf untuk alasan yang sama bahwa Maria juga harus perawan. Kendaraan manusia dari Pesan Ketuhanan haruslah suci dan tidak bersih. Firman Tuhan hanya dapat ditulis dalam kesucian dan lembar penerima manusia ‘Yang Tak Tersentuh’. Jika firman ini dalam bentuk daging suci yang disimbolkan dengan virginitas seorang ibu yang memberikan kelahiran bagi Firman, dan jika ia ada dalam bentuk sebuah Kitab suci kesucian ini disimbolkan dengan kebuta-hurufan alami seseorang yang dipilih untuk mengumumkan Firman ini sesama manusia. Seseorang tidak dapat menolak dengan logika kebuta -hurufan alami seorang Nabi dan dalam hal yang sama Kelahiran dari virginitas Maria. Kedua aspek besar dari misteri kerasulan ini menandakan dan sekali lagi bisa dipahami oleh seseorang yang tidak dapat menerima dan lainnya yang menolak.
Kebuta-hurufan alami dari Nabi mendemonstrasikan bagaimana manusia penerima secara penuh pasif sebelum peristiwa Kenabian. Apakah kesucian dan virginitas jiwa ini tidak ada, Firman Tuhan bisa menjadi sebuah hal yang ternoda dengan kesucian pengetahuan manusia secara murni dan tidak bisa dipresentasikan bagi umat manusia dalam keaslian kemurniannya. Nabi secara murni pasif dalam menghadapi wahyu yang dia terima dari Tuhan. Dia tidak menambahkan sendiri wahyu ini. Dia tidak menulis sebuah kitab yang dibawa sebagai Kitab Suci bagi umat manusia.
Untuk membawa analogi ini lebih jauh seseorang bisa menunjukan bukti bahwa al-Qur’an, jelmaan firman Tuhan, lalu mencocokan dengan Kristus dalam agama Kristen dan bentuk dari kitab ini, yang mana menyerupai isi yang ditentukan dengan keputusan langit, cocokan dalam sebuah rasa pada jiwa Kristus. Bentuk al-Qur’an adalah bahasa Arab yang mana pembicaraan keagamaanya merupakan hal yang terpisahkan dari al-Qur’an sebagaimana tubuh Kristus dari Kristus sendiri. Bahasa Arab adalah bahasa yang sakral dalam agama Islam, karena dalam wilayah ini bangsa Persia telah memainkan sebuah peran vital di tanah Kawasan Timur dari dunia Islam dari Persia hingga China. Bahasa Arab disucikan dalam hal ini karena ia merupakan bagian integral dari wahyu Qur’ani yang memiliki bunyi dan ungkapan-ungkapan yang memainkan sejumlah peran dalam praktek ritual ajaran agama Islam.
Sudah pasti Islam tidaklah dimaksudkan hanya bagi orang Arab dan itu tidaklah perlu untuk mengetahui Bahasa Arab secara baik untuk menjadi seorang muslim. Telah ada sejumlah ilmuan Muslim yang sama sekali tidak bisa berbicara atau membaca bahasa Arab. Tapi bentuk bacaan al-Qur’an dalam sholat-sholat dan praktek peribadatan lainnya harus diwujudkan dalam bahasa suci al-qur’an yang seseorang dengan sendirinya mampu untuk meresapi dalam isi dan ditransformasikan dengan kehadiran Ketuhanan dan pemberian (barakah) kitab Ketuhanan. Itulah mengapa, meskipun ia tidak penting untuk mengetahui bahasa Arab secara baik untuk menjadi seorang muslim, adalah perlu seminimal mungkin untuk mengetahui ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki peran penting dalam praktek peribadatan. Itulah juga mengapa al-Qur’an tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun untuk tujuan ritual dan mengapa orang non-Arab selalu  memperkuat belajar bahasa Arab, bukan pembicaraan bahsa Arab yang mana dengannya seseorang mampu berbicara tentang materi keseharian, tapi bahasa Arab yang bentuknya merupakan sebuah bagian dari pendidikan religius yang melaluinya dapat membantu dunia umat muslim dalam membaca dan memahami kitab suci tuhan.
Adalah sulit bagi orang barat untuk memahami makna dan pengertian dari sebuah bahasa yang sakral, yang mana ia tampil dalam agama-agama tertentu karena dalam agama Kristen tidak ada bahasa yang sakral atau suci. Dan karena hal ini sangat masuk akal sebab modernisasi umat Islam tidak dapat memahami materi yang sangat penting ini semuanya, baik mereka yang yang merupakan muslim non-Arab yang mencoba untuk menggantikan bahasa-bahasa Islam lainnya kedalam bahasa Arab dalam praktek-praktek peribadatan ataupun orang arab sendiri yang mencoba untuk mensekulerisasikan bahasa Arab. Kalangan berikutnya mengambil keuntungan dari bukti bahwa Tuhan memilihnya sebagai  sebuah bahasa wahyu yang ditujukan bukan untuk orang-orang Arab sendiri tapi bagi sejumlah segmen dari umat manusia, dan kesalahan aturan sakral bahasa Arab dalam agama Islam dengan aturan-aturanya yang diharapkan dalam bentuk-bentuk kelaziman etnis dan nasionalisme ketata bahasaan.
Untuk memahami peran bahasa Arab dalam Islam kita harus melihat sekilas dengan berani pada tradisi-tradisi keagamaan besar lainnya di dunia. Seseorang melihat secara langsung bahwa ada dua tipe  tradisi: Satu, didasarkan pada penemu tradisi yang dalam hal ini dianggap sebagai ‘Keturunan Tuhan’, inkarnasi atau dalam agama Hindu beristilah avatara, yang menyatakan dirinya ‘Firman Tuhan’ dan pesan dari langit (surga). Dalam tradisi tersebut tidak ada bahasa yang disucikan karena badan atau bentuk luar dari penemu itu sendiri merupakan bentuk external dari Firman. Sebagai contoh, dalam agama Kristen, Kristus (Isa) sendiri adalah Firman Tuhan dan itu tidak menjadi masalah baik yang seseorang rayakan secara masal di Yunani, Latin atau untuk masalah tersebut bahasa Arab atau bangsa Persia bisa diikut-sertakan dalam ‘darah’ dan ‘badan’ dari Kristus. Bahasa Latin dalam gereja Katolik merupakan bahasa Liturgi (peribadatan) bukan sesuatu yang disucikan.
Atau dengan mengambil sebuah keadaan luar tradisi umat Nabi Ibrahim, dalam ajaran Budha, Budha sendiri merupakan sebuah avatara atau inkarnasi. Kitab Budha terdahulu pertama kali dimunculkan dalam bahasa Sansekerta/sankrit. Kemudian diterjemahkan dalam bahasa Pali, Tamil, Tibet, Bahasa China, bahasa Jepang dan banyak bahasa lainya. Seseorang bisa menjadi seorang budha yang baik secara sempurna dan tidak mengetahui bahasa Sansekerta serta membaca teks-teks keagamaan, misalkan saja dalam bahasa Jepang. Lagi-lagi disini bentuk dari ‘firman’ bukanlah sebuah bahasa, karena ‘firman’ bukanlah sebuah kitab tapi seseorang. Bentuk itu sendiri condong kepada aspek external dari Budha itu sendiri dan kita tahu bahwa dalam ajaran Budha anggapan Budha yang sangat indah tersimpan.
Berbeda dengan tradisi-tradisi tersebut yang paling sedikit melekat satu sama lainnya, meskipun ajaran Budha dan Kristen membedekan secara ekslisit dalam banyak hal, ada hal lain yang di dalamnya penemu itu sendiri bukanlah pesan dari langit/surga, Firman Tuhan, tapi merupakan utusan bagi dunia ini. Pada kenyataannya ini merupakan aspek yang mana di bawahnya Islam menggambarkan semua kenabian karenanya seorang penemu dari sebuah agama disebut rasul; secara literal seseorang yang membawa sebuah risalah atau pesan dari Tuhan. Dalam agama-agama tersebut karena penemu itu sendiri bukanlah Firman dan bentuk externalnya bukanlah bentuk secara langsung dari Firman di sini harus ada bahasa yang suci yang mana keterlepasannya dihubungkan dengan isi dari pesan dan takdir Tuhan yang terpilih sebagai kendaraan ungkapan firman-Nya. Bunyi dan firman-firman bahasa yang sangat disucikan tersebut merupakan bagian-bagian dari kerasulan dan memainkan peran yang sama dalam agama masing-masing sebagai badan Kristus sebagaimana hal ini dalam agama Kristen.
Lagi untuk mengambil atau mengutip beberapa contoh, seseorang bisa menyebutkan ajaran Yahudi dan Islam dan dalam sebuah iklim agama Hindu yang berbeda. Musa adalah seorang Nabi yang membawa pesan dari langit. Pesan ini memiliki bahasa yang disucikan yaitu Hebrew (ibrani). Seorang Yahudi ortodok dapat menulis filsafat Yahudi dan Teologi dalam bahasa Arab seperti yang dilakukan oleh Maimonidas, tapi dia tidak dapat menunjukkan tata cara atau membaca Taurat secara keagamaan dalam hal apapun melainkan dalam bahasa Ibrani. Dia tidak dapat membuat sebuah analisa ketata-bahasaan dan filosofis pada kitab taurat dengan bahasa lainnya, kita sebut saja Bahasa Yunani sebagaimana yang telah dilakukan oleh Philo, tapi dia tidak dapat melibatkan diri dalam ‘Perwujudan Ketuhanan’ pada kitab Tuhan kecuali melalui bahasa suci umat Yahudi. Dalam ajaran Hindu seseorang bisa membaca kitab Veda seratus kali dalam bahasa Bengali, tapi lagi, dalam upacara keagamaan, seorang Brahma harus menyanyikan kitab Veda dalam bahasa Sankrit. Sankrit adalah bahasa suci bagi umat Hindu, bukan Budha, yang mana juga menggunakan Sankrit di permulaan, yang tidak bergantung padanya dalam cara yang sama. Persamaan menetapkan mutatis mutandis dalam Kristen Vis-a Vis dalam bahasa Ibrani dan Aramaic.
Dalam cahaya analisis ini adalah mungkin lebih mudah untuk memahami apa peran bahasa Arab dalam agama Islam. Seorang Persia bisa menjadi seorang filosuf atau ilmuan Islam besar dan menulis dalam bahasa Persia karena telah sering ada dalam keadaan tersebut. Atau dalam faktanya dia dapat mengarang puisi/syair Sufi dalam bahasa Persia yang mana juga telah dilakukan terhadap tingkat tertentu bahwa syair sufi dalam bahasa Persia lebih kaya dalam bahasa Arab. Seorang Turki dapat mengatur lebih dari jutaan umat muslim sebagai Sultan, dan akan tetapi tidak dapat berbicara dalam bahasa arab sedikitpun  sebagaimana masalah bagi banyak negeri. Seorang muslim anak benua bangsa India dapat menulis dalam ilmu hukum bahasa Arab dalam bahasa Persia, sebagaimana telah sering dibuktikan, melebihi bangsa Persia itu sendiri. Semua kasus ini adalah meligitimasi dan dalam pada kenyataannya cukup alami karena bahasa percakapan dunia Arab hanyalah sebuah bagian dari dunia Islam. Tapi baik orang islam Persia ataupun Turki begitupun India tidak dapat berpartisipasi dalam barakah dari Kitab Suci dan menunjukan ibadahnya seperti umat Islam jika dia harus menggunakan, katakanlah, Orang Turki atau Persia dalam solatnya sehari-hari. Kemanjuran dan peribadatan-peribadatan resmi, barzanji, doa-doa dan lain-lain tidak hanya terkandung dalam isi tapi juga dalam banyak gaung dan bunyi-bunyi dari bahasa yang suci. Agama bukanlah filsafat atau teologi yang ditujukan hanya untuk bidang mental atau jiwa. Ia adalah sebuah metode pengintegrasian seluruh wujud kita termasuk yang fisik dan ruhani. Bahasa suci melayani secara tepat sebagai sebuah sarana ketentuan yang mana dengannya seseorang dapat datang bukan hanya untuk berpikir tentang kebenaran suatu agama, yang mana hanya bagi orang dengan tipe mental tertentu, tapi untuk melibatkan diri dengan seluruh wujudnya dalam sebuah norma Ketuhanan. Kebenaran ini dapat diterima secara universal, dan secara khusus ia dengan jelas dijelaskan dalam permasalahan pada al-qur’an yang memiliki rumusan dan ayat yang memandu bagian-bagian kehidupan umat Islam dan yang memiliki pengulangan secara berkelanjutan sekaligus memberikan seorang lelaki yang dilindungi surga dalam kekacauan dari keberadaan duniawinya.
Banyak orang, khsususnya non-Muslim, yang membaca al-Qur’an untuk pertama kali tertabrak oleh apa-apa yang muncul seperti sebuah jenis ketidak mendasaran dari sudut pandang manusia. Itu tidaklah seperti teks-teks mistik yang secara tinggi atau logika sederhana ajaran Aristoteles, meskipun ia mengandung hal logis dan mistis. Ia bukan hanya syair Qur’an meskipun ia adalah syair terhebat. Teks al-qur’an mengungkap bahasa manusia yang ditundukkan oleh kekuatan Firman Tuhan. Ia meskipun bahasa manusia yang terpencar ke dalam seribu fragmen seperti sebuah gelombang yang dipencarkan ke titik-titik karang di laut. Seseorang merasakan melalui efek perpencaran tadi tertinggal atas bahasa Al-Qur’an, kekuatan Ketuhanan yang demikian murni. Al-Qur’an menampilkan bahasa manusia dengan semua kelemahan yang inheren dalam bentuk penerimaan yang tiba-tiba dari Firman Tuhan dan menampilkan kelemahannya sebelum sebuah kekuatan yang sangat jauh lebih besar ketimbang yang orang dapat bayangkan.
Al-Qur’an, sebagai kitab suci, tidak seharusnya dikomparasikan dengan bentuk tulisan manusia apapun karena secara pasti ia merupakan sebuah pesan Tuhan (wahyu) dalam bahasa manusia. Bukti ini memegang kebenaran sebagai mana kitab Injil, yang mana harus dikaji ulang yang tidak hanya termasuk Kitab Injil tapi juga Perjanjian Lama (taurat) dan kitab-kitab wahyu. Ada seseorang yang memandang, seperti dalam al-Qur’an, sebuah elemen yang nampak tidak koheren. Tidak, ia bukanlah teks suci yang tidak koheren. Orang itu sendirilah yang tidak koheren dan ia mengambil banyak usaha baginya untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam pusatnya sehingga pesan dari Kitab Ketuhanan akan menjadi jelas baginya dan mengungkapkan kepadanya makna terdalamnya sendiri.
Semua kesulitan dalam membaca al-qur’an dan usaha untuk mencapai maknanya merupakan hal ketidak sepadanan antara pesan Tuhan dan manusia penerima, antara apa yang Tuhan katakan dan apa yang manusia dapat dengar dalam sebuah bahasa yang mana meskipun wujudnya sebuah bahasa yang suci,  meskipun, sebuah bahasa seseorang. Tapi ia adalah sebuah bahasa yang suci karena Tuhan telah memilihnya sebagai alat komunikasi-Nya, dan Dia selalu memilih untuk ‘berbicara’ dalam sebuah bahasa primordial (purba) dan yang mengekspresikan kebenaran-kebenaran paling dalam dalam istilah-istilah yang paling konkrit. Ia kemudian hanyalah bahasa suci yang mengembangkan sebuah dimensi filosofis dan abstrak. Sebuah bahasa yang suci adalah mendalam dalam kedalamannya dan biasanya sedikit maju ke permukaan sebagaimana dapat dilihat dalam bahasa Arab Qur’ani. Setiap kata membawa sebuah makna dunia yang terkandung di dalamnya dan tidak pernah ada sebuah kesempurnaan ‘horizontal’ dan keterangan atau penjelasan didaktik dalam isinya.
Karena, Al-Qur’an mengandung tipe-tipe perbedaan pada judul (surat) dan ayat di dalamnya itu sendiri, yang beberapa darinya merupakan didaktik dan bersifat keterangan. Meskipun bukan di dalam sebuah pengertian yang mendalam, dan bagian syair lainnya, biasanya pendek dan langsung pada permasalahan. Al-Qur’an merupakan karangan dari sebuah kelimpahan dan saling keterkaitan pada tanaman kehidupan seperti terlihat di sebuah hutan yang sering tiba-tiba di gabungkah dengan geometri, simetris dan kemurnian dunia mineral (barang tambang), pada sebuah kristal yang ada sebelum cahaya. Kunci pada seni Islami tersebut ada dalam bukti kombinasi dari tanaman dan bentuk-bentuk mineral seperti yang diinspirasikan oleh bentuk ungkapan al-Qur’an yang menampilkan karakter ini dengan jelas. Beberapa ayat dan surat yang diperpanjang seperti pengaraban yang kemudian diformulasikan dalam dunia badaniah seperti dekorasi mesjid yang dikombinasikan dengan surat-surat aktual pada al-Qur’an. Hal lainnya merupakan perkembangan yang cepat pada sejumlah gagasan yang sangat jelas terexpresikan dalam sebuah bahasa yang lebih banyak geometris dan simetris seperti terlihat secara particular dalam surat-surat kitab suci pada bagian lebih lanjut.
Sekarang, kekuatan Al-Qur’an tidak bersandar pada saat ia mengungkapkan sebuah fakta dan fenomena historis. Ia bersandar dalam hal bahwa ia merupakan sebuah simbol yang memiliki makna yang valid karena ia tidak hanya berkenaan dengan sebuah bukti tertentu dalam sebuah masa saja tapi kebenaran-kebenaran yang merupakan wujud dalam banyak hal-hal yang alamiah yang perennial (kekal). Sudah pasti Al-Qur’an menyebutkan bukti-bukti penting seperti pendurhakaan umat tertentu terhadap Tuhan dan pembalasan-Nya terhadap orang-orang tersebut seperti kita lihat juga dalam Perjanjian Lama. Akan tetapi ‘bukti-bukti’ tersebut memelihara kekuatan mereka karena mereka memperhatikan kita sebagai symbol-simbol realitas yang selalu ada. Kemukjizatan al-Qur’an bersandar ada kepemilikan sebuah bahasanya yang mana mempunyai kemujaraban dalam memindah jiwa-jiwa orang saat ini, hampir sejak seribu empat ratusan lamanya sejak ia diwahyukan, sebanyak itu pula ia lakukan pada permulaan kemunculannya di atas muka bumi. Seorang muslim dipindahkan oleh al-Qur’an yang sangat terpercaya dan itu dikatakan bahwa sebuah ujian keimanan seseorang (iman) baik itu dialihkan melalui panggilan sholat (adhan) dan mengaji al-qur’an atau tidak. Kekuatan ini bersandar dengan tepat dalam kealamiahanya sebagai simbol bukan bukti, sebagai simbol dari sebuah kebenaran yang memperhatikan orang-orang di sini secara vital saat ini.
Al-Qur’an sebenarnya melahirkan Tiga nama dalam sumber-sumber tradisi Islam yang mana menuangkan cahaya melalui kealamiahan dan ketetapannya. Kitab suci Islam yang pertama ialah Al-qur’an, lalu Al’furqan dan terakhir adalah Umm- al Kitab. Kitab yang pertama dari semuanya adalah al-Qur’an, yaitu sebuah bacaan yang mana darinya nama-nama umum berasal. Ia juga Al-Furqan  yaitu sebagai penjelas, pembeda; dan pada akhirnya ia merupakan Umm al-kitab, induk dari semua kitab. Dalam tiga sebutan ini seseorang menemukan kepentingan yang mendalam pada Kitab ini bagi agama Islam. Ia merupakan sebuah bacaan dalam pengertian bahwa ia merupakan sebuah sarana konsentrasi atas kebenaran karena ‘bacaan’ merupakan sebuah pemusatan dimana di dalamnya ‘ide-ide’ dan ‘pikiran-pikiran’yang langsung mengarah ekspresi pada sebuah akhir yang pasti. Sebagaimana al-Qur’an sebagai kumpulan dari ‘gagasan’ dan ‘pemikiran’ yang mengarahkan kepada sebuah konsentrasi atas kebenaran yang terkandung di dalamnya. Ia juga sebuah penjelas atau pembeda dalam hal ini ia merupakan alat yang mana dengannya orang dapat membedakan mana yang benar dan kebohongan, untuk membedakan antara yang nyata dan tidak nyata, yang mutlak dan relatif, yang baik dan jahat, yang bagus dan jelek.
Akhirnya sebagai ‘Ibu dari Kitab-Kitab’ al-Qur’an adalah bentuk asli dari semua ‘kitab’, yakni, seluruh pengetahuan. Dari sudut pandang Islami dari semua pengetahuan terkandung di dalam esensi dalam al-Qur’an, pengetahuan tentang semua aturan realitas. Tapi pengetahuan ini bersandar dalam al-Qur’an secara potensial atau sebagai bibit dan dalam prinsip-prinsip, bukan secara kebenaran (yang nyata). Al-Qur’an berisi tentang prinsip-prinsip dari semua ilmu tapi tidak membicarakan kepada kita jumlah tanaman yang terdapat dalam benua tertentu atau jumlah unsur yang ada dalam meja kimia. Ia tidaklah berguna dan dalam bukti adalah mustahil untuk mencoba menemukan secara detail informasi ilmiah dalam al-Qur’an sebagaimana telah dilakukan oleh Pengkritik modern tertentu pada bidang itu, hal ini tak bermakna, sebagaimana usaha yang dibuat di Barat untuk menghubungkan penemuan-penemuah ilmiah dengan teks Injil. Hingga pada suatu waktu seseorang yang datang untuk menghubungkan penemuan-penemuan pada sebuah ilmu tertentu dengan teks dari Kitab Suci, ilmu itu sendiri telah berubah dan seseorang yang dihadapkan dengan situasi yang memalukan pada kepemilikan hubungan sebuah pesan abadi dengan sebuah bentuk tempat yang sementara yang pada kenyataannya tidaklah lebih lama untuk dipegang sebagai kebenaran. Apa yang sungguh terkandung dalam al-Qur’an merupakan prinsip semua ilmu pengetahuan, termasuk Kosmologi dan ilmu-ilmu alam. Tapi untuk memahami prinsi-prinsip ini seseorang perlu untuk meresapi ke dalam makna dari kata ‘ Induk Kitab’ dan kemudian menemukan apa lahan dan dasar dari semua ilmu, bukan pada isi ilmu itu secara detail.
Al-Qur’an kemudian tidak hanya menjadi sumber pengetahuan dalam Islam baik yang berkaitan dengan Metafisis dan Religius tapi bahkan juga dalam wilayah lapangan pengetahuan tertentu. Peranannya lebih lagi dalam perkembangan Filsafat Islam dan Filsafat Ilmu telah dipertimbangkan, meskipun sering disia-siakan oleh para cendikiawan, yang mengatakan tidak pada masalah metafisis, moral dan ilmu-ilmu hukum. Ia merupakan panduan sebagaimana takdir yang padanya semua intelektual Muslim mencoba untuk mengambil tempat.
Al-Qur’an mengandung tiga tipe pesan yang sangat esensial bagi semua orang. Yang Pertama, ia mengandung sebuah pesan doktrinal, seperangkat doktrin yang menguraikan pengetahuan dari struktur realitas dan posisi manusia di dalamnya. Sebagaimana juga mengandung seperangkat petunjuk hukum dan moral yang merupakan basis umat Islam yaitu Hukum Suci Muslim atau Shari’ah  dan yang memperhatikan kehidupan manusia pada tiap detailnya. Ia juga mengandung hal-hal metafisis tentang Alam Ketuhanan, sebuah kosmologi yang memperhatikan struktur pada alam semesta dan wujud mahluk yang berlipat-lipat, dan sebuah eskatologi tentang akhir tujuan manusia dan hari akhirat. Ia terdiri dari sebuah doktrin tentang kehidupan manusia, tentang sejarah, tentang eksistensi sebagaimana maknanya. Ia melahirkan semua pelajaran yang perlu bagi manusia untuk mengetahui siapa dirinya, di mana dia, dan kemana seharusnya dia pergi. Demikianlah ia merupakan sebuah landasan baik tentang Hukum Ketuhanan dan pengetahuan metafisika.
Yang Kedua; Al-Qur’an mengandung sebuah pesan yang muncul ke permukaan paling tidak seperti apa yang terdapat sekumpulan buku sejarah. Ia mengulang cerita tentang masyarakat, suku, raja, Nabi-Nabi dan ilmuan terdahulu, tentang cobaan-cobaan mereka dan godaan-godaan mereka. Pesan ini pada esensinya sebuah catatan dalam istilah sejarah tapi dialamatkan untuk jiwa manusia. Ia melukiskan jiwa manusia dalam sebuah istilah tentang ceritera orang-orang yang telah lewat yang tidak hanya benar menurut orang-orang dan juga waktu tapi pada perhatian terhadap jiwa disini dan sekarang.
Apakah al-qur’an memperhatikan hanya pada suku yang tersesat di Kawasan Arabs saja, berabad-abad sebelum kelahiran Isa, itu tidak akan bisa mampu untuk menyerang kita dan menampakan kepada kita sebagai ketepatan kepemilikan dan aktualitas. Tapi setiap kejadian diceritakan ulang setiap mahluk, setiap suku, setiap ras yang melahirkan sebuah makna esensial yang memperhatikan kita. Kaum pendusta atau pembohong (munafik) yang membagi orang dan menyebarkan kebohongan dalam masalah yang berkaitan dengan agama juga ada dalam jiwa setiap orang, sebagaimana orang itu juga telah tersesat, atau dia yang mengikuti ‘jalan yang lurus’ atau dia yang dihukum oleh Tuhan diberi pahala oleh-Nya. Semua pelaku pada panggung sejarah suci dicatat dalam al-Qur’an sebagaimana juga simbol-simbol pasukan yang ada dalam jiwa setiap orang. Al Qur’an kemudian sebagai sebagai sebuah penjelasan atau uraian pada percobaan keberadaan seseorang. Ia merupakan sebuah kitab yang memiliki bacaan yang mengungkapkan kepentingan pada kehidupan manusia yang dimulai dengan kelahiran dan diakhiri dengan kematian, mulai dari Tuhan dan kembali kepada-Nya.




By:

Ben Ra Vika