Secara umum
induksi dijelaskan sebagai proses berpikir di mana orang berjalan dari yang
kurang universal menuju yang lebih universal, atau secara lebih ketat lagi dari
yang individual/ partikular menuju ke yang umum/ universal. Induksi bisa
mengantarkan manusia pada tingkatan inderawi dan individual menuju ke tingkatan
intelektual dan universal.[1]
Dalam segala bentuknya yang lebih khusus
induksi merupakan persoalan generalisasi empiris, yakni kita berargumen bahwa
karena sesuatu telah terbukti benar dalam sejumlah kasus yang diamati, besar
kemungkinan yang diperoleh tidak bersifat pasti (kecuali dalam kasus-kasus
khusus), tapi bisa menjadi sangat besar kemungkinannya dan seluruh prediksi
rasional kita mengenai masa depan tergantung pada referensi ini. Pengambilan
kesimpulan dengan induksi sudah pasti tidak sekedar masalah empiris karena kita
menggunakannya untuk menyimpulkan apa yang belum kita amati.[2]
Merujuk pada
pernyataan David Hume[3]
bahwa argumentasi yang bersifat induktif bersandar pada suatu keaneka ragaman,
kebiasaan dan pengalaman, hal ini sesuai dengan apa yang menjadi stressing point Francis Bacon dengan
menekankan aspek eksperimen sebagai hal
penting untuk menaklukan alam dengan rahasianya (to torture nature for her secrets). Dalam hal ini Bacon menyebutnya
sebagai komposisi sejarah alamiah dan eksperimental (the composition of a natural anda experimental history).
Menurutnya, eksperimen sangat penting karena jika kita dengan sederhana
mengamati tentang apa-apa yang terjadi di sekitar kita, maka kita dibatasi
dalam data-data yang kita kumpulkan; ketika kita menampilkan sebuah percobaan
kita mengendalikan keadaan pengamatan sejauh mungkin dan memanipulasi keadaan
dari percobaan untuk melihat apa yang terjadi dalam lingkungan-lingkungan di
mana hal sebaliknya tidak pernah terjadi. Eksperimen memungkinkan kita untuk
menanyakan “apa yang terjadi jika ...?”. Bacon menyatakan bahwa dengan
mengadakan percobaan-percobaan kita mampu menaklukan alam dan rahasianya.[4] Satu
hal yang terpenting adalah bahwa ‘banyak hal-hal’ yang terpelihara/ terjaga.
Jadi, apa yang orang-orang perlu pelajari dari alam ini ialah bagaimana
menggunakannya secara penuh untuk mendominasi dengan keseluruhan alam tersebut
dan juga atas orang lain.[5]
Berdasarkan pemikirannya tersebut, Bacon
merumuskan dasar-dasar berpikir induktif modern. Menurutnya, metode induksi
yang tepat adalah induksi yang bertitik pangkal pada pemeriksaan yang diteliti
dan telaten mengenai data-data partikular, yang pada tahap selanjutnya rasio
dapat bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam (interpretatio natura). Untuk mencari dan menemukan kebenaran dengan
metode induksi, Bacon mengemukakan ada dua cara yang harus dilakukan, yaitu:
1) Rasio yang digunakan
harus mengacu pada pengamatan inderawi yang partikular, kemudian mengungkapnya
secara umum.
2) Rasio yang
berpangkal pada pengamatan inderawi yang partikular digunakan untuk merumuskan
ungkapan umum yang terdekat dan masih dalam jangkauan pengamatan itu sendiri,
kemudian secara bertahap mengungkap yang lebih umum di luar pengamatan.[6]
Dalam
filsafat Whitehead induksi bukanlah proses menarik hukum-hukum dari observasi
yang diulang-ulang tetapi dengan cara membuat dugaan tentang ayat-ayat masa
depan yang didasarkan pada sifat-sifat masa lampau dari benda-benda yang
diobservasi. Maka hal ini melibatkan imajinasi dan akal. Menurutnya,
generalisasi ide harus sampai pada suatu sistem ide yang koheren, logis dan
niscaya.[7]
Untuk menghindari penggunaan metode
induksi yang keliru, Bacon menyarankan agar menghindari empat macam idola atau
rintangan dalam berpikir, yaitu:
1)
Idola tribus (bangsa) yaitu prasangka yang dihasilkan oleh pesona atas keajekan
tatanan alamiah sehingga seringkali orang tidak mampu memandang alam secara
obyektif. Idola ini menawan pikiran orang banyak, sehingga menjadi prasangka
yang kolektif.
2)
Idola cave (cave/specus = gua), maksudnya pengalaman dan minat pribadi kita
sendiri mengarahkan cara kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif
dikaburkan.
3)
Idola fora (forum = pasar) adalah yang paling berbahaya. Acuannya adalah
pendapat orang yang diterimanya begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan dan
penilaiannya yang tidak teruji.
4)
Idola theatra (theatra = panggung). Dengan konsep ini,
sistem filsafat tradisional adalah kenyataan subyektif
dari para filosofnya. Sistem ini dipentaskan, lalu tamat seperti sebuah teater.[8]
Selanjutnya adalah penting untuk memahami bahwa
dalam pendekatan Induktif Bacon, kita diminta untuk memulai dengan
bagian-bagian yang bisa diamati dan kemudian berpikir ke dalam
pernyataan-pernyataan umum ataupun hukum-hukum, bertolak belakang dengan
pendekatan scholastik Aristotelian, karena induksi tersebut menuntut verifikasi
bagian-bagian spesifik sebelum sebuah keputusan dibuat.[9]
[1] Henry Van Laer,
Filsafat Ilmu; Ilmu Pengetahuan Secara
Umum, (Yogyakarta: LPMI, 1995), hal. 69.
[2] Ewing, Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), hal. 65.
[3] Julian Baggini,
Lima Tema Utama Filsafat; Pengetahuan,
Filsafat Moral, Filsafat Agama, Filsafat Pikiran, dan Filsafat Politi, (New
York: Palgrave MacMillan, 2002), hal. 23.
[4] James Ladyman, Understanding Philosophy of Science, (New
York: Routledge, 2002), hal.23.
[5] Richard Kearney
dan Mara Rainwater, Continental
Philosophy Reader, (London: Routledge, 1996), hal. 1999.
[6] Riski Amalia
Putri, Problema Induksi dan
Ketergantungan Observasi pada Teori,http://blog.unsri.ac.id/riski02/filsafat-ilmu-/induktivisme-problema-induksi-dan-ketergantungan-obsevasi-pada-teori-/mrdetail/14742/
, diakses tanggal 2 oktober 2010.
[7] Hardonono Hadi,
Jatidiri Manusia; Berdasar Filsafat
Empirisme Whitehead, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 65.
[8] Riski Amalia
Putri, Problema Induksi dan
Ketergantungan Observasi pada Teori,http://blog.unsri.ac.id/riski02/filsafat-ilmu-/induktivisme-problema-induksi-dan-ketergantungan-obsevasi-pada-teori-/mrdetail/14742/
, diakses tanggal 2 oktober 2010.
[9]
Howard A.
Gemon dan Samuel M. Craver, hal. 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar