Translate

sisi manajemen berbasis sekolah saat ini


MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
(Meninjau Efektifitas, Efisiensi Dan Produktivitasnya)

A.  Pendahuluan
Pemerintah telah memberlakukan Otonomi daerah yang ditetapkan mulai tahun 2001 dalam segala bidang, salah satunya adalah pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu tujuan program pembangunan nasional yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Menjadikan output pendidikan berkapasitas keilmuan mumpuni, mempunyai keimanan, berakhlaqul karimah dan mampu menjawab serta mengantisipasi tantangan global. Untuk menciptakan semua tujuan tersebut, salah satu cara yang ditempuh dalam desentralisasi pendidikan adalah pemberlakuan Manajemen Berbasis Sekolah.
Secara historis sistem Manajemen Berbasis Sekolah telah diterapkan lebih dahulu oleh negara-negara Barat; Inggris, Australia, Amerika, Kanada, Australia dan lain-lain. Sistem ini bertujuan untuk menciptakan sebuah iklim pendidikan yang berkualitas dan harmoni dengan kondisi sosio-ekonomi daerah tersebut. Melalui MBS institusi pendidikan bisa mengetahui keunggulan dan kelemahan, potensi-potensi, serta peluang dan ancaman yang dihadapi sebagai dasar untuk menciptakan sebuah sistem kebijakan pendidikan. Melalui langkah-langkah tersebut, selanjutnya sekolah bisa menerapkan visi, misi, sasaran dan mampu memformulasikan kegiatan pendidikan dengan program-program pengembangannya dalam jangka waktu tertentu. Dengan berbasis MBS sekolah juga memiliki kesadaran bahwa setiap sekolah atau lembaga pendidikan memiliki kondisi dan situasi serta kebutuhan akan masa depan yang bervariatif.
Dalam penerapannya MBS tidaklah semudah dengan pengertian yang diharapkan karena dalam MBS menuntut semua elemen pendidikan untuk berpartisipasi aktif. Selanjutnya bagaiamanakah langkah-langkah yang harus ditempuh oleh institusi pendidikan untuk menciptakan MBS yang efektif dan efisien serta Produktif?. Melihat potensi kompleksitas yang tinggi di negara kita ini, penulis hendak menyajikan bagaimana baiknya implementasi MBS di indonesia ini yang secara sosio-geografis begitu kompleks.



B.  Pembahasan
1.    Latar Belakang Manajemen Berbasis Sekolah
Secara yuridis ketetapan lahirnya Manejemen Berbasis Sekolah di Indonesia bergulir sejak era reformasi. Hal ini telah ditetapkan dalam peraturan perundangan tentang UU Otonomi Daerah, UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, dan UU No 25 tentang perimbangan kekuatan keuangan antara Pusat dan Daerah (kini disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 dan UU No 33 tahun 2004), yang telah mengubah segala peraturan dari yang bersifat sentralistik (top down) menjadi desentralisasi. Pemerintah pusat telah memberikan kewenangan bagi masing-masing daerah untuk mengatur atau mengurus segalah urusan rumah tangga daerahnya masing-masing termasuk dalm hal pendidikan.[1]  
Secara historis Manajemen Berbasis Sekolah telah diterapkan lebih dahulu di negara-negara maju pada tahun 1960-1970an. Dalam prosesnya ada beberapa hal yang melatar belakangi penetapan manajemen berbasis sekolah sebagai bagaian dari revolusi pendidikan, di antaranya:
a.       Penerapan manajemen berbasis sekolah merupakan adopsi dari semakin majunya manajemen moderen dalam bidang industri dan organisasi konvensional.[2] Secara praksis manajemen dalam bidang industri memang sesuai untuk diterapkan dalam dunia pendidikan. Di mana manajemen ini menuntut pihak pengelola dan stake holder, serta masyarakat untuk saling berperan aktif.
b.      Gerakan reformasi sekolah efektif, sekolah mandiri, pengembangan kurikulum berbasis sekolah, pengembangan staff sekolah dan lain-lain.
c.       Masyarakat mulai mempertanyakan relevansi dan korelasi hasil pendidikan dengan kebutuhan masyarakat, ini seperti yang terjadi di Amerika.
d.      Adanya ketimpangan kekuasaan dan kewenangan yang terlalu terpusat pada atasan dan cenderung mengesampingkan bawahan.
e.       Kinerja pendidikan yang cenderung menurun.
f.       Kesadaran birokrat dan desakan pecinta pendidikan uintuk merestrukturisasi pengelola pendidikan.
g.      Sentralisasi pendidikan yang otoriter.
Beberapa fenomena di atas pun telah membumi di negara kita yang sampai sejauh ini belum terlihat adanya keterpaduan sebuah sistem pendidikan yang utuh. Salah satu yang paling menonjol dari keadaan ini adalah perubahan kurikulum yang sudah sering berganti di negara ini. Setidaknya beberapa kali mengalami pergantian, mulai dari kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi dan yang terakhir adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pergantian yang terus terjadi karena belum adanya sistem kurikulum pendidikan yang sistematis. Tentunya ini sangat berdampak pada output pendidikan yang selalu didambakan baik oleh orang tua didik, institusi pendidikan dan juga pemerintah secara umum. Di samping itu, kebijakan-kebijakan pendidikan selalu bergantung pada kabinet pemerintahan yang menangani, di mana dalam penetatapannya selalu dilandasi kepentingan politis. Ini memungkinkan sekali terjadinya mis-konsepsi dari sistem yang telah diberlakukan sebelumnya. Padahal, idealnya sebuah sistem kurikulum haruslah progresif dan berkembang secara berkelanjutan dengan saling melengkapi kekurangan yang ada.
Upaya desentralisasi atau otonomi pendidikan pada dasarnya telah lama diperjuangkan oleh masyarakat pendidikan. Persoalannya, sistem sentralisasi dirasa masih tidak relevan dengan konteks indonesia yang plural, budaya beragam, masayarakat yang heterogen dan kompleks.[3] Secara tidak langsung, ini juga tentunya akan berpengaruh dalam proses penerapan Manajemen Berbasis Sekolah di seluruh wilayah nusantara. Negara indonesia ini terdiri dari kepulauan yang dilengkapi dengan berbagai macam background etnis, budaya dan bahasa, tanpa juga mengurangi kemajuan dan ketertinggalan yang telah dicapai oleh masing-masing daerah.
Bank Dunia merekomendasikan perlunya diberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah disertai manajemen sekolah yang bertanggung jawab. Dalam hal in terkait dengan pemberlakuan Kurikulum Berbasis Sekolah. Artinya pemberian otonomi yang lebih besar harus diberikan kepada sekolah dalam pemanfaatan sumber daya dan pengembangan strategi-strategi berbasis sekolah sesuai dengan kondisi setempat. Langkah ini juga harus diikuti dengan pemilihan kepala sekolah yang lebih baik, yang memiliki keterampilan dan karakteristik yang diperlukan untuk mengelola sekolah dengan nuansa otonom, memberikan penghargaan bagi kepala sekolah yang baik dan mengganti mereka yang kurang, dan juga memberikan pelatihan pengembangan keterampilan manajemen sekolah dan program training modular.[4] Dengan cara ini walaupun otonomi pendidikan sepenuhnya menjadi hak pengelolaan masing-masing daerah, institusi pendidikan khususnya, namun pemerintah tetap andil dalam penyelenggaraan sistem pendidikan yang baik dan terarah. Ini tentunya akan memberikan nuansa pendidikan yang harmoni dan dinamis di masing-masing institusi pendidikan walaupun dengan penuh aneka keragaman dan kompleksitas sosio-budayanya.

2.    Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah merupaka terjemahan dari “school-based management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan perkembangan masyarakat setempat.[5] MBS dikatakan sebagai paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan melibatkan masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Tentunya, dengan memberikan prioritas dan keleluasaan bagi masing-masing daerah untuk mengelola sumber daya dan sumber dana sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Pemberlakuan MBS di negara indonesia tidak lain merupakan bagian dari langkah kongkret reformasi pendidikan yang menawarkan dan memberikan kebebasan sepenuhnya kepada masing-masing daerah untuk mengembangkan potensi lokal yang tersedia.
School-Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah bisa dijelaskan sebagai model manajemen sekolah yang memberikan otonomi kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah dan masyarakat (stake holder) yang dilayani, dengan tetap selaras terhadap kebijakan pendidikan nasional tentang pendidikan.[6] Ini berarti bahwa pembuatan kurikulum dengan mengedepankan basis lokal yang ada tetap terkait dengan segala kebijakan tentang pendidikan nasional yang terpusat. Kewenangan pengelola sekolah masih harus tetap disinergikan dengan kebijakan pemerintah tentang pendidikan nasional. Menurut penulis, ini akan menjadikan sedikit penghalang bagi masing-masing pengelola satuan pendidikan dalam rangka mewujudkan kurikulum sekolah yang berbasis kemasyarakatan atau lokal, karena mereka masih harus menyesuaian dengan kebijakan pendidikan nasional yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, kebijakan pemerintah pusat tidak berarti harus diartikan sebagai controll penuh terhadap pelaksanaan kurikulum yang berbasis lokal. Hendaknya kebijakan tersebut disikapi sebagai sebuah garis besar yang mengarahkan penciptaan sistem kurikulum pendidikan berbasis sekolah yang terarah dan terpadu, sinergi dengan kebutuhan lokal dan nasioanal. Definisi di atas juga selaras dengan apa yang menjadi pernyataan Malen, Ogawa dan Kranz yang dikutip Ibtisam Abu-Duhou, bahwa Manajemen Berbasis Sekolah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan-kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting yang dengannya peningkatan dapat didorong dan ditopang.[7]
Dalam pelaksaannya sendiri, Manajemen Berbasis Sekolah masih tetap perlu melakukan pendekatan sentralistik, terutama untuk menentukan kurikulum pendidikan nasional dan pemerataan standar pendidikan di seluruh wilayah tanah air. Baik sistem sentralisitik dan desentralisitik masing-masing keduanya memiliki kekurangan dan kelebihan, maka perlu adanya penggabungan kedua sistem tersebut. Meskipun pada kenyataannya, sistem sentralistik telah meninggalkan trauma dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia, dianggap mematikan kreatifitas, inisiatif dan mengakibatkan kurangnya potesi daerah. Dan, dengan didasarkan pada otonomi daerah, wewenang kekuasaan pemerintah pusat telah berpindah ke tangan pemerintah daerah dan lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri, sehingga memungkinkan bagi masyarakat atau pihak-pihak pengelola pendidikan untuk mengelola pendidikan serta bertanggung jawab dalam memajukannya.[8]

3.    Tujuan dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
secara penuh otonomi daerah memberikan keluasaan bagi tiap-tiap satuan pendidikan untuk mengembangkan potensi lokalnya masing-masing. Pemberlakuan otonomi daerah juga merupakan bagian respon pemerintah terhadap gejala-gejala yang timbul di masyarakat. Penerapan MBS, diharapkan mampu meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi di sini diperoleh melalui keleluasan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Adapun peningkatan mutu bisa didapat melalui peran serta masyarakat dan orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, disamping juga dukungan profesionalisme guru dan kepala sekolah.[9]  Peningkatan profesionalisme guru saat ini sudah mulai terlihat hasilnya. Ini ditandai dengan adanya program sertifikasi guru pengajar oleh pemerintah, walaupun dalam prosesnya masih banyak terjadi ketidak-telitian seleksinya, dan juga kurangnya monitoring atau kontrol dari pemerintah pusat. Di lain sisi pemerataan guru dan kepala sekolah belum sesuai dengan kapasitas institusi pendidikan yang ada.
Dalam pelaksanaannya MBS menekankan keterlibatan maksimal berbagai pihak, seperti pada sekolah-sekolah swasta, sehingga menjamin partisipasi staff, orang tua, peserta didik, dan masyarakat yang lebih luas dalam perumusan-perumusan keputusan tentang pendidikan.[10] Kesempatan ini pada akhirnya akan mampu meningkatkan komitmen dan saling kepercayaan serta mendukung terhadap pelaksanaan kurikulum yang baik di masing-masing lembaga pendidikan. Ini terkait juga dengan ketetapan UU No 20 tahun 2003 pasal 4 tentang prinsip dasar pelaksanaan butir ke 6, di mana Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Ini berarti jelas, bahwa pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan tidak bisa begitu saja mengesampingkan peran masyarakat (stake holder), di samping itu juga tuntutan pelaksanaan kurikulum berbasis sekolah pada partisipasi masyarakat adalah mutlak diusahakan.
Di samping itu MBS juga bisa memberikan manfaat, di antaranya adalah sebagai berikut:
a)      Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
b)      Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
c)      Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
d)     Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
e)      Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
f)       Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.[11]

4.    Efektifitas, Efisiensi dan Produktivitas Manajemen Berbasis Sekolah
a.      Efektivitas
Dalam kamus besar bahasa indonesia, kata efektif berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), manjur atau mujarab atau dapat membawa hasil.[12]  Jadi efektivitas di sini bisa berarti sebagai bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional. Terkait dengan MBS, efektivitas dimaknai bagaimana MBS berhasil melaksanakan semua tugas pokok sekolah, menjalin partisipasi masyarakat, mendapatkan sumber daya, sumber dana, dan sumber belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah.[13]
Pencapaian efektifitas Manajemen Berbasis Sekolah bisa diketahui melalui laporan sinkronisasi program kerja dan pembiayaannya yang tertuang dalam RAPBS. Di sini bisa dilihat bagaimana kecocokan antara kegiatan dan biaya yang digunakan serta hasil dari kegiatan tersebut. Bilaman pencapaaian hasilnya seimbang dengan biaya yang dikeluarkan, maka kegiatan dikatakan efektif, dan sebaliknya bila pencapaian (achievement)nya lebih kecil dari pada pendanaan yang dikeluarkan, maka pelaksanaan manajemen tersebut belum dikatakan efektif.[14]



b.      Efisiensi
Di samping perlu dilihat dari segi efektivitasnya, pemberlakuan Manajemen Berbasis Sekolah juga harus di analisis dari segi efisiensi. Efisiensi merupakan aspek penting dalam manajemen sekolah karena sekolah umumnya dihadapkan pada masalah kelangkaan sumber dana, dan secara langsung berpengaruh terhadap kegiatan manajemen. Jika efektifitas dilihat dari perbandingan antara rencana dengan tujuan yang dicapai maka efisiensi lebih ditekankan pada perbandingan antara input atau sumber daya dengan output. Suatu kegiatan efisen bila tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian sumber dana yang minimal.[15] Efisiensi juga merupakan perbandingan antara input dan output, tenaga dan hasil, perbelanjaan dan masukan, biaya serta kesenangan yang dihasilkan.
Efisiensi memiliki kaitan langsung dengan pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang terbatas secara optimal sehingga memberikan dampak yang optimal pula. Dikatakan suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien; mampu menyediakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan (effectiveness)tidak mengalami hambatan. Dengan demikian, sistem atau program pendidikan yang efisien ialah yang mampu mendistribusikan sumber-sumber pendidikan secara adil dan merata agar setiap peserta didik memperoleh kesempatan yang sama untuk mendayagunakan sumber-sumber pendidikan tersebut dan mencapai hasil maksimal.[16]

c.       Produktivitas
Produktivitas dalam dunia pendidikan berkaitan dengan keseluruhan proses penataan dan penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Untuk mengetahui tingkat produktivitas pendidikan, ini bisa dilakukan dengan meninjau tiga hal atau dimensi sebagai berikut:
1.      Meninjau produktivitas sekolah dari segi keluaran administratif, Yaitu seberapa besar dan seberapa baik layanan yang dapat diberikan dalam suatu proses pendidikan, baik oleh guru, kepala sekolah, maupun pihak lain yang berkepentingan.
2.      Meninjau produktivitas dari segi keluaran perubahan perilaku, dengan melihat nilai-nilai yang diperoleh peserta didik sebagai suatu gambaran dari prestasi akademik yang telah dicapainya dalam periode belajar tertentu di sekolah.
3.      Melihat produktivitas sekolah dari keluaran ekonomis yang berkaitan degan pembiayaan layanan pendidikan di sekolah. Hal ini mencakup “harga” layananan yang diberikan (pengorbanan atau cost) dan “perolehan” (earning) yang ditimbulkan oleh layanan itu atau disebut “peningkatan nilai baik”. [17]
Berpedoman pada tiga tolak ukur produktivitas MBS di atas, idealnya sebuah tujuan pendidikan nasional yang selama ini diprioritaskan akan mampu terwujud. Akan tetapi, earning atau achievement ini tidak akan terwujud bilamana masih terjadi ketidak mengertian akan tujuan pelaksanaan MBS yang sesungguhnya. Maka, perlu kiranya disiapkan langkah-langkah antisipatif dan progresif dari pemerintah untuk menjamin kelancaran pelaksanaan MBS di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta.

5.    Kritik terhadap Implementasi MBS
Penerapan MBS di sekolah di banyak negara berkembang, walaupun bagaimana, sering tidak memperoleh dukungan yang memadai dari pihak penguasa lokal maupun dari masyarakat. Pemerintah daerah yang lemah tidak dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan prinsip manajemen modern (demokratis, transparan, dan akuntabel). Pelaksanaan MBS di sekolah, seperti dalam mengelola dana BOS dan DAK, pihak kepala sekolah dan Komite Sekolah masih juga memperoleh tekanan dari berbagai pihak. Campur tangan pemerintah daerah pada umumnya bukan dalam bentuk supervisi yang positif, tetapi justru berupa intervensi negatif. Bahkan, tidak sedikit kepala sekolah yang dikejar-kejar ’wartawan amplop” yang sering nongkrong di sekolah untuk menunggu datangnya kepala sekolah. Itulah sebabnya penerapakan MBS di sekolah pada sisi yang lain menjadi ladang yang subur untuk tumbuhnya KKN di level birokrasi yang paling bawah ini.  Itulah sebabnya, ada kepala sekolah yang kemudian tidak mau pekerjaan manajemen yang berat ini, karena alasan beban berat sebagai pemimpin instruksional (instructional leader) atau pemimpin dalam bidang kependidikan (pedagogical leader) menjadi amburadul, lantaran disibukkan oleh pekerjaan teknis administratif dan manajerial yang harus dituntaskan setiap hari. Dengan beban pekerjaan yang berat ini, ada beberapa kepala sekolah di SD yang terpaksa harus belanja komputer, buku pelajaran, alat tulis kantor (ATK), karena SD tidak memiliki staf administrasi sebagaimana di SMP dan SMA. Akibatnya, pelaksanaan MBS di sekolah menjadi dilema. Bahkan penerapan MBS boleh jadi menimbulkan stres berat bagi kepala sekolah.
Penerapan MBS ternyata juga sarat dengan masalah bias gender. Limerick dan Anderson, 1999) menengarai adanya masalah bias gender, karena banyak kepala sekolah wanita yang merasakan keberatan untuk melaksanakan beban berat mengurus bidang administrasi dan manajemen tersebut. Seorang kepala sekolah di SMA pernah mendatangi penulis dan menjelaskan bahwa sekolahnya terpaksa menolak bantuan block grant dari pemerintah. Alasannya sudah jelas, karena urusan teknis edukatif di sekolahnya menurutnya menjadi tidak terurus dengan baik lagi.[18]
Selain itu Penerapan MBS juga mengalami masalah, khususnya di daerah yang pedesaan atau daerah yang terpencil (remote areas). Banyak orangtua siswa dan masyarakat di pedesaan yang tidak mau terlibat dalam kegiatan Komite Sekolah. Masalahnya ternyata bukan hanya karena masalah kapasitasnya yang rendah, tetapi lebih karena budaya yang hanya menyerahkan bulat-bulat urusan pendidikan kepada pihak sekolah. Bahkan, dalam beberapa kasus, penerapan MBS lebih sebagai instrumen politik untuk membangun kekuasaan. Dengan MBS, seakan-akan pemerintah telah memberikan otonomi kepada sekolah, padahal sesungguhnya sekolah dan masyarakat belum siap untuk menerima semua itu.  Hal yang sama pun terjadi di negara maju seperti di negara bagian Australia. Representasi dari masyarakat kelompok minoritas dinilai kecil dalam komposisi kepengurusan Komite Sekolah.[19]
Dampak negatif yang sama terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di Afrika Barat (Lugaz dan De Grouwe), dimana penerapan MBS di sekolah justru dapat menyebabkan meningkatnya monopoli kekuasaan di level pemerintah daerah. Orangtua dan pendidik hampir tidak punya pengetahuan untuk mengontrol penggunaan uang sekolah yang telah diterima oleh sekolah. Tidak adanya transparansi dalam penggunaan uang sekolah dari orangtua siswa tersebut sering menimbulkan kesan terjadinya monopoli kekuasaan pada level pemerintah daerah.[20]
Di samping itu ada beberapa hambatan yang sering ditemui dalam penerapan MBS ini di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Tidak Berminat Untuk Terlibat; Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2.      Tidak Efisien; Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3.      Pikiran Kelompok:  Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4.      Memerlukan Pelatihan; Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5.      Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru; Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6.      Kesulitan Koordinasi; Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah. Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi. Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.[21]

6.    Menuju Manajemen Berbasis Sekolah Yang Ideal
Dalam rangkan menuju sistem manajemen berbasis sekolah yang efektif, efisien dan produktif, maka perlu diupayakan langkah-langkah oleh pemerintah pusat dan daerah. Ini dilakukan sebagai sebuah upaya sinergi program pendidikan pemerintah pusat dan daerah itu sendiri yang sudah memberlakukan otonomi, termasuk dalam otonomi di bidang pendidikan. Beberapa langkah yang bisa diupayakan bisa ditempuh melalui beberapa cara berikut:
a.       Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM)
Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas) 2000-2004 disebutkan bahwa salah satu program pembinaan pendidikan dasar dan menengah adalah mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat (school/community-based education) dengan memperkenalkan Dewan Pendidikan (dalam UU ini disebut Dewan Sekolah) di tingkat kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah di tingkat sekolah. Sebagai langkah konkret dari ketetapan Undang-Undang tersebut maka pemerintah sudah seharusnya menyiapkan kader leader yang memiliki karakter leadership yang siap.[22]
Sejalan dengan ini penerapan MBS harusnya juga diikuti oleh langkah-langkah berikut ini:
1.      MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2.      MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap. Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3.      Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4.      Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5.      Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.[23]
b.      Pemberian biaya/anggaran pendidikan yang seimbang (balance) antar lembaga pendidikan
Mengacu pada ketetapan Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, dan UU No 25 tentang perimbangan kekuatan keuangan antara Pusat dan Daerah (kini disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 dan UU No 33 tahun 2004, maka anggaran pelaksnaan pendidikan di masing-masing lembaga pendidikan menjadi tanggung jawab antara pemerintah pusat dan provinsi/kabupaten. Namun demikian, perlu juga dilaksanakan pemerataan anggaran pendidikan di antara wilayah yang sudah maju dan masih tertinggal. Hal ini ditujukan untuk mendorong keseteraan dan keselarasan outuput pendidikan yang ingin dicapai.

c.       Controlling dan Monitoring
Untuk implementasi yang bagus semua stakeholder harus sangat mengerti peran mereka masing-masing. Sesuai dengan etos MBS peran mereka tidak dapat dipastikan dari awal secara hitam di atas putih, mereka perlu, secara proses terbuka, mendiskusikan dan menukar pikiran supaya peran mereka yang paling mendukung guru di lapangan dan proses belajar-mengajar secara maksimal dapat ditentukan. Di dalam program baru, tidak ada peserta (stakeholder) yang dianggap superior, semua stakeholder walau mereka adalah Dewan Pendidikan, guru baru, atau orang tua yang petani, membawa input (pengalaman) dan kebutuhan mereka ke meja diskusi untuk mencari jalan terbaik untuk membantu stakeholder yang lain maupun keperluan mereka sendiri. Sekarang, yang juga sangat mendukung prosesnya adalah kita sekalian mengimplementasikan PAKEM (Contextual Learning).[24]
Controlling, monitoring dan evaluasi  pada biaya pendidikan juga mutlak dilakukan oleh Stakeholder, beserta komponen MBS lainnya, karena hal ini merupakan isu paling sensitif dalam pendidikan. Proses ini dilakukan untuk mengukur sejauh mana ketepatan sasaran dan akuntabilitas dari pemanfaatannya. Dari pihak interen sekolah, yakni komite sekolah, yang dianggap sebagai unit di level sekolah yang ditugasi untuk melakukan itu, juga perlu berperan aktif. Peran ini akan sangat penting dalam upaya efektifitas dan efesiensi pengelolaan keuangan di masing-masing sekolah. Dengan demikian, pengawasan yang dilakukan oleh semua lapisan stakeholders  menjadi langkah terbaik dalam mengurangi inefisiensi penyelenggaraan pendidikan itu.[25]
d.      Evaluasi (evaluation)
Penyelenggaraan pendidikan dengan Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia, harus mempunyai fungsi untuk pembentukan sosok lulusan yang utuh dan lengkap ditinjau dari segi kemampuan, keilmuan dan keterampilan serta kematangan/kesiapan pribadi, sehingga konsisten melaksanakan 4 pilar pendidikan, antara lain :
1. Prinsip learning to be
2. Prinsip learning to know
3. Prinsip learning to do
4. Prinsip learning to live together
Selanjutnya evaluasi terhadap pelaksanaan MBS itu juga didasarkan pada prinsip-prinsipp paradigma baru pendidikan tinggi di Indonesia yang meliputi sebagai berikut:
1. Kualitas : peningkatan mutu untuk pencapaian tujuan dan sasaran sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkan oleh setiap universitas.
2. Otonomi : keleluasaan dalam pengambilan keputusan, perbaikan system pengelolaan, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu dan peningkatan kesejahteraan manusia.
3. Akuntabilitas : pertanggungjawaban dan kemampuan untuk mendemonstrasikan keluaran ( outputs ) dan hasil ( outcomes ) yang memuaskan segenap stakeholders secara transparan.
4. Akreditasi : jaminan standar tingkat kompetensi yang dapat dikontrol masyarakat luas melalui penilaian oleh lembaga independen.[26]












C.  Penutup
Penyelenggaraan sistem Manajemen Berbasis Sekolah memberikan peluang bagi masing-masing satuan pendidikan untuk lebih progresif. Penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan pada kenyataan sosio budaya ekonomi lokal akan lebih bisa diadaptasikan dalam pendidikan dan pada akhirnya akan menghasilkan output dan outcome pendidikan sesuai dengan tujuan dari penyelanggaraan pendidikan. Peran masyarakat, orang tua, tokoh masyarakat (stake holder) dalam pelaksanaan pendidikan amatlah penting. Keterlibatan mereka bisa lebih tersalurkan dengan adanya Manajemen Berbais Sekolah. Karena dalam pelaksanaannya manajemen ini selain melibatkan pemerintah dalam perencanaan pendidikan dan juga mengadopsi apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Terciptanya output pendidikan yang handal akan juga memajukan program pendidikan nasional negara. Di samping itu, hasil tenaga didik yang terampil dan mempunyai kecakapan life skill dan akan mampu bersaing dalam tantangan global. Dampaknya, industrialisasi akan berkembang dan maju, yang selanjutnya juga akan memajukan perekonomian dan kesejahteraan suatu bangsa.
















DAFTAR PUSTAKA

Dacholfany., M Ihsan Dan Yuzana, Evi., Manajemen Berbasis Sekolah, http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/05/15/manajemen-berbasis-sekolah-mbs/, diakses tanggal 23 Januari 2011.
Hadiyanto., Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta,2004.
Hasbullah., Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya  Terhadap Penyelengaraan Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2007.
http://schooldevelopment.net/indexi.html
Hujair AH. Sanaky., Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003.
Mulyasa, E., Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep, Strategi dan Implementasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasi, Jakarta: GRASIDO, 2003.
Sriudin., Penerapan Manjemen Berbasis Sekolah, http://s1pgsd.blogspot.com/2010/09/penerapan-manajemen-berbasis-sekolah.html, diakses tanggal 23 Januari 2011.
Sujanto, Bedjo., Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah: Model Pengelolaan Sekolah Di Era Otonomi Daerah, Jakarta: CV. Sagung Seto, 2007.
Suparlan., Beberapa Temuan Hasil Penelitian Tentang Mbs (Manajemen Berbasis Sekolah), http://www.suparlan.com/pages/posts/beberapa-temuan-hasil-penelitian-tentang-mbs-manajemen-berbasis-sekolah-308.php, diakses tanggal 23 Januari 2011.
Tilaar, A.R.., Analisis Kebijakan Pendidikan; Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994.


[1] Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya  Terhadap Penyelengaraan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2007), hal.66.
[2] Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasi, (Jakarta: GRASIDO, 2003), hal. 16-19.
[3] Hasbullah, hal. 66.
[4] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep, Strategi dan Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 12.
[5] Ibid, hal. 24.
[6] Bedjo Sujanto, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah: Model Pengelolaan Sekolah Di Era Otonomi Daerah, (Jakarta: CV. Sagung Seto, 2007), hal. 30.
[7] Ibtisam Abu-Duhou, hal. 16.
[8] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003), hal. 205-206.
[9] E. Mulyasa, hal. 25.
[10] Ibid, hal. 26.
[12]  Debdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 219.
[13] Mulyasa, hal. 82.
[14] Bedjo Sujanto, hal. 50.
[15] Mulyasa, hal. 92.
[16] A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan; Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 162-163.
[17] Ibid, hal. 93.
[18] Suparlan, Beberapa Temuan Hasil Penelitian Tentang Mbs (Manajemen Berbasis Sekolah), http://www.suparlan.com/pages/posts/beberapa-temuan-hasil-penelitian-tentang-mbs-manajemen-berbasis-sekolah-308.php, diakses tanggal 23 Januari 2011.
[19] Ibid. Suparlan.
[20] [20] Suparlan, Beberapa Temuan Hasil Penelitian Tentang Mbs (Manajemen Berbasis Sekolah), http://www.suparlan.com/pages/posts/beberapa-temuan-hasil-penelitian-tentang-mbs-manajemen-berbasis-sekolah-308.php, diakses tanggal 23 Januari 2011.

[21]  Sriudin, Penerapan Manjemen Berbasis Sekolah, http://s1pgsd.blogspot.com/2010/09/penerapan-manajemen-berbasis-sekolah.html, diakses tanggal 23 Januari 2011.
[23] M Ihsan Dacholfany Dan Evi Yuzana, Manajemen Berbasis Sekolah, http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/05/15/manajemen-berbasis-sekolah-mbs/, diakses tanggal 23 Januari 2011.
[24] http://schooldevelopment.net/indexi.html diakses tanggal 24 oktober 2010.
[25] Hadiyanto, Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,2004), hal. 90.
[26] Ibid.

1 komentar: