Al-Qur’an
Firman Tuhan, Sumber Pengetahuan dan
Perbuatan
*oleh : Ben Ra Vika
Perjanjian antara Tuhan dan
manusia dibuat oleh kebaikan yang mana manusia terima (amanah) dengan
menjadi manusia yang bebas dan berakal beserta segala kesempatan dan bahaya yang
berimplikasi tanggung jawab, yang ditandai secara nyata (fisik) dengan
batu ka’ba. Rekaman spiritual tentang perjanjian ini terkandung dalam
al-Qur’an, theophany Islam itu sendiri merupakan ungkapan kepandaian bicara
dari perjanjian abadi antara manusia dan Tuhan. Dalam ayat al-Qur’an ‘Bukankah Aku
Tuhan Kamu ‘ (VII,172) (الست بربكم), Tuhan menawarkan kepada manusia bahkan
sebelum awal waktu yang bersejarah (masa terdahulu) dan penciptaan bumi
tentang perjanjian ini dan jawabannya ‘Ya, Kami bersaksi’ (بلي شهدنا) manusia
menyanggupi tantangan dari ajakan ini, dan menyetujui untuk untuk membawa
kepercayaan ini sebagai ‘Hamba Tuhan’ (‘abd). Dalam hal ini ‘YA’
menyembunyikan rahasia dan signifikansi utama dari keberadaan manusia, tentang
kehidupan mahluk teomorfis Tuhan sebagai Wakil Tuhan atau Khalifah di muka
bumin ini.
Al-qur’an
mengandung pesan dengan bantuan yang dengannya perjanjian ini dapat dijaga dan secara
entelechy keberadaan manusia terpenuhi. Dengan demikian ia adalah pusat
dari realitas dalam kehidupan Islam. Itu adalah dunia di mana seorang muslim
tinggal. Dia terlahir dengannya dalam banyak nyanyian kalimat di setiap telinga
anak Islam yang baru terlahir yaitu syahadat yang terkandung di dalam
al-Qur’an. Dia belajar bagian-bagian tertentu darinya seperti seorang anak dan
mulai untuk mengulangi beberapa bentuk rumusannya dari waktu dia bisa
berbicara. Dia membacakan beberapa surat
darinya dalam solatnya sehari-hari. Dia dinikahkan melalui bagian-bagian bacaan
dari kitab suci dan ketika dia mati al-Qur’an dibacakan baginya. Al-Qur’an
adalah urat atau daging kehidupan dari seorang muslim yang; kalimat-kalimatnya
menyerupai substansi jiwanya yang terkait.
Al-Qur’an
bagi muslim merupakan wahyu dan kitab yang padanya pesan-Nya bagi setiap orang
terkandung. Ia adalah Firman Tuhan yang diwahyukan Nabi melalui malaikat
Jibril. Dengan demikian Nabi merupakan alat yang dipilih oleh Tuhan untuk
pewahyuan firman-Nya, pada kitab-Nya baik semangat dan suratnya, isi dan
bentuk, adalah bersifat Ketuhanan. Bukan hanya isi dan makna yang berasal dari
Tuhan tapi juga wadah dan bentuk yang demikian merupakan sebuah aspek wahyu
yang integral.
Menurut
sumber-sumber tradisi, yang mana sendiri masalah tersebut dalam
pertanyaan-pertanyaan, al-Qur’an diwahyukan kepada nabi ketika dia menghabiskan
beberapa lamanya waktu, seperti dia sering menyendiri, dalam sebuah gua di
gunung Hira’ dekat Mekkah. Tiba-tiba ketidaksadaran wadah manusianya dipinjam
dan diluluhkan oleh malaikat Jibril, yang memiliki fungsi banyak cara dalam
Islam seperti Hantu Suci dalam agama
Kristen. Dia berkata kepada Nabi ‘bacalah!’ (اقرا) dan dengan kata itu penurunan wahyu
Ketuhanan dimulai. Itu adalah signifikansi terbesar bahwa ayat pertama yang
diwahyukan adalah ‘bacaan’ untuk lambang supremasi dari kenabian dalam Islam
yaitu sebuah Kitab. Di dalam agama lain ‘penurunan yang mutlak’ telah mengambil
bentuk lain, tapi dalam Islam sama dengan agama Semit yang lainnya tapi dengan
lebih penekanan, kenabian/pewahyuan dihubungkan dengan sebuah ‘kitab’ dan dalam
faktanya Islam menggambarkan pengikut agama-agam wahyu sebagai ‘Orang-Orang
Kitab’ (ahl al-kitab).
Perintah
malaikat Jibril untuk ‘membaca’ sang Nabi menjawab dengan menyatakan bahwa dirinyaa
tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya, manusia ummi. Tapi wahyu
Ketuhanan itu sendirilah yang telah memberikan kekuatan untuk ‘membaca’ kitab
Tuhan dan dengan demikian dia menjadi manusia perantara wahyu ini yang dia serukan kepada umat manusia. Agama
kebenaran ini, seperti banyak sering
terjadi di tradisi-tradisi lainnya, adalah sebuah kesulitan bagi manusia untuk
menerima dengan akal, bukan karena ia sendiri tidak masuk akal tapi karena akal
memerlukan pengalaman sensibilitas keseharian dan dikejutkan dengan sebuah
fenomena yang melebihi ikatan dan pengaruh pada pengalaman tersebut. Seseorang bertanya bagaimana bisa Nabi
menjadi Ummi dan masih ‘membaca’. Bagaimana bisa dia yang buta huruf dan
masih bisa mengumandangkan al-Qur’an yang merupakan hal yang paling indah dari
semua karya dalam bahasa Arab, sebuah kitab yang memiliki kefasihan tersendiri
sebagai mukjizat terbesar dalam agama Islam.
Banyak
kalangan penulis Barat menulis tentang pertanyaan pokok ini, mulai dengan
asumsi – sering bersembunyi di dalam tabir yang juga menyebut dengan
‘Objektivitas’ dan ‘Ilmu Pengetahuan’- bahwa
al-Qur’an bukan sungguh-sungguh Firman Tuhan, wahyu dari langit. Dengan demikian,
ia harus dijelaskan lebih jauh. Bukan Firman Tuhan, dalam pandangan mereka ia
pasti merupakan karya nabi secara natural yang karenanya pasti merupakan
seorang penyair yang sangat bagus dan tidak mungkin dia seorang buta huruf. Dia
pasti telah belajar banyak hal di sana
sini dari komunitas bangsa Yahudi di Madinah atau biarawan Kristen di Syria dan
meletakkan mereka semua ke dalam sebuah kitab yang nampak dalam kritikan-kritikan
ini sebagai sebuah replika atau tiruan kitab suci kitab suci lainnya seperti Taurat
dan Injil.
Sebuah
pandangan semacam ini mungkin telah dipertahankan oleh seseorang yang menolak
semua pewahyuan semacam di atas tapi adalah sebuah keanehan untuk mendengar
pandangan-pandangan semacam penulis yang sering menerima Agama Kristen dan
agama Yahudi sebagai kebenaran wahyu. Adalah tidak cukup untuk membuat
sebuah perbandingan morfologis antara Islam dan taruhlah agama Kristen untuk
menyadari mengapa Nabi harus buta huruf dan mengapa seseorang yang mengerti
agama metafisis dan secara intelektual harus menerima agama semacam keduanya,
itu semuanya tradisi-tradisi ortodok, atau lebih bahaya ketidak-konsistenan
intelektual atau kemunafikan spiritual.
Seseorang pasti
bisa membuat perbandingan antara Islam dan Kristen dengan membandingkan Nabi
dengan Kristus (Jesus/Isa), Al-Qur’an dengan Injil (perjanjian baru), Jibril
dengan Ruh/Hantu Suci, Bahasa Arab dengan Bahasa Armaic, bahasa yang diucapkan
oleh Kristus, dll. Dengan cara ini kitab suci dalam sebuah agama dapat
dicocokan dengan kitab suci dalam agama lainnya, figur pusat dalam sebuah agama
dengan figur pusat dalam agama lainnya dan seterusnya. Tipe perbandingan ini
akan pasti bermakna dan berguna mengungkap pengetahuan tentang struktur pada
dua agama. Tapi untuk memahami apa arti al-Qur’an bagi umat Islam dan mengapa
Nabi diyakini sebagai buta huruf menurut keyakinan umat Islam, itu lebih
penting untuk mempertimbangkan perbandingan ini dari sudut pandang yang lain.
Firman Tuhan
dalam Islam adalah al-Qur’an; dalam agama Kristen ia adalah Kristus. Kendaraan
dari – Pesan Ketuhanan dalam Agama Kristen adalah Maria Sang Perawan; dalam
agama Islam ia adalah ruh Muhammad. Nabi harus buta huruf untuk alasan yang
sama bahwa Maria juga harus perawan. Kendaraan manusia dari Pesan Ketuhanan
haruslah suci dan tidak bersih. Firman Tuhan hanya dapat ditulis dalam kesucian
dan lembar penerima manusia ‘Yang Tak Tersentuh’. Jika firman ini dalam bentuk
daging suci yang disimbolkan dengan virginitas seorang ibu yang memberikan
kelahiran bagi Firman, dan jika ia ada dalam bentuk sebuah Kitab suci kesucian
ini disimbolkan dengan kebuta-hurufan alami seseorang yang dipilih untuk
mengumumkan Firman ini sesama manusia. Seseorang tidak dapat menolak dengan
logika kebuta -hurufan alami seorang Nabi dan dalam hal yang sama Kelahiran
dari virginitas Maria. Kedua aspek besar dari misteri kerasulan ini menandakan
dan sekali lagi bisa dipahami oleh seseorang yang tidak dapat menerima dan
lainnya yang menolak.
Kebuta-hurufan
alami dari Nabi mendemonstrasikan bagaimana manusia penerima secara penuh pasif
sebelum peristiwa Kenabian. Apakah kesucian dan virginitas jiwa ini tidak ada,
Firman Tuhan bisa menjadi sebuah hal yang ternoda dengan kesucian pengetahuan
manusia secara murni dan tidak bisa dipresentasikan bagi umat manusia dalam
keaslian kemurniannya. Nabi secara murni pasif dalam menghadapi wahyu yang dia
terima dari Tuhan. Dia tidak menambahkan sendiri wahyu ini. Dia tidak menulis
sebuah kitab yang dibawa sebagai Kitab Suci bagi umat manusia.
Untuk membawa
analogi ini lebih jauh seseorang bisa menunjukan bukti bahwa al-Qur’an, jelmaan
firman Tuhan, lalu mencocokan dengan Kristus dalam agama Kristen dan bentuk
dari kitab ini, yang mana menyerupai isi yang ditentukan dengan keputusan
langit, cocokan dalam sebuah rasa pada jiwa Kristus. Bentuk al-Qur’an adalah
bahasa Arab yang mana pembicaraan keagamaanya merupakan hal yang terpisahkan
dari al-Qur’an sebagaimana tubuh Kristus dari Kristus sendiri. Bahasa Arab
adalah bahasa yang sakral dalam agama Islam, karena dalam wilayah ini bangsa Persia telah memainkan sebuah peran vital di
tanah Kawasan Timur dari dunia Islam dari Persia
hingga China.
Bahasa Arab disucikan dalam hal ini karena ia merupakan bagian integral dari
wahyu Qur’ani yang memiliki bunyi dan ungkapan-ungkapan yang memainkan sejumlah
peran dalam praktek ritual ajaran agama Islam.
Sudah pasti
Islam tidaklah dimaksudkan hanya bagi orang Arab dan itu tidaklah perlu untuk
mengetahui Bahasa Arab secara baik untuk menjadi seorang muslim. Telah ada
sejumlah ilmuan Muslim yang sama sekali tidak bisa berbicara atau membaca
bahasa Arab. Tapi bentuk bacaan al-Qur’an dalam sholat-sholat dan praktek
peribadatan lainnya harus diwujudkan dalam bahasa suci al-qur’an yang seseorang
dengan sendirinya mampu untuk meresapi dalam isi dan ditransformasikan dengan
kehadiran Ketuhanan dan pemberian (barakah) kitab Ketuhanan. Itulah
mengapa, meskipun ia tidak penting untuk mengetahui bahasa Arab secara baik
untuk menjadi seorang muslim, adalah perlu seminimal mungkin untuk mengetahui
ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki peran penting dalam praktek peribadatan.
Itulah juga mengapa al-Qur’an tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun
untuk tujuan ritual dan mengapa orang non-Arab selalu memperkuat belajar bahasa Arab, bukan pembicaraan
bahsa Arab yang mana dengannya seseorang mampu berbicara tentang materi
keseharian, tapi bahasa Arab yang bentuknya merupakan sebuah bagian dari
pendidikan religius yang melaluinya dapat membantu dunia umat muslim dalam
membaca dan memahami kitab suci tuhan.
Adalah sulit
bagi orang barat untuk memahami makna dan pengertian dari sebuah bahasa yang
sakral, yang mana ia tampil dalam agama-agama tertentu karena dalam agama
Kristen tidak ada bahasa yang sakral atau suci. Dan karena hal ini sangat masuk
akal sebab modernisasi umat Islam tidak dapat memahami materi yang sangat
penting ini semuanya, baik mereka yang yang merupakan muslim non-Arab yang
mencoba untuk menggantikan bahasa-bahasa Islam lainnya kedalam bahasa Arab
dalam praktek-praktek peribadatan ataupun orang arab sendiri yang mencoba untuk
mensekulerisasikan bahasa Arab. Kalangan berikutnya mengambil keuntungan dari
bukti bahwa Tuhan memilihnya sebagai
sebuah bahasa wahyu yang ditujukan bukan untuk orang-orang Arab sendiri
tapi bagi sejumlah segmen dari umat manusia, dan kesalahan aturan sakral bahasa
Arab dalam agama Islam dengan aturan-aturanya yang diharapkan dalam
bentuk-bentuk kelaziman etnis dan nasionalisme ketata bahasaan.
Untuk memahami
peran bahasa Arab dalam Islam kita harus melihat sekilas dengan berani pada
tradisi-tradisi keagamaan besar lainnya di dunia. Seseorang melihat secara
langsung bahwa ada dua tipe tradisi: Satu,
didasarkan pada penemu tradisi yang dalam hal ini dianggap sebagai ‘Keturunan
Tuhan’, inkarnasi atau dalam agama Hindu beristilah avatara, yang
menyatakan dirinya ‘Firman Tuhan’ dan pesan dari langit (surga). Dalam tradisi
tersebut tidak ada bahasa yang disucikan karena badan atau bentuk luar dari
penemu itu sendiri merupakan bentuk external dari Firman. Sebagai contoh, dalam
agama Kristen, Kristus (Isa) sendiri adalah Firman Tuhan dan itu tidak menjadi
masalah baik yang seseorang rayakan secara masal di Yunani, Latin atau untuk
masalah tersebut bahasa Arab atau bangsa Persia bisa diikut-sertakan dalam
‘darah’ dan ‘badan’ dari Kristus. Bahasa Latin dalam gereja Katolik merupakan
bahasa Liturgi (peribadatan) bukan sesuatu yang disucikan.
Atau dengan
mengambil sebuah keadaan luar tradisi umat Nabi Ibrahim, dalam ajaran Budha,
Budha sendiri merupakan sebuah avatara atau inkarnasi. Kitab Budha
terdahulu pertama kali dimunculkan dalam bahasa Sansekerta/sankrit.
Kemudian diterjemahkan dalam bahasa Pali, Tamil,
Tibet, Bahasa China,
bahasa Jepang dan banyak bahasa lainya. Seseorang bisa menjadi seorang budha
yang baik secara sempurna dan tidak mengetahui bahasa Sansekerta serta membaca
teks-teks keagamaan, misalkan saja dalam bahasa Jepang. Lagi-lagi disini bentuk
dari ‘firman’ bukanlah sebuah bahasa, karena ‘firman’ bukanlah sebuah kitab
tapi seseorang. Bentuk itu sendiri condong kepada aspek external dari Budha itu
sendiri dan kita tahu bahwa dalam ajaran Budha anggapan Budha yang sangat indah
tersimpan.
Berbeda dengan
tradisi-tradisi tersebut yang paling sedikit melekat satu sama lainnya,
meskipun ajaran Budha dan Kristen membedekan secara ekslisit dalam banyak hal,
ada hal lain yang di dalamnya penemu itu sendiri bukanlah pesan dari
langit/surga, Firman Tuhan, tapi merupakan utusan bagi dunia ini. Pada
kenyataannya ini merupakan aspek yang mana di bawahnya Islam menggambarkan
semua kenabian karenanya seorang penemu dari sebuah agama disebut rasul;
secara literal seseorang yang membawa sebuah risalah atau pesan
dari Tuhan. Dalam agama-agama tersebut karena penemu itu sendiri bukanlah
Firman dan bentuk externalnya bukanlah bentuk secara langsung dari Firman di
sini harus ada bahasa yang suci yang mana keterlepasannya dihubungkan dengan
isi dari pesan dan takdir Tuhan yang terpilih sebagai kendaraan ungkapan firman-Nya.
Bunyi dan firman-firman bahasa yang sangat disucikan tersebut merupakan
bagian-bagian dari kerasulan dan memainkan peran yang sama dalam agama
masing-masing sebagai badan Kristus sebagaimana hal ini dalam agama Kristen.
Lagi untuk
mengambil atau mengutip beberapa contoh, seseorang bisa menyebutkan ajaran
Yahudi dan Islam dan dalam sebuah iklim agama Hindu yang berbeda. Musa adalah
seorang Nabi yang membawa pesan dari langit. Pesan ini memiliki bahasa yang
disucikan yaitu Hebrew (ibrani). Seorang Yahudi ortodok dapat menulis filsafat
Yahudi dan Teologi dalam bahasa Arab seperti yang dilakukan oleh Maimonidas,
tapi dia tidak dapat menunjukkan tata cara atau membaca Taurat secara keagamaan
dalam hal apapun melainkan dalam bahasa Ibrani. Dia tidak dapat membuat sebuah
analisa ketata-bahasaan dan filosofis pada kitab taurat dengan bahasa lainnya,
kita sebut saja Bahasa Yunani sebagaimana yang telah dilakukan oleh Philo,
tapi dia tidak dapat melibatkan diri dalam ‘Perwujudan Ketuhanan’ pada
kitab Tuhan kecuali melalui bahasa suci umat Yahudi. Dalam ajaran Hindu
seseorang bisa membaca kitab Veda seratus kali dalam bahasa Bengali,
tapi lagi, dalam upacara keagamaan, seorang Brahma harus menyanyikan kitab Veda
dalam bahasa Sankrit. Sankrit adalah bahasa suci bagi umat Hindu,
bukan Budha, yang mana juga menggunakan Sankrit di permulaan, yang tidak
bergantung padanya dalam cara yang sama. Persamaan menetapkan mutatis
mutandis dalam Kristen Vis-a Vis
dalam bahasa Ibrani dan Aramaic.
Dalam cahaya
analisis ini adalah mungkin lebih mudah untuk memahami apa peran bahasa Arab
dalam agama Islam. Seorang Persia
bisa menjadi seorang filosuf atau ilmuan Islam besar dan menulis dalam
bahasa Persia
karena telah sering ada dalam keadaan tersebut. Atau dalam faktanya dia dapat
mengarang puisi/syair Sufi dalam bahasa Persia
yang mana juga telah dilakukan terhadap tingkat tertentu bahwa syair sufi dalam
bahasa Persia
lebih kaya dalam bahasa Arab. Seorang Turki dapat mengatur lebih dari jutaan
umat muslim sebagai Sultan, dan akan tetapi tidak dapat berbicara dalam bahasa
arab sedikitpun sebagaimana masalah bagi
banyak negeri. Seorang muslim anak benua bangsa India
dapat menulis dalam ilmu hukum bahasa Arab dalam bahasa Persia, sebagaimana telah sering dibuktikan,
melebihi bangsa Persia
itu sendiri. Semua kasus ini adalah meligitimasi dan dalam pada kenyataannya
cukup alami karena bahasa percakapan dunia Arab hanyalah sebuah bagian dari
dunia Islam. Tapi baik orang islam Persia ataupun Turki begitupun India tidak
dapat berpartisipasi dalam barakah dari Kitab Suci dan menunjukan
ibadahnya seperti umat Islam jika dia harus menggunakan, katakanlah, Orang
Turki atau Persia dalam solatnya sehari-hari. Kemanjuran dan
peribadatan-peribadatan resmi, barzanji, doa-doa dan lain-lain tidak hanya terkandung
dalam isi tapi juga dalam banyak gaung dan bunyi-bunyi dari bahasa yang suci.
Agama bukanlah filsafat atau teologi yang ditujukan hanya untuk bidang mental
atau jiwa. Ia adalah sebuah metode pengintegrasian seluruh wujud kita termasuk
yang fisik dan ruhani. Bahasa suci melayani secara tepat sebagai sebuah sarana
ketentuan yang mana dengannya seseorang dapat datang bukan hanya untuk berpikir
tentang kebenaran suatu agama, yang mana hanya bagi orang dengan tipe mental
tertentu, tapi untuk melibatkan diri dengan seluruh wujudnya dalam sebuah norma
Ketuhanan. Kebenaran ini dapat diterima secara universal, dan secara khusus ia
dengan jelas dijelaskan dalam permasalahan pada al-qur’an yang memiliki rumusan
dan ayat yang memandu bagian-bagian kehidupan umat Islam dan yang memiliki
pengulangan secara berkelanjutan sekaligus memberikan seorang lelaki yang
dilindungi surga dalam kekacauan dari keberadaan duniawinya.
Banyak orang,
khsususnya non-Muslim, yang membaca al-Qur’an untuk pertama kali tertabrak oleh
apa-apa yang muncul seperti sebuah jenis ketidak mendasaran dari sudut pandang
manusia. Itu tidaklah seperti teks-teks mistik yang secara tinggi atau logika
sederhana ajaran Aristoteles, meskipun ia mengandung hal logis dan mistis. Ia
bukan hanya syair Qur’an meskipun ia adalah syair terhebat. Teks al-qur’an
mengungkap bahasa manusia yang ditundukkan oleh kekuatan Firman Tuhan. Ia
meskipun bahasa manusia yang terpencar ke dalam seribu fragmen seperti sebuah
gelombang yang dipencarkan ke titik-titik karang di laut. Seseorang merasakan
melalui efek perpencaran tadi tertinggal atas bahasa Al-Qur’an, kekuatan
Ketuhanan yang demikian murni. Al-Qur’an menampilkan bahasa manusia dengan
semua kelemahan yang inheren dalam bentuk penerimaan yang tiba-tiba dari
Firman Tuhan dan menampilkan kelemahannya sebelum sebuah kekuatan yang sangat
jauh lebih besar ketimbang yang orang dapat bayangkan.
Al-Qur’an,
sebagai kitab suci, tidak seharusnya dikomparasikan dengan bentuk
tulisan manusia apapun karena secara pasti ia merupakan sebuah pesan Tuhan (wahyu)
dalam bahasa manusia. Bukti ini memegang kebenaran sebagai mana kitab Injil,
yang mana harus dikaji ulang yang tidak hanya termasuk Kitab Injil tapi juga
Perjanjian Lama (taurat) dan kitab-kitab wahyu. Ada seseorang yang memandang, seperti dalam
al-Qur’an, sebuah elemen yang nampak tidak koheren. Tidak, ia bukanlah
teks suci yang tidak koheren. Orang itu sendirilah yang tidak koheren
dan ia mengambil banyak usaha baginya untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam
pusatnya sehingga pesan dari Kitab Ketuhanan akan menjadi jelas baginya dan
mengungkapkan kepadanya makna terdalamnya sendiri.
Semua
kesulitan dalam membaca al-qur’an dan usaha untuk mencapai maknanya merupakan
hal ketidak sepadanan antara pesan Tuhan dan manusia penerima, antara apa yang
Tuhan katakan dan apa yang manusia dapat dengar dalam sebuah bahasa yang mana
meskipun wujudnya sebuah bahasa yang suci,
meskipun, sebuah bahasa seseorang. Tapi ia adalah sebuah bahasa yang
suci karena Tuhan telah memilihnya sebagai alat komunikasi-Nya, dan Dia selalu
memilih untuk ‘berbicara’ dalam sebuah bahasa primordial (purba) dan
yang mengekspresikan kebenaran-kebenaran paling dalam dalam istilah-istilah
yang paling konkrit. Ia kemudian hanyalah bahasa suci yang mengembangkan sebuah
dimensi filosofis dan abstrak. Sebuah bahasa yang suci adalah mendalam dalam
kedalamannya dan biasanya sedikit maju ke permukaan sebagaimana dapat dilihat
dalam bahasa Arab Qur’ani. Setiap kata membawa sebuah makna dunia yang
terkandung di dalamnya dan tidak pernah ada sebuah kesempurnaan ‘horizontal’
dan keterangan atau penjelasan didaktik dalam isinya.
Karena, Al-Qur’an
mengandung tipe-tipe perbedaan pada judul (surat) dan ayat di dalamnya itu
sendiri, yang beberapa darinya merupakan didaktik dan bersifat keterangan.
Meskipun bukan di dalam sebuah pengertian yang mendalam, dan bagian syair
lainnya, biasanya pendek dan langsung pada permasalahan. Al-Qur’an merupakan
karangan dari sebuah kelimpahan dan saling keterkaitan pada tanaman kehidupan
seperti terlihat di sebuah hutan yang sering tiba-tiba di gabungkah dengan geometri,
simetris dan kemurnian dunia mineral (barang tambang), pada sebuah
kristal yang ada sebelum cahaya. Kunci pada seni Islami tersebut ada dalam
bukti kombinasi dari tanaman dan bentuk-bentuk mineral seperti yang
diinspirasikan oleh bentuk ungkapan al-Qur’an yang menampilkan karakter ini
dengan jelas. Beberapa ayat dan surat
yang diperpanjang seperti pengaraban yang kemudian diformulasikan dalam dunia
badaniah seperti dekorasi mesjid yang dikombinasikan dengan surat-surat aktual pada
al-Qur’an. Hal lainnya merupakan perkembangan yang cepat pada sejumlah gagasan
yang sangat jelas terexpresikan dalam sebuah bahasa yang lebih banyak geometris
dan simetris seperti terlihat secara particular dalam surat-surat kitab
suci pada bagian lebih lanjut.
Sekarang,
kekuatan Al-Qur’an tidak bersandar pada saat ia mengungkapkan sebuah fakta dan fenomena
historis. Ia bersandar dalam hal bahwa ia merupakan sebuah simbol yang
memiliki makna yang valid karena ia tidak hanya berkenaan dengan sebuah
bukti tertentu dalam sebuah masa saja tapi kebenaran-kebenaran yang merupakan
wujud dalam banyak hal-hal yang alamiah yang perennial (kekal). Sudah
pasti Al-Qur’an menyebutkan bukti-bukti penting seperti pendurhakaan umat tertentu
terhadap Tuhan dan pembalasan-Nya terhadap orang-orang tersebut seperti kita
lihat juga dalam Perjanjian Lama. Akan tetapi ‘bukti-bukti’ tersebut memelihara
kekuatan mereka karena mereka memperhatikan kita sebagai symbol-simbol realitas
yang selalu ada. Kemukjizatan al-Qur’an bersandar ada kepemilikan sebuah
bahasanya yang mana mempunyai kemujaraban dalam memindah jiwa-jiwa orang saat
ini, hampir sejak seribu empat ratusan lamanya sejak ia diwahyukan, sebanyak
itu pula ia lakukan pada permulaan kemunculannya di atas muka bumi. Seorang
muslim dipindahkan oleh al-Qur’an yang sangat terpercaya dan itu dikatakan
bahwa sebuah ujian keimanan seseorang (iman) baik itu dialihkan melalui
panggilan sholat (adhan) dan mengaji al-qur’an atau tidak. Kekuatan ini
bersandar dengan tepat dalam kealamiahanya sebagai simbol bukan bukti, sebagai simbol
dari sebuah kebenaran yang memperhatikan orang-orang di sini secara vital saat
ini.
Al-Qur’an
sebenarnya melahirkan Tiga nama dalam sumber-sumber tradisi Islam yang mana
menuangkan cahaya melalui kealamiahan dan ketetapannya. Kitab suci Islam yang
pertama ialah Al-qur’an, lalu Al’furqan dan terakhir adalah Umm-
al Kitab. Kitab yang pertama dari semuanya adalah al-Qur’an, yaitu
sebuah bacaan yang mana darinya nama-nama umum berasal. Ia juga Al-Furqan yaitu sebagai penjelas, pembeda; dan pada
akhirnya ia merupakan Umm al-kitab, induk dari semua kitab. Dalam tiga
sebutan ini seseorang menemukan kepentingan yang mendalam pada Kitab ini bagi
agama Islam. Ia merupakan sebuah bacaan dalam pengertian bahwa ia merupakan
sebuah sarana konsentrasi atas kebenaran karena ‘bacaan’ merupakan sebuah
pemusatan dimana di dalamnya ‘ide-ide’ dan ‘pikiran-pikiran’yang langsung
mengarah ekspresi pada sebuah akhir yang pasti. Sebagaimana al-Qur’an sebagai
kumpulan dari ‘gagasan’ dan ‘pemikiran’ yang mengarahkan kepada sebuah
konsentrasi atas kebenaran yang terkandung di dalamnya. Ia juga sebuah penjelas
atau pembeda dalam hal ini ia merupakan alat yang mana dengannya orang dapat
membedakan mana yang benar dan kebohongan, untuk membedakan antara yang nyata
dan tidak nyata, yang mutlak dan relatif, yang baik dan jahat, yang bagus dan
jelek.
Akhirnya
sebagai ‘Ibu dari Kitab-Kitab’ al-Qur’an adalah bentuk asli dari semua ‘kitab’,
yakni, seluruh pengetahuan. Dari sudut pandang Islami dari semua pengetahuan
terkandung di dalam esensi dalam al-Qur’an, pengetahuan tentang semua aturan
realitas. Tapi pengetahuan ini bersandar dalam al-Qur’an secara potensial atau
sebagai bibit dan dalam prinsip-prinsip, bukan secara kebenaran (yang nyata).
Al-Qur’an berisi tentang prinsip-prinsip dari semua ilmu tapi tidak
membicarakan kepada kita jumlah tanaman yang terdapat dalam benua tertentu atau
jumlah unsur yang ada dalam meja kimia. Ia tidaklah berguna dan dalam bukti
adalah mustahil untuk mencoba menemukan secara detail informasi ilmiah dalam
al-Qur’an sebagaimana telah dilakukan oleh Pengkritik modern tertentu pada
bidang itu, hal ini tak bermakna, sebagaimana usaha yang dibuat di Barat untuk
menghubungkan penemuan-penemuah ilmiah dengan teks Injil. Hingga pada suatu
waktu seseorang yang datang untuk menghubungkan penemuan-penemuan pada sebuah
ilmu tertentu dengan teks dari Kitab Suci, ilmu itu sendiri telah berubah dan
seseorang yang dihadapkan dengan situasi yang memalukan pada kepemilikan
hubungan sebuah pesan abadi dengan sebuah bentuk tempat yang sementara yang
pada kenyataannya tidaklah lebih lama untuk dipegang sebagai kebenaran. Apa
yang sungguh terkandung dalam al-Qur’an merupakan prinsip semua ilmu pengetahuan,
termasuk Kosmologi dan ilmu-ilmu alam. Tapi untuk memahami
prinsi-prinsip ini seseorang perlu untuk meresapi ke dalam makna dari kata ‘
Induk Kitab’ dan kemudian menemukan apa lahan dan dasar dari semua ilmu, bukan
pada isi ilmu itu secara detail.
Al-Qur’an
kemudian tidak hanya menjadi sumber pengetahuan dalam Islam baik yang berkaitan
dengan Metafisis dan Religius tapi bahkan juga dalam wilayah lapangan
pengetahuan tertentu. Peranannya lebih lagi dalam perkembangan Filsafat Islam
dan Filsafat Ilmu telah dipertimbangkan, meskipun sering disia-siakan oleh para
cendikiawan, yang mengatakan tidak pada masalah metafisis, moral dan
ilmu-ilmu hukum. Ia merupakan panduan sebagaimana takdir yang padanya semua
intelektual Muslim mencoba untuk mengambil tempat.
Al-Qur’an
mengandung tiga tipe pesan yang sangat esensial bagi semua orang. Yang
Pertama, ia mengandung sebuah pesan doktrinal, seperangkat doktrin yang
menguraikan pengetahuan dari struktur realitas dan posisi manusia di dalamnya.
Sebagaimana juga mengandung seperangkat petunjuk hukum dan moral yang merupakan
basis umat Islam yaitu Hukum Suci Muslim atau Shari’ah dan yang memperhatikan kehidupan manusia pada
tiap detailnya. Ia juga mengandung hal-hal metafisis tentang Alam Ketuhanan,
sebuah kosmologi yang memperhatikan struktur pada alam semesta dan wujud mahluk
yang berlipat-lipat, dan sebuah eskatologi tentang akhir tujuan manusia
dan hari akhirat. Ia terdiri dari sebuah doktrin tentang kehidupan manusia,
tentang sejarah, tentang eksistensi sebagaimana maknanya. Ia melahirkan semua
pelajaran yang perlu bagi manusia untuk mengetahui siapa dirinya, di mana dia,
dan kemana seharusnya dia pergi. Demikianlah ia merupakan sebuah landasan baik
tentang Hukum Ketuhanan dan pengetahuan metafisika.
Yang Kedua;
Al-Qur’an mengandung sebuah pesan yang muncul ke permukaan paling tidak seperti
apa yang terdapat sekumpulan buku sejarah. Ia mengulang cerita tentang
masyarakat, suku, raja, Nabi-Nabi dan ilmuan terdahulu, tentang cobaan-cobaan
mereka dan godaan-godaan mereka. Pesan ini pada esensinya sebuah catatan dalam
istilah sejarah tapi dialamatkan untuk jiwa manusia. Ia melukiskan jiwa manusia
dalam sebuah istilah tentang ceritera orang-orang yang telah lewat yang tidak
hanya benar menurut orang-orang dan juga waktu tapi pada perhatian terhadap
jiwa disini dan sekarang.
Apakah
al-qur’an memperhatikan hanya pada suku yang tersesat di Kawasan Arabs saja,
berabad-abad sebelum kelahiran Isa, itu tidak akan bisa mampu untuk menyerang
kita dan menampakan kepada kita sebagai ketepatan kepemilikan dan aktualitas.
Tapi setiap kejadian diceritakan ulang setiap mahluk, setiap suku, setiap ras
yang melahirkan sebuah makna esensial yang memperhatikan kita. Kaum pendusta
atau pembohong (munafik) yang membagi orang dan menyebarkan kebohongan
dalam masalah yang berkaitan dengan agama juga ada dalam jiwa setiap orang,
sebagaimana orang itu juga telah tersesat, atau dia yang mengikuti ‘jalan yang
lurus’ atau dia yang dihukum oleh Tuhan diberi pahala oleh-Nya. Semua pelaku
pada panggung sejarah suci dicatat dalam al-Qur’an sebagaimana juga simbol-simbol
pasukan yang ada dalam jiwa setiap orang. Al Qur’an kemudian sebagai sebagai
sebuah penjelasan atau uraian pada percobaan keberadaan seseorang. Ia merupakan
sebuah kitab yang memiliki bacaan yang mengungkapkan kepentingan pada kehidupan
manusia yang dimulai dengan kelahiran dan diakhiri dengan kematian, mulai dari
Tuhan dan kembali kepada-Nya.