1.
Keterkaitan Pendidikan dalam Upaya Pengembangan Politik
dan Ekonomi
a.
Keterkaitan Pendidikan dalam Upaya Pengembangan Politik
Untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan pendidikan
dalam pengembanga politik, perlu kiranya diadakan sebuah pembaharuan
sosio-kultural terlebih dahulu. Ini merupakan bagian dari syarat bila ingin
menciptakan pendidikan sebagai kekuatan yang bisa mengikat kekuatan politik
suatu bangsa.[1] Pembenahan sosio-kultural pendidikan akan menciptakan
manusia yang mengenal nilai-nilai demokratis. Pun demikian, pendidikan akan
mampu menjadi suatu kekuatan yang mampu mengarahkan dan menumbuh kembangkan
politik. Sebagaimana pendidikan telah mampu menjadi senjata dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia dari Imperialis Belanda yang telah lalu. Di samping itu
pendidikan telah mampu menghentikan dominasi politik kaum komunis di tahun
1965an.
Sebagai upaya awal dalam pembenahan serta pengembangan
politik atas dasar pendidikan, maka pendidikan haru diarahkan pada penanaman
nilai-nilai demokrasi. Di eropa, pemberlakukan wajib belajar sudah dimulai
sejak abad 19, yang pada akhirnya melahirkan kehidupan demokrasi. Kehidupan
demokrasi tidak mungkin bisa dikembangkan tanpa anggotanya yang cerdas karena
memperoleh pendidikan. John Dewey seorang filosuf pendidikan juga menilai
politik sebagai bagian dari pendidikan dan pendidikan merupakan bagian dari
politik.[2] Apa yang dialami bangsa Indonesia terkait demokrasi
tidaklah seindah dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Nilai-nilai
demokrasi telah lama terbenam oleh pemerintahan otoriter rezim Suharto.
Sehingga pada pasca jatuhnya Suharto pun, indonesia menjadi negara yang
carut-marut, banyak konflik yang bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antargolongan
(SARA). Maka adalah urgen untuk menanamkan nilai- nialai pendidikan sebagai
upaya pembenahan politik di Indonesia. Pentingnya demokrasi adalah karena ia
mengandung nilai-nilai sebagai berikut:
1.
Non-Diskriminatif; sikap non-diskriminatif artinya tidak membedakan
perlakuan terhadap orang atau kelompok lain karena perbedaan suku, agama,
keadaan sosial, ekonomi, gender, disable people dan lain-lain.
2.
Non-Represif; orang atau kelompok orang tidak menindas dan menekan
orang atau kelompok lain demi kepentingan mereka. Sebaliknya ada usaha saling
menghormati dan menghargai antar sesama manusia.
3.
Penghargaan Hak Asasi Manusia; artinya setiap orang memiliki hak dan
dituntut dengan apa yang menjadi kewajibannya.
4.
Kebebasan dan Tanggung Jawab; artinya setiap orang dapat mengembangkan
kebebasannya, di samping juga harus senantiasa ada penghargaan terhadap
kebebasan orang lain yang juga ingin bebas.
5.
Berpartisipasi aktif dalam hidup bersama; kita diberi kesempatan untuk
dapat berkembang dan mengembangkan potensi yang dimiliki dengan cara
berpartisipasi.
Dari sekian prinsip
tersebut, menurut penulis, setidaknya ada tiga kategori sifat demokratis yang
sangat erat kaitannya dengan politik. Yakni, non-diskriminatif, non-represif,
dan keberadaan hak asasi manusia. Ketiga sifat ini sering bermain dalam
kehidupan politik. Dan pada akhirnya politik ini memproduksi
kebijakan-kebijakan yang diperuntukan bagi warga negaranya. Pemahaman terhadap
nilai-nilai utama ini akan menjadikan warga negara indonesia yang pancasilais
dan memiliki sikap yang sesuai dengan asas ke-Bhineka Tunggal Ikaan. Dan pada
akhirnya akan menjelma dalam diri politisi-politisi yang memiliki hati nurani
luhur dan memiliki jiwa pengabdian bagi kemajuan bangsa dan negaranya sendiri.
b.
Keteriktan Pendidikan dalam Upaya Pengembangan Ekonomi
Tidak
dapat dipungkiri juga bahwa keterikatan pendidikan dalam upaya pengembangan
ekonomi merupakan tesis yang sulit di bantahkan. Sebuah contoh adalah
kebangkitan Jerman dan Jepang pasca perang Dunia II. Meskipun keduanya telah
hancur oleh sekutu, namun karena keduanya telah memiliki sistem penyelenggaraan
dan juga fasilitas pendidikan yang baik maka dengan cepat kembali menghidupkan
kehidupan industri sekaligus perekonomian, menjadi kembali berkembang bahkan
saat ini sudah kembali menjadi negara maju. Demikian pula yang terjadi di
beberapa negara Asia lainnya seperti Korea selatan, Hongkong, Taiwan dan
Singapura. Mereka memiliki angkatan kerja yang berkualitas sehingga mampu
mengejar keterbelakangan dalam ekonomi.[4] Hal ini dikarenakan tingkatan minimal lulusan
pendidikanny yang setingkat SMA di negara kita.
Dalam konteks ekonomi, pendidikan dimaknai sebagai bentuk investasi modal
insani. Dalam jangka panjang, investasi untuk pendidikan akan melahirkan
tenaga-tenaga ahli produktif, yang sangat diperlukan dalam upaya membangun
perekonomian suatu bangsa. Investasi di bidang pendidikan, secara ekonomis,
akan mendatangkan keuntungan terutama berkaitan dengan pemasokan tenaga-tenaga
kerja yang cakap, terampil, dan mahir, yang menjadi instrumen vital dalam
proses produksi. Produktivitas tenaga kerja berpendidikan dapat dilihat dari
enam parameter.[5]
Pertama, quantity of
product, tenaga kerja terdidik akan mampu menghasilkan lebih banyak barang
dan jasa dalam waktu lebih cepat, sebab mereka memiliki keterampilan,
kemahiran, dan pengetahuan. Kedua, quality of product, tenaga
kerja terdidik akan mampu menghasilkan produk yang bermutu dengan pelayanan
yang lebih baik. Ketiga, product mix, tenaga kerja terdidik akan
Iebih mampu menghasilkan produk dan memberikan pelayanan yang berorientasi pada
customer satisfaction. Keempat, participation in the labor force,
tenaga kerja terdidik akan dengan mudah terlibat secara aktif dalam organisasi
atau perserikatan pekerja, terutama untuk menyuarakan aspirasi atau mengajukan
tuntutan, misalnya, kenaikan gaji atau perbaikan kesejahteraan. Kelima, allocative
ability, tenaga kerja terdidik akan lebih mampu menilai atau mengukur kapasitas
diri mereka. Keenam, job satisfaction, tenaga kerja terdidik akan
lebih mudah memperoleh kepuasan dalam bekerja, karena mereka lebih gampang
mendapat pekerjaan atau memilih jenis pekerjaan tertentu, dengan penghasilan
yang lebih tinggi.[6]
Bertolak belakang dengan negara kita yang baru saja
mencanangkan program pendidikan wajib belajar sembilan tahun. Butuh waktu yang
sangat lama tentunya untuk menuai hasil dari program ini. Namun, hal ini tidaklah
menutup peluang bagi kita untuk mengembangkan perekonomian melalui sarana
pendidikan. Mengurangi kesenjangan ini aka perlu di adakan upaya-upaya sebagai
berikut:
1.
Link and Match Education
Dalam
pendidikan semboyan “link and match” memiliki makna berkait dan
berkepadanan. Adalah suatu upaya anjuran agar sistem pendidikan menyesuaikan
dengan kenyataan-kenyataan yang terdapat dalam masyarakat, terutama
perubahan-perubahan yang terjadi di pasaran kerja.[7] Pendidikan tidak lagi harus terpaku pada pola-pola
yang sudah ada. Ini sebagai bentuk upaya mengantisipasi mis match education
seperti yang sudah terjadi negara ini.
Salah satu hal yang
mendesak adalah pengenalan dan pengimplementasian kewiraswastaan dalam
kurikulum pendidikan nasional mulai dari menengah pertama sampai pendidikan tinggi.
Ini dengan sendirinya akan mendorong para lulusan sekolah menengah atas untuk
tidak bersikap pasif dan putus asa apabila hanya mampu sekolah di tingkat
lanjutan atas. Akan tetapi mereka akan menjadi terangsang dengan berbagai
alternatif yang mungkin seperti berusaha dengan pemahaman tentang dunia usaha
yang sudah terbentuk sejak di bangku sekolah. Implementasi kewiraswastaan ini
tidak hanya proses belajar di kelas, tetapi lebih pada perangsangan dan
penggalian ide, pengenalan dunia usaha dan pengetahuan tentang berusaha. Ini
kemudian melibatkan dunia usaha di mana baik secara fungsional dan institusi,
dunia usaha dapat membantu pengimplementasian program tersebut. Dalam
kewiraswastaan ter-internalize semangat kerja sama, kerja keras dan
penghargaan akan waktu. Dengan demikian pengimplementasian kewiraswastaan
terhadap pendidikan nasional baik menengah dan tinggi dengan secara serius dan
melibatkan dunia usaha secara sungguh-sungguh akan mendorong lahirnya generasi
penerus yang berwatak kerja keras, memiliki toleransi dan mandiri. Pengembangan
kewiraswastaan dengan sungguh-sungguh akan berdampak ganda, yakni dapat menjadi
salah satu solusi dalam masalah mismatch dan juga
mempersiapkan dan membangun mentalitas dan watak generasi penerus sehingga
mampu menjawab tantangan masanya.[8]
Melalui link and match education, pendidikan
akan diorientasikan ke wilayah eksternal education itu sendiri. Mengurangi
kesenjangan antara apa yang diajarkan dengan apa yang disaksikan oleh para
siswa yang cenderung mengalami disorientasi nilai pendidikan
karena sistem lama. Sebuah kesenjangan yang secara mendasar akan menimbulkan
distorsi pada disorientasi kultural bahkan alienasi kulural.
Seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah dan lahirnya
desentralisasi pendidikan, penerapan konsep link and match education
sudah bisa terimplementasikan. Ini ditandai dengan adanya penerapan Manajemen
Berbasis Sekolah serta pengembangan kurikulum yang berbasis lokal. Namun, hal
ini juga belum bisa menjadi jaminan akan adanya keberhasilan dari terbentuknya output
pendidikan yang siap dengan tantangan baru di era global saat ini dan akan
datang.
2.
Program Pengkayaan
Program
pengkayaan atau “enrichment program” adalah suatu program belajar yang
disusun dengan materi di atas program standar untuk para siswa yang dinilai
memiliki kemampuan belajar yang lebih tinggi dari pada yang dituntut oleh
program standar. Program ini diupayakan untuk menjawab tantangan zaman yang
terus berkembang pesat. Menurut para ahli, untuk mempersiapkan para siswa yang
mampu menjadi knowledge worker yang
baik, sekolah perlu memberikan suatu pendidikan dengan landasan intelektual
yang luas, pendidikan dengan intellectual briad base. Dengan pendidikan
seperti ini, mereka akan memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengikuti
berbagai latihan ulangan dalam rangka pembaharuan kemampuan kerja mereka.
Mereka akan memiliki retrainability yang tinggi untuk mempertahankan employability
mereka.[9]
Program pengkayaan ini memiliki dua substansi yang
berperan dalam proses transformasi nilai-nilai sosio-kultural, antara lain:
materi tentang perubahan-perubahan dalam tatanan nilai, dan materi tentang
dinamika yang terdapat dalam kehidupan masyarakat kita. Yang terkahir ini dapat
diisi dengan materi yang diambil dari berbagai segi kehidupan: dunia usaha,
dunia mode, dunia teknologi informasi dan lain-lain, dan jika memungkinkan
memasukan kenyataan-kenyataan dari dunia politik.[10]
Jika pemahaman demikian dapat kita tanamkan, maka
anak-anak tidak akan lagi memandang masa depan sebagai sesuatu yang menakutkan,
tetapi sebagai suatu zaman dan masyarakat yang dalam beberapa hal berbeda dari
masa sekarang. Dengan demikian, pemahaman ini akan dapat mencabut ketakutan
terhadap masa depan dari pikiran anak-anak itu sendiri dan menggantinya dengan
optimisme yang realistik.
A.
PENUTUP
Pendidikan
merupakan faktor utama yang mendukung kemajuan perdaban suatu bangsa. Melalui
sarana pendidikan, pemerintah dapat merealisasikan apa yang menjadi cita-cita
luhur dari pembangunan nasional. Kemajuan sistem politik dan ekonomi bergantung
pada output pendidikan yang diselenggarakan dalam suatu tatanan
masyarakt. Nilai-nilai otoriter dan indoktrinisme yang selama ini membelenggu
bangsa indonesia merupakan implikasi dari buruknya penyelenggaraan pendidikan
selama ini.
Era reformasi merupakan tolak ukur pembangunan di
bidang pendidikan yang diupayakan untuk mampu menciptakan output
pendidikan yang handal dan siap menghadapi tantang masa depan. Era globalisasi
menuntut setiap individu untuk melakukan persiapan keterampilan, wawasan
intelektual dan kesiapan mental dalam rangka menghadapi persaingan global. Untuk
mengupayakan hal tersebut, dalam bidang pendidikan perlu dilaksanakan reaktualisasi
tujuan dari penyelenggaraan pendidikan. Yaitu suatu pendidikan yang tidak mismatch
melainkan bisa link match dengan disertai pengkayaan materi yang
diperuntukkan untuk mampu menghadapi peluang dan tantangan di masa moderen saat
ini.
[1]
Mochtar Buchori, Transformasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Pustaka Sinar
Harapan, 1995), hal.54.
[2]
A.R. Tilaar, hal. 43
[3]
Benni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional, (Jogyakarta: Ar-Ruzz Media
Group, 2008), hal. 77-79. Terkait dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam
baca Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kalam Mulia,2008), hal.
331.
[4]
Muchtar Buchori, hal. 50-51.
[5]
Amich Alhumami, Dimensi Sosial-Ekonomi Pendidikan, lihat http://bataviase.co.id/node/374074,
diakses pada tanggal 25 oktober 2010.
[6]
ibid
[7]
Ibid, hal. 172.
[8] Di download dari http://www.uns.ac.id/data/sp10.pdf, diakses
pada tanggal 25 oktober 2010.
[9]
Mochtar Buchori, hal. 190-193.
[10]
Ibid. hal. 196.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar