Translate

Keterkaitan Pendidikan dalam Upaya Pengembangan Politik dan Ekonomi


1.    Keterkaitan Pendidikan dalam Upaya Pengembangan Politik dan Ekonomi
a.    Keterkaitan Pendidikan dalam Upaya Pengembangan Politik
Untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan pendidikan dalam pengembanga politik, perlu kiranya diadakan sebuah pembaharuan sosio-kultural terlebih dahulu. Ini merupakan bagian dari syarat bila ingin menciptakan pendidikan sebagai kekuatan yang bisa mengikat kekuatan politik suatu bangsa.[1] Pembenahan sosio-kultural pendidikan akan menciptakan manusia yang mengenal nilai-nilai demokratis. Pun demikian, pendidikan akan mampu menjadi suatu kekuatan yang mampu mengarahkan dan menumbuh kembangkan politik. Sebagaimana pendidikan telah mampu menjadi senjata dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dari Imperialis Belanda yang telah lalu. Di samping itu pendidikan telah mampu menghentikan dominasi politik kaum komunis di tahun 1965an.
Sebagai upaya awal dalam pembenahan serta pengembangan politik atas dasar pendidikan, maka pendidikan haru diarahkan pada penanaman nilai-nilai demokrasi. Di eropa, pemberlakukan wajib belajar sudah dimulai sejak abad 19, yang pada akhirnya melahirkan kehidupan demokrasi. Kehidupan demokrasi tidak mungkin bisa dikembangkan tanpa anggotanya yang cerdas karena memperoleh pendidikan. John Dewey seorang filosuf pendidikan juga menilai politik sebagai bagian dari pendidikan dan pendidikan merupakan bagian dari politik.[2] Apa yang dialami bangsa Indonesia terkait demokrasi tidaklah seindah dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Nilai-nilai demokrasi telah lama terbenam oleh pemerintahan otoriter rezim Suharto. Sehingga pada pasca jatuhnya Suharto pun, indonesia menjadi negara yang carut-marut, banyak konflik yang bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Maka adalah urgen untuk menanamkan nilai- nialai pendidikan sebagai upaya pembenahan politik di Indonesia. Pentingnya demokrasi adalah karena ia mengandung nilai-nilai sebagai berikut:
1.      Non-Diskriminatif; sikap non-diskriminatif artinya tidak membedakan perlakuan terhadap orang atau kelompok lain karena perbedaan suku, agama, keadaan sosial, ekonomi, gender, disable people dan lain-lain.
2.      Non-Represif; orang atau kelompok orang tidak menindas dan menekan orang atau kelompok lain demi kepentingan mereka. Sebaliknya ada usaha saling menghormati dan menghargai antar sesama manusia.
3.      Penghargaan Hak Asasi Manusia; artinya setiap orang memiliki hak dan dituntut dengan apa yang menjadi kewajibannya.
4.      Kebebasan dan Tanggung Jawab; artinya setiap orang dapat mengembangkan kebebasannya, di samping juga harus senantiasa ada penghargaan terhadap kebebasan orang lain yang juga ingin bebas.
5.      Berpartisipasi aktif dalam hidup bersama; kita diberi kesempatan untuk dapat berkembang dan mengembangkan potensi yang dimiliki dengan cara berpartisipasi.
6.      Rela berdampingan dengan orang yang berbeda.[3]
Dari sekian prinsip tersebut, menurut penulis, setidaknya ada tiga kategori sifat demokratis yang sangat erat kaitannya dengan politik. Yakni, non-diskriminatif, non-represif, dan keberadaan hak asasi manusia. Ketiga sifat ini sering bermain dalam kehidupan politik. Dan pada akhirnya politik ini memproduksi kebijakan-kebijakan yang diperuntukan bagi warga negaranya. Pemahaman terhadap nilai-nilai utama ini akan menjadikan warga negara indonesia yang pancasilais dan memiliki sikap yang sesuai dengan asas ke-Bhineka Tunggal Ikaan. Dan pada akhirnya akan menjelma dalam diri politisi-politisi yang memiliki hati nurani luhur dan memiliki jiwa pengabdian bagi kemajuan bangsa dan negaranya sendiri.
b.    Keteriktan Pendidikan dalam Upaya Pengembangan Ekonomi
Tidak dapat dipungkiri juga bahwa keterikatan pendidikan dalam upaya pengembangan ekonomi merupakan tesis yang sulit di bantahkan. Sebuah contoh adalah kebangkitan Jerman dan Jepang pasca perang Dunia II. Meskipun keduanya telah hancur oleh sekutu, namun karena keduanya telah memiliki sistem penyelenggaraan dan juga fasilitas pendidikan yang baik maka dengan cepat kembali menghidupkan kehidupan industri sekaligus perekonomian, menjadi kembali berkembang bahkan saat ini sudah kembali menjadi negara maju. Demikian pula yang terjadi di beberapa negara Asia lainnya seperti Korea selatan, Hongkong, Taiwan dan Singapura. Mereka memiliki angkatan kerja yang berkualitas sehingga mampu mengejar keterbelakangan dalam ekonomi.[4] Hal ini dikarenakan tingkatan minimal lulusan pendidikanny yang setingkat SMA di negara kita.
Dalam konteks ekonomi, pendidikan dimaknai sebagai bentuk investasi modal insani. Dalam jangka panjang, investasi untuk pendidikan akan melahirkan tenaga-tenaga ahli produktif, yang sangat diperlukan dalam upaya membangun perekonomian suatu bangsa. Investasi di bidang pendidikan, secara ekonomis, akan mendatangkan keuntungan terutama berkaitan dengan pemasokan tenaga-tenaga kerja yang cakap, terampil, dan mahir, yang menjadi instrumen vital dalam proses produksi. Produktivitas tenaga kerja berpendidikan dapat dilihat dari enam parameter.[5]
Pertama, quantity of product, tenaga kerja terdidik akan mampu menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dalam waktu lebih cepat, sebab mereka memiliki keterampilan, kemahiran, dan pengetahuan. Kedua, quality of product, tenaga kerja terdidik akan mampu menghasilkan produk yang bermutu dengan pelayanan yang lebih baik. Ketiga, product mix, tenaga kerja terdidik akan Iebih mampu menghasilkan produk dan memberikan pelayanan yang berorientasi pada customer satisfaction. Keempat, participation in the labor force, tenaga kerja terdidik akan dengan mudah terlibat secara aktif dalam organisasi atau perserikatan pekerja, terutama untuk menyuarakan aspirasi atau mengajukan tuntutan, misalnya, kenaikan gaji atau perbaikan kesejahteraan. Kelima, allocative ability, tenaga kerja terdidik akan lebih mampu menilai atau mengukur kapasitas diri mereka. Keenam, job satisfaction, tenaga kerja terdidik akan lebih mudah memperoleh kepuasan dalam bekerja, karena mereka lebih gampang mendapat pekerjaan atau memilih jenis pekerjaan tertentu, dengan penghasilan yang lebih tinggi.[6]
Bertolak belakang dengan negara kita yang baru saja mencanangkan program pendidikan wajib belajar sembilan tahun. Butuh waktu yang sangat lama tentunya untuk menuai hasil dari program ini. Namun, hal ini tidaklah menutup peluang bagi kita untuk mengembangkan perekonomian melalui sarana pendidikan. Mengurangi kesenjangan ini aka perlu di adakan upaya-upaya sebagai berikut:
1.      Link and Match Education
Dalam pendidikan semboyan “link and match” memiliki makna berkait dan berkepadanan. Adalah suatu upaya anjuran agar sistem pendidikan menyesuaikan dengan kenyataan-kenyataan yang terdapat dalam masyarakat, terutama perubahan-perubahan yang terjadi di pasaran kerja.[7] Pendidikan tidak lagi harus terpaku pada pola-pola yang sudah ada. Ini sebagai bentuk upaya mengantisipasi mis match education seperti yang sudah terjadi negara ini.
Salah satu hal yang mendesak adalah pengenalan dan pengimplementasian kewiraswastaan dalam kurikulum pendidikan nasional mulai dari menengah pertama sampai pendidikan tinggi. Ini dengan sendirinya akan mendorong para lulusan sekolah menengah atas untuk tidak bersikap pasif dan putus asa apabila hanya mampu sekolah di tingkat lanjutan atas. Akan tetapi mereka akan menjadi terangsang dengan berbagai alternatif yang mungkin seperti berusaha dengan pemahaman tentang dunia usaha yang sudah terbentuk sejak di bangku sekolah. Implementasi kewiraswastaan ini tidak hanya proses belajar di kelas, tetapi lebih pada perangsangan dan penggalian ide, pengenalan dunia usaha dan pengetahuan tentang berusaha. Ini kemudian melibatkan dunia usaha di mana baik secara fungsional dan institusi, dunia usaha dapat membantu pengimplementasian program tersebut. Dalam kewiraswastaan ter-internalize semangat kerja sama, kerja keras dan penghargaan akan waktu. Dengan demikian pengimplementasian kewiraswastaan terhadap pendidikan nasional baik menengah dan tinggi dengan secara serius dan melibatkan dunia usaha secara sungguh-sungguh akan mendorong lahirnya generasi penerus yang berwatak kerja keras, memiliki toleransi dan mandiri. Pengembangan kewiraswastaan dengan sungguh-sungguh akan berdampak ganda, yakni dapat menjadi salah satu solusi dalam masalah mismatch dan juga mempersiapkan dan membangun mentalitas dan watak generasi penerus sehingga mampu menjawab tantangan masanya.[8]
Melalui link and match education, pendidikan akan diorientasikan ke wilayah eksternal education itu sendiri. Mengurangi kesenjangan antara apa yang diajarkan dengan apa yang disaksikan oleh para siswa yang cenderung mengalami disorientasi nilai pendidikan karena sistem lama. Sebuah kesenjangan yang secara mendasar akan menimbulkan distorsi pada disorientasi kultural bahkan alienasi kulural.
Seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah dan lahirnya desentralisasi pendidikan, penerapan konsep link and match education sudah bisa terimplementasikan. Ini ditandai dengan adanya penerapan Manajemen Berbasis Sekolah serta pengembangan kurikulum yang berbasis lokal. Namun, hal ini juga belum bisa menjadi jaminan akan adanya keberhasilan dari terbentuknya output pendidikan yang siap dengan tantangan baru di era global saat ini dan akan datang.

2.      Program Pengkayaan
Program pengkayaan atau “enrichment program” adalah suatu program belajar yang disusun dengan materi di atas program standar untuk para siswa yang dinilai memiliki kemampuan belajar yang lebih tinggi dari pada yang dituntut oleh program standar. Program ini diupayakan untuk menjawab tantangan zaman yang terus berkembang pesat. Menurut para ahli, untuk mempersiapkan para siswa yang mampu  menjadi knowledge worker yang baik, sekolah perlu memberikan suatu pendidikan dengan landasan intelektual yang luas, pendidikan dengan intellectual briad base. Dengan pendidikan seperti ini, mereka akan memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengikuti berbagai latihan ulangan dalam rangka pembaharuan kemampuan kerja mereka. Mereka akan memiliki retrainability yang tinggi untuk mempertahankan employability mereka.[9]
Program pengkayaan ini memiliki dua substansi yang berperan dalam proses transformasi nilai-nilai sosio-kultural, antara lain: materi tentang perubahan-perubahan dalam tatanan nilai, dan materi tentang dinamika yang terdapat dalam kehidupan masyarakat kita. Yang terkahir ini dapat diisi dengan materi yang diambil dari berbagai segi kehidupan: dunia usaha, dunia mode, dunia teknologi informasi dan lain-lain, dan jika memungkinkan memasukan kenyataan-kenyataan dari dunia politik.[10]
Jika pemahaman demikian dapat kita tanamkan, maka anak-anak tidak akan lagi memandang masa depan sebagai sesuatu yang menakutkan, tetapi sebagai suatu zaman dan masyarakat yang dalam beberapa hal berbeda dari masa sekarang. Dengan demikian, pemahaman ini akan dapat mencabut ketakutan terhadap masa depan dari pikiran anak-anak itu sendiri dan menggantinya dengan optimisme yang realistik.




A.   PENUTUP
Pendidikan merupakan faktor utama yang mendukung kemajuan perdaban suatu bangsa. Melalui sarana pendidikan, pemerintah dapat merealisasikan apa yang menjadi cita-cita luhur dari pembangunan nasional. Kemajuan sistem politik dan ekonomi bergantung pada output pendidikan yang diselenggarakan dalam suatu tatanan masyarakt. Nilai-nilai otoriter dan indoktrinisme yang selama ini membelenggu bangsa indonesia merupakan implikasi dari buruknya penyelenggaraan pendidikan selama ini.
Era reformasi merupakan tolak ukur pembangunan di bidang pendidikan yang diupayakan untuk mampu menciptakan output pendidikan yang handal dan siap menghadapi tantang masa depan. Era globalisasi menuntut setiap individu untuk melakukan persiapan keterampilan, wawasan intelektual dan kesiapan mental dalam rangka menghadapi persaingan global. Untuk mengupayakan hal tersebut, dalam bidang pendidikan perlu dilaksanakan reaktualisasi tujuan dari penyelenggaraan pendidikan. Yaitu suatu pendidikan yang tidak mismatch melainkan bisa link match dengan disertai pengkayaan materi yang diperuntukkan untuk mampu menghadapi peluang dan tantangan di masa moderen saat ini.









[1] Mochtar Buchori, Transformasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal.54.
[2] A.R. Tilaar, hal. 43
[3] Benni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional, (Jogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2008), hal. 77-79. Terkait dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam baca Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kalam Mulia,2008), hal. 331.
[4] Muchtar Buchori, hal. 50-51.
[5] Amich Alhumami, Dimensi Sosial-Ekonomi Pendidikan, lihat http://bataviase.co.id/node/374074, diakses pada tanggal 25 oktober 2010.

[6] ibid
[7] Ibid, hal. 172.
[8] Di download dari http://www.uns.ac.id/data/sp10.pdf, diakses pada tanggal 25 oktober 2010.

[9] Mochtar Buchori, hal. 190-193.
[10] Ibid. hal. 196.

Pendidikan, Politik dan Ekonomi


Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan merupakan sumber dari segala kemajuan yang dicapai oleh suatu bangsa. Pun demikian dengan kemajuan politik dan perekonomian suatu bangsa amat tergantung pada suksesnya penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Dalam wilayah politik pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat berarti, bilamana suatu kualitas pendidikan bisa mencapai mutu (quality) tinggi, ini berpengaruh pada lajunya perkembangan politik yang ada. Munculnya generasi yang berkualitas di beberapa negara maju merupakan efek dari adanya pendidikan yang berkualitas, dan ini tentunya memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan suatu bangsa. Pada akhirnya, ketika semua itu tercipta maka perekonomian di bangsa tersebut akan menjadi baik. Sebagai hubungan timbal baliknya, politik menentukan kebijakan pemerintahan suatu negara yang memberikan perhatian serta dukungan, baik moral maupun materiil, untuk terlaksanannya suatu sistem pendidikan di mana keadaan ini juga akan berpengaruh pada keberhasilan pendidikan itu sendiri. Pada saat politik tidak bisa berperan secara stabil maka sangat diragukan untuk menjamin keberhasilan penyelenggaraan pendidikan yang baik.[1]
Pendidikan dan ekonomi juga merupakan sistem yang mempunyai pengaruh timbal balik, saling mengait dan menunjang karena di satu segi institusi pendidikan mampu menghasilkan tenaga kerja dan membentuk manusia-manusia yang sanggup membangun ekonoi masyarakat dan negara. Sebaliknya ekonomi merupakan tulang punggung kehidupan bangasa yang menentukan maju mundurnya, kuat-lemahnya, lambat-cepatnya suatu proses pembudayaan bangsa yang merupakan salah satu pendidikan. Berdasarkan kajian lapanganpun, semakin tersebar pendidikan di suatu negara semakin cepat pertumbuhan ekonomi negara itu begitu juga semakin meningkatnya perekonomian suatu negara, berkaitan dengan meningkatnya pembelanjaan pendidikan yang diberikan kepada pendidikan. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap tatanan kehidupan masyarakat termasuk masalah pendidikan.[2]
Tilaar mengutip penelitian Theodor Schultz yang melakukan pengukuran kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan teknik rate of return. Ia membandingkan tingkat balik terhadap investasi sumber daya (rate of return to human capital) dengan tingkat balik terhadap modal fisik (rate of return to physical capital). Dari perbandingannya tersebut, Schultz menemukan proporsi yang cukup tinggi dari tingkat pertumbuhan output di USA yang disebabkan oleh pendidikan sebagai salah satu bentuk investasi pengembangan sumber daya manusia. Metode ini pun telah pula diterapkan dalam rangka menghitung kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembanga lainnya.[3] Pada kesimpulannya dinyatakan bahwa:
1.      Besarnya dan variasi penghasilan kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda dijadikan ukuran tentang kontribusi pendidikan terhadap output.
2.      Lebih tingginya penghasilan tenaga kerja terdidik menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi tenaga-tenaga terdidik sehingga kelompok berpendidikan lebih tinggi ini memberikan kontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.[4]



[1]  Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), hal. 49.
[2] Ibid. hal. 47.
[3] H.A.R. Tilaar dan Ace Suryadi, Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hal.33.
[4] Ibid. hal. 33.

INDUKTIVISME FRANCIS BACON


Secara umum induksi dijelaskan sebagai proses berpikir di mana orang berjalan dari yang kurang universal menuju yang lebih universal, atau secara lebih ketat lagi dari yang individual/ partikular menuju ke yang umum/ universal. Induksi bisa mengantarkan manusia pada tingkatan inderawi dan individual menuju ke tingkatan intelektual dan universal.[1]
 Dalam segala bentuknya yang lebih khusus induksi merupakan persoalan generalisasi empiris, yakni kita berargumen bahwa karena sesuatu telah terbukti benar dalam sejumlah kasus yang diamati, besar kemungkinan yang diperoleh tidak bersifat pasti (kecuali dalam kasus-kasus khusus), tapi bisa menjadi sangat besar kemungkinannya dan seluruh prediksi rasional kita mengenai masa depan tergantung pada referensi ini. Pengambilan kesimpulan dengan induksi sudah pasti tidak sekedar masalah empiris karena kita menggunakannya untuk menyimpulkan apa yang belum kita amati.[2]
Merujuk pada pernyataan David Hume[3] bahwa argumentasi yang bersifat induktif bersandar pada suatu keaneka ragaman, kebiasaan dan pengalaman, hal ini sesuai dengan apa yang menjadi stressing point Francis Bacon dengan menekankan aspek eksperimen sebagai hal penting untuk menaklukan alam dengan rahasianya (to torture nature for her secrets). Dalam hal ini Bacon menyebutnya sebagai komposisi sejarah alamiah dan eksperimental (the composition of a natural anda experimental history). Menurutnya, eksperimen sangat penting karena jika kita dengan sederhana mengamati tentang apa-apa yang terjadi di sekitar kita, maka kita dibatasi dalam data-data yang kita kumpulkan; ketika kita menampilkan sebuah percobaan kita mengendalikan keadaan pengamatan sejauh mungkin dan memanipulasi keadaan dari percobaan untuk melihat apa yang terjadi dalam lingkungan-lingkungan di mana hal sebaliknya tidak pernah terjadi. Eksperimen memungkinkan kita untuk menanyakan “apa yang terjadi jika ...?”. Bacon menyatakan bahwa dengan mengadakan percobaan-percobaan kita mampu menaklukan alam dan rahasianya.[4] Satu hal yang terpenting adalah bahwa ‘banyak hal-hal’ yang terpelihara/ terjaga. Jadi, apa yang orang-orang perlu pelajari dari alam ini ialah bagaimana menggunakannya secara penuh untuk mendominasi dengan keseluruhan alam tersebut dan juga atas orang lain.[5]
Berdasarkan pemikirannya tersebut, Bacon merumuskan dasar-dasar berpikir induktif modern. Menurutnya, metode induksi yang tepat adalah induksi yang bertitik pangkal pada pemeriksaan yang diteliti dan telaten mengenai data-data partikular, yang pada tahap selanjutnya rasio dapat bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam (interpretatio natura). Untuk mencari dan menemukan kebenaran dengan metode induksi, Bacon mengemukakan ada dua cara yang harus dilakukan, yaitu:
1)   Rasio yang digunakan harus mengacu pada pengamatan inderawi yang partikular, kemudian mengungkapnya secara umum.
2)    Rasio yang berpangkal pada pengamatan inderawi yang partikular digunakan untuk merumuskan ungkapan umum yang terdekat dan masih dalam jangkauan pengamatan itu sendiri, kemudian secara bertahap mengungkap yang lebih umum di luar pengamatan.[6]
       Dalam filsafat Whitehead induksi bukanlah proses menarik hukum-hukum dari observasi yang diulang-ulang tetapi dengan cara membuat dugaan tentang ayat-ayat masa depan yang didasarkan pada sifat-sifat masa lampau dari benda-benda yang diobservasi. Maka hal ini melibatkan imajinasi dan akal. Menurutnya, generalisasi ide harus sampai pada suatu sistem ide yang koheren, logis dan niscaya.[7]
Untuk menghindari penggunaan metode induksi yang keliru, Bacon menyarankan agar menghindari empat macam idola atau rintangan dalam berpikir, yaitu:
1)      Idola tribus (bangsa) yaitu prasangka yang dihasilkan oleh pesona atas keajekan tatanan alamiah sehingga seringkali orang tidak mampu memandang alam secara obyektif. Idola ini menawan pikiran orang banyak, sehingga menjadi prasangka yang kolektif.
2)      Idola cave (cave/specus = gua), maksudnya pengalaman dan minat pribadi kita sendiri mengarahkan cara kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif dikaburkan.
3)      Idola fora (forum = pasar) adalah yang paling berbahaya. Acuannya adalah pendapat orang yang diterimanya begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan dan penilaiannya yang tidak teruji.
4)      Idola theatra (theatra = panggung). Dengan konsep ini, sistem filsafat tradisional adalah   kenyataan subyektif dari para filosofnya. Sistem ini dipentaskan, lalu tamat seperti sebuah teater.[8]
Selanjutnya adalah penting untuk memahami bahwa dalam pendekatan Induktif Bacon, kita diminta untuk memulai dengan bagian-bagian yang bisa diamati dan kemudian berpikir ke dalam pernyataan-pernyataan umum ataupun hukum-hukum, bertolak belakang dengan pendekatan scholastik Aristotelian, karena induksi tersebut menuntut verifikasi bagian-bagian spesifik sebelum sebuah keputusan dibuat.[9]


[1] Henry Van Laer, Filsafat Ilmu; Ilmu Pengetahuan Secara Umum, (Yogyakarta: LPMI, 1995), hal. 69.
[2] Ewing, Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 65.
[3] Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat; Pengetahuan, Filsafat Moral, Filsafat Agama, Filsafat Pikiran, dan Filsafat Politi, (New York: Palgrave MacMillan, 2002), hal. 23.
[4] James Ladyman, Understanding Philosophy of Science, (New York: Routledge, 2002), hal.23.
[5] Richard Kearney dan Mara Rainwater, Continental Philosophy Reader, (London: Routledge, 1996), hal. 1999.
[6] Riski Amalia Putri, Problema Induksi dan Ketergantungan Observasi pada Teori,http://blog.unsri.ac.id/riski02/filsafat-ilmu-/induktivisme-problema-induksi-dan-ketergantungan-obsevasi-pada-teori-/mrdetail/14742/ , diakses tanggal 2 oktober 2010.
[7] Hardonono Hadi, Jatidiri Manusia; Berdasar Filsafat Empirisme Whitehead, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 65.
[8] Riski Amalia Putri, Problema Induksi dan Ketergantungan Observasi pada Teori,http://blog.unsri.ac.id/riski02/filsafat-ilmu-/induktivisme-problema-induksi-dan-ketergantungan-obsevasi-pada-teori-/mrdetail/14742/ , diakses tanggal 2 oktober 2010.
[9] Howard A. Gemon dan Samuel M. Craver, hal. 55.