Istilah
HAM pada masa sejarah awal Islam belum dikenal secara luas. Seiring dengan
ekspansi wilayah oleh umat muslim maka semakin luas pulalah wilayah territorial
Islam. Pada gilirannya, akan banyak penganut ajaran / agama yang berada di
wilayah kekuasaan Islam. Dalam system pemerintahan permulaan Islam, mereka yang
tidak mau memeluk agama Islam disebut zimmi. Istilah ini merupakan
modifikasi dari kata jiwar, yaitu sebutan tradisi orang araab untuk
memberikan perlindungan terhadap pihak asing.
Hak
Asasi Manusia (huququl insan al-asasiyah) dideklarasikan pada abad 15 H,
dengan sebuah perjanjian yang ditanda tangani di Perancis yang dikenal dengan Universal
Islamic Declaration of Human Rights, tepatnya di kota Paris tahun 1981. secara
terminologis HAM merupakan fenomena baru yang muncul ke permukaan. Beberapa
pihak mereferensikan istilah ini dari code of law yang dilahirkan oleh
pemerintahan Babylonian King Hammurabi (2130-2088 S.M). Bukti sejarah yang
paling awal menyampaikan kepada kita adalah Aturan-aturan Republik Roma
yang memberi hak kepada warga negaranya untuk berpartisipasi dalam hukum,
termasuk membuat dan memilih petugas-petugas Negara. Yang paling akhir adalah droits
de I’llhome yang dirumuskan para pemikir Prancis pada awal masa modern.
Secara positif; tujuan HAM adalah ingin menundukan manusia sebagaimana mestinya
dengan memberikan hak-hak dasarnya tanpa membedakan suku, bangsa, warna kulit,
jenis kelamin, dan agama. Seiring dengan banyaknya perhatian kalangan terhadap isu
HAM, namun hal ini ternyata tidak mengurangi jumlah tingkat pelanggaran
kekerasan yang ada, bahkan cenderung meningkat.
Permasalahanya,
dalam isu ini barat mengkaitkan masalah pelanggaran HAM dengan Islam. Ann
Elizabeth Mayer, yang menulis hubungan pelanggaran HAM dengan Islamisasi di
wilayah Pakistan , Iran dan Sudan. Menurutnya program Islamisasi yang
dicanangkan di tiga wilayah tersebut tidak merubah keadaan menjadi lebih baik
dari sebelumnya. Namun secara positif ia memperingatkan masyarakat Islam bahwa
pelanggaran HAM bias merajalela di tengah masyarakat dimana penguasanya
mengklaim mendasarkan pada ajaran Islam. Dalam hal ini Islam hanya dijadikan
topeng atas kebobrokan system pemerintahannya.
Gambaran
masyarakat minoritas Non-muslim yang tinggal dalam wilayah kekuasaan umat Islam
dijadikan topic utama sebagai serangan terhadap pelanggaran HAM oleh Barat
terhadap Islam. Jacques Ellul, dalam karyanya Bat Ye’or, The Dhimmi,
posisi zimmi sama saja dengan pekerja kasar di bangsa Eropa pada zaman pertengahan.
Status pekerja kasar berubah denga kondisi sejarah yang makin maju, sedangkan
menurutnya zimmi sangatlah berbeda. Ia merupakan satu realisasi dari
ajaran agama dalam melihat dunia ini. Menurutnya pula zimmi merupakan
perwujudan dari pandangan teologi Islam yang bersifat absolut/ mutlak yang
merupakan keharusan yang harus diwujudkan dalam kehidupan.
Pengertian
zimmi itu sendiri mengandung beberapa perbedaan pandangan diantara
kalangan cendikiawan muslim. Al-Razi berpendapat bahwa zimmi
hanya terbatas pada ahli kitab. Zamakhsyari berpendapat bahwa
ayat laa ikraha fi al-din diberlakukan bukan hanya kepada ahli kitab
tapi juga kepada semua non muslim. Pendapatnya mendapat dukungan dari Sachedina.
Muhammed Talbi (Tunisia) mengemukakan analisis yang lebih berbeda lagi tentang
masalah keyakinan untuk menerima dan menolak Islam adalah merupakan hak
individu, karena itu adalah fitrah. Pemaksaan hanya akan dilakukan oleh mereka
yang tidak memahami secara betul keyakinannya itu sendiri. Jadi tidak ada alas
an untuk membatasi zimmi hanya pada ahli kitab dan semua
non-Muslim tidak bisa dipaksa untuk melepaskan keyakinan mereka untuk
diperangi. Nurkholis Madjid yang
mengutip pendapat ‘Abdul Hamid Hakim, seorang pembaharu dari padang
panjang, mengatakan bahwa ahli kitab tidak hanya mencakup pengikut agama
Kristen, Yahudi, atau Majusi seperti yang disebut dalam hadis Nabi, namun juga
meliputi agama yang memiliki kitab suci, seperti Hindu, Budha, Cina, Jepang
dll.
Beberapa
hal yang menjadi perbandingan tentang kegelisahan pandangannya terhadap
kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah Timur Tengah. Ia mengungkap
beberapa contoh yang sangat-sangat jelas menyalahi konsep pelanggaran terhadap
HAM. Diantaranya; kasus pelarangan perempuan yang mengemudi mobil yang
diberlakukan oleh pemerintah Saudi. Bahkan, pemerintah melalui mutawwa
melakukan penangkapan terhadap mereka yang berdemonstrasi di sepanjang
jalan-jalan Riyadh. Melalui pemegang wilayah keamanan tertinggi mereka yaitu
Syeikh Abd al- Aziz bin Baz menjustifikasi pelarangan tersebut
didasarkan pada concern umum di dalam hukum Islam untuk menjaga moralitas dan
menghindari situasi yang dapat mendorong kepada perbuatan asusila. Usaha untuk
mendeskriditkan para pemrotes dikutuk sebagai 'tidak Islami'. Dan perempuan
tersebut dicap sebagai 'murtad' dan sebagai pendukung perbuatan asusila
yang merupakan bagian dari konspirasi Amerika mensekulerisasikan Saudi Arabia.
Bagi mereka julukan 'simpatisan Amerika' dan 'sekuleris Amerika yang
najis'.
Lain
halnya dengan Saudi Arabia, di Yordania, kasus ini terjadi manakala Tujan
al-Faysal mengemukakan tuntutan hak kesetaraan bagi kaum perempuan dan
menyerang gagasan kalangan konservatif Islam. Bagi kalangan konservatif Islam
saat itu dia mendapat kutukan atas segala tindakan tuntutannya. Mereka, melalui
pengadilan syari'ah mengajukan hukuman baginya sebagai orang murtad yang tidak
diberi hak membebaskan diri dari hukuman mati melalui pertobatan. Sebagai
akibat dari tindakanya, halal bagi setiap muslim untuk membunuhnya, diceraikan
dari suaminya, dipisahkan dari anak dan keluarganya.
Di
Mesir, pada 15 April 1991, sebuah organisasi yang mengatas namakan hak asasi
manusia, yaitu The Arab Women's Solidarity Association (AWSA),
dibubarkan oleh pemerintah melalui sebuah keputusan administratif. Hal ini
diberlakukan setelah mereka mengemukakan gagasan persamaan status perempuan dan
laki-laki dalam berbagai bidang. Konsekuensinya, semua aset organisasi tersebut
di transfer ke organisasi perempuan yang lain.
Di
Libya, Muammar Qadafi, seorang diktator kiri melalui hukum Libya tidak
memberikan perlindungan bagi kebebasan beragama. Ia memenjarakan dan
mengeksekusi kalangan muslim fundamentalis yang menentangnya. Menuduh mereka
dengan tuduhan murtad dan zindiq. Dengan begitu dia mengutuk penentang
politiknya yang dia anaiaya sebagai Zindiq. Begitupu yang terjadi di
Sudan, seorang wakil dari regim fundamentalis radikal sedang berusaha
menjustifikasi sebuah hukum yang memberlakukan hukuman mati bagi mereka yang
murtad atas dasar bahwa perbuatan itu sam dengan perbuatan melawan Negara.
Melalui
bukti-bukti yang di kemukakan oleh Meyer diatas, dia berfokus pada
masalah perempuan dan kebebasan beragama. Adapun hal yang menurutnya layak
diperdebatkan adalah mengenai bagaimana hukum Islam harus diinterprestasikan
atau diaplikasikan, tetap relevan untuk berbagai dimensi pemikiran Islam
kontemporer; tetapi tidak perlu harus memahami berbagai seluk beluk doktrin Islam
untuk mengerti kapan hak-hak dan kebebasan tidak dapat dibiarkan direbut dari
tangan kaum muslim. Yang diperlukan adalah rasa keadilan dan empati bagi mereka
yang menderita.
Persepsi Islam Terhadap Hak Asasi Manusia
Terkait
dengan pembahasan HAM dalam perspektif Islam dan Barat (sekuler) memiliki
beberapa perbedaan yang sangat mendasar. Dalam perspektif Islam, syaria'at
memberikan garis pemisah yang jelas antara huquq Allah dan huquq al
–ibad. Hak Allah adalah merupakan kewajiban yang dicanangkan bagi tiap
manusia untuk dilaksanakan. Hal ini sebagai manifestasi dari pengakuan atas
Kemahakuasaan, Keesaan dan Keunikan-Nya. Hak manusia merupakan anugerah Tuhan
kepada-Nya yang kelak akan kembali. Dalam hal ini sifat Hak Asasi Manusia
bersifat teosentris. Artinya, yaitu hak yang bertujuan dan bersumber dari
Tuhan. Sekuler, memandang HAM hanya
bersifat pada hubungan manusia itu sendiri yang diperoleh sebagai produk
alamiah sejak lahir. Dengan demikian HAM sekuler bersifat antroposentris yakni
hanya terfokus hanya pada manusia itu sendiri. [1]
Islam,
dalam mengekspresikan kebebasan manusia menempatkannya dalam konsep keadilan.
Konsep keadilan ini sudah dijelaskan dalam surat potongan ayat 8 dari surat Al-
Maidah yang artinya berbunyi " … dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berbuat tidak adil".[2]
Dengan demikian keadilan yang tercermin dalam ajaran Islam berlaku bagi semua
jenis golongan dan penganut agama yang berbeda. Implikasinya, masyarakat non
muslim minoritas yang tinggal dalam wilayah mayoritas muslim harus akan
mendapatkan perlakuan keadilan yang sama dengan muslim itu sendiri. Ibnu
Taimiyah dalam pandangannya tentang kenegaraan Islam mengatakan bahwa "sungguh
saling berkelindan; tanpa kekuasaan Negara yang bersifat memaksa, agama berada
dalam bahaya. Tanpa disiplin wahyu, Negara pasti menjadi sebuah organisasi yang
tiranik."[3] ia
juga menambahkan "melihat tegaknya sebuah keadilan berarti melaksanakan
perintah dan menghindar dari kejahatan dan kemasyarakatan tauhid serta
mempersiapkan munculnya sebuah masyarakat yang hanya mengabdi kepada Allah."[4]
Terkait
dengan keberadaan HAM (Hak Asasi Manusia), seharusnyan kita juga berpikir
tentang keberadaan KAM (Kewajiban Asasi Manusia).[5]
Karena secara kausal dimana ada hak pasti ada kewajiban. Hak ialah sesuatu yang
diterima, sedangkan dan kewajiban adalah sesuatu yang diberikan, baik kepada
orang lain, masyarakat, maupun dalam bentuk bakti kepada Tuhan (Allah).
Hubungan keduanya amatlah erat dan tidak dapat dipisahkan. Jadi, manakah yang
harus didahulukan antara hak dan kewajiban. Dalam perspektif ajaran Islam,
kewajiban lebih diutamakan sebelum memperoleh hak. Contohnya; seorang yang
hendak solat (berdoa) maka ia wajib berwudlu. Dalam kehidupan sehari-hari;
orang yang mau naik kereta api harus membeli tiket terlebih dahulu.
Adapun, perlakuan kebebasan beragama dan perlakuan terhadap muslim
telah jelas diatur dalam pasal-pasal yang disepakati pada deklarasi HAM Islam
yang ditanda tangani pada bulan September 1981 di Paris, pada permulaan abad 15
era Islam, yang mana telah disepakati oleh para sarjana muslim, ahli hukum, dan
para perwakilan pergerakan Islam seluruh dunia. Isi dari pasal-pasal perjanjian
tersebut didasarkan pada Kitab suci Al-Qur'an dan As-Sunnah. Jadi, sudah jelas
bahwa Islam sangat menjamin akan terlaksanannya keadilan bagi seluruh umat
manusia.
Deklarasi HAM Islam sedunia itu sendiri dari dari pembukaan dan 22 macam pasal hak-hak asasi manusia yang harus ditegakkan dalam setiap pemerintahan diwilayah atau Negara-negara Islam. Diantara pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Deklarasi HAM Islam sedunia itu sendiri dari dari pembukaan dan 22 macam pasal hak-hak asasi manusia yang harus ditegakkan dalam setiap pemerintahan diwilayah atau Negara-negara Islam. Diantara pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
1 Hak Hidup
2. Hak Kemerdekaan
3. Hak Persamaan dan Larangan terhadap Adanya Diskriminasi yang Tidak Terizinkan
4. Hak Mendapat Keadilan
5. Hak Mendapatkan Proses Hukum yang Adil
6. Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyalahgunaan Kekuasaan
7. Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyiksaan
8. Hak Mendapatkan Perlindungan atau Kehormatan dan Nama Baik
9. Hak Memperoleh Suaka (Asylum)
10. Hak-hak Minoritas
11. Hak dan Kewajiban untuk Berpartisipasi dalam Pelaksanaan dan Manajemen Urusan-urusan Publik
12. Hak Kebebasan Percaya, Berpikir, dan Berbicara
13. Hak Kebebasan Beragama
14. Hak Berserikat Bebas
15. Hak Ekonomi dan Hak Berkembang Darinya
16. Hak Mendapatkan Perlindungan atas Harta Benda
17. Hak Status dan Martabat Pekerja dan Buruh
18. Hak Membentuk Sebuah Keluarga dan Masalah-masalahnya
19. Hak-hak Wanita yang Sudah Menikah.
20. Hak Mendapatkan Pendidikan
21. Hak Menikmati Keleluasaan Pribadi (Privacy)
22. Hak Mendapatkan Kebebasan Berpindah dan Bertempat Tinggal
2. Hak Kemerdekaan
3. Hak Persamaan dan Larangan terhadap Adanya Diskriminasi yang Tidak Terizinkan
4. Hak Mendapat Keadilan
5. Hak Mendapatkan Proses Hukum yang Adil
6. Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyalahgunaan Kekuasaan
7. Hak Mendapatkan Perlindungan dari Penyiksaan
8. Hak Mendapatkan Perlindungan atau Kehormatan dan Nama Baik
9. Hak Memperoleh Suaka (Asylum)
10. Hak-hak Minoritas
11. Hak dan Kewajiban untuk Berpartisipasi dalam Pelaksanaan dan Manajemen Urusan-urusan Publik
12. Hak Kebebasan Percaya, Berpikir, dan Berbicara
13. Hak Kebebasan Beragama
14. Hak Berserikat Bebas
15. Hak Ekonomi dan Hak Berkembang Darinya
16. Hak Mendapatkan Perlindungan atas Harta Benda
17. Hak Status dan Martabat Pekerja dan Buruh
18. Hak Membentuk Sebuah Keluarga dan Masalah-masalahnya
19. Hak-hak Wanita yang Sudah Menikah.
20. Hak Mendapatkan Pendidikan
21. Hak Menikmati Keleluasaan Pribadi (Privacy)
22. Hak Mendapatkan Kebebasan Berpindah dan Bertempat Tinggal
Secara universal
Islam sudah lengkap memberikan jalan petunjuk bagi terselenggarannya sebuah
konsep keadilan disetiap pemerintahan yang berlaku. Adapun permasalahan terkait
dengan penyelewengan pasal-pasal yang sudah ditanda tangani diatas adalah
merupakan bentuk kelemahan pimpinan yang bersifat personal. Ini tidak bisa
sepenuhnya dikaitkan dengan ajaran Islam. Hal yang terjadi pada kasus-kasus
penyalah gunaan hak di wilayah timur tengah seperti yang ditulis oleh Ann
Elizabeth Mayer. Menurut penulis, konsep ajaran ukhuwah Islamiyah bagi umat
Islam sudah menjadi pengikat untuk terciptanya masyarakat yang adil.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Dr. Alwi
Shihab dkk, Islam Inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama,
(Bandung: Mizan, 1998), hal 179.
·
Al-Qur'and
dan Terjemahan, Depag RI,
·
Dr. Khalid Ibrahim
Jindan, Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiyah Tentang
Pemerintahan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hal 57.
Majalah Mimbar, Edisi October, 2004.
[1] Dr. Alwi
Shihab dkk, Islam Inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama,
(Bandung: Mizan, 1998), hal 179.
[2]
Al-Qur'and dan Terjemahan, Depag
RI,
[3] Dr.
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiyah
Tentang Pemerintahan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hal 57.
[4] Ibid,
hal 57.
[5] Majalah
Mimbar, Edisi October, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar