MODEL
PENELITIAN FIQIH (Fatwa-Fatwa MUI) ATHO’ MUDZHAR*
Sebuah Studi
Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia tahun 1975-1988
*oleh: Ben
Ra Vika
A.
Pendahuluan
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang secara legalitas mendapat pengakuan
dari negara, mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mengeluarkan
kebijakannya sebagai dewan fatwa dan pemberi nasehat baik kepada masyarakat
maupun terhadap kelancaran program pemerintah. Sejak awal berdiri hingga saat ini MUI telah mengeluarkan beberapa fatwa. Fatwa-fatwa tersebut menyangkut banyak hal,
seperti bidang agama, sosial, dan persoalan ilmiah lainnya.
Ragam fatwa yang dikeluarkan di atas tidak semuanya laris manis
diterima masyarakat. Tidak semua fatwa MUI selaras dengan masyarakat dan
kebijakan pemerintah, terkadang juga yang menimbulkan polemik di masyarakat
bahkan dalam tubuh MUI sendiri. Fatwa tentang larangan menghadiri perayaan
Natal bagi kaum Muslimin dan penggunaan alat kontrasepsi dalam keluarga
berencana pernah menjadi permasalahan yang cukup rumit saat itu. Hamka yang
ketika itu selaku ketua umum MUI harus bergulat dengan pemerintah.
Karena pemerintah saat itu mengangggap dengan adanya fatwa di atas,
dapat mengahalangi kelancaran terwujudnya Keluarga Berencana (KB) di Indonesia.
Polemik yang berkepanjangan tidak jarang menimbulkan kontroversi, sehingga
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti, seberapa jauh fatwa-fatwa tersebut
absah dari segi hukum Islam, dan adakah factor-faktor sosial politik ikut
melatarbelakangi lahirnya fatwa-fatwa itu?.
Terlepas dari beberapa polemik yang muncul dari lahirnya
fatwa-fatwa MUI, hal itu tidak bisa menghilangkan fungsi dan tanggung jawab MUI
sebagai badan atau lembaga yang dibentuk oleh negara yang bertujuan untuk
mengeluarkan atau menyuarakan fatwa-fatwa. Fatwa-fatwa tersebut terkategorikan
dalam urusan pernikahan, bisnis, warisan, sholat dan sebagainya.
Persoalan di atas menjadi perhatian Atho Mudzhar untuk meneliti dan
menganalisis bagaimana metodologi dan lingkungan sosio-politik dan kebudayaan
yang mengitarinya. Karena jika dicermati, jelaslah bahwa fatwa-fatwa itu
berbeda satu sama lain dalam sifatnya pada kedua tingakatan analisis tersebut.
B.
Biografi singkat Atho Mudzhar
Atho Mudzhar lahir di Serang, Jawa Barat pada 20
oktober 1948. Menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1961 dan meneruskan ke
Pendidikan Guru Agama selama 6 tahun di Serang hingga tahun 1966. Selanjutnya
ia melanjutkan studi di IAIN Jakarta sebagai mahasiswa tugas belajar dari
departemen agama, tamat tahun 1975. Program magisternya ditempuh di Brisbane,
Australia melalui bantuan beasiswa Colombo Plan, dengan orientasi studi Master
of Social and Development pada tahun 1978. Adapun gelar Doctoralnya
diperoleh di University of California Los Angeles (UCLA) pada tahun
1990.
Beberapa buku-bukunya yang telah dipublikasikan antara
lain: Belajar Islam di Amerika (1991) dan Fatwa Majlis Ulama
Indonesia (edisi dwi bahasa: indonesia dan Inggris, 1993) yang berasal dari
disertasi doktoralnya berjudul: “Fatwas of the Council of Indonesian
Ulama: A Study of Islamic Legal Thought
in Indonesia 1975-1988”.
C.
Kegelisahan Akademik
Islam
biasanya didefinisikan sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW untuk kebahagiaan dan keselamatan hidup umat manusia di dunia dan akhirat.
Sebagai wahyu Islam berarti ajaran dan sebagai ajaran berarti Islam sebagai
gejala budaya. Ketika seseorang mempelajari bagaimana ajaran Islam tentang
salat, puasa, zakat, haji, tentang konsep keesaan Allah, tentang argumen adanya
tuhan, tentang Jabariyah dan Qadariyah, tentang arti dan tafsir kitab suci,
tentang riba, tentang aturan etika dan nilai moral dalam Islam, berarti ia
sedang mempelajari Islam sebagai gejala budaya.
Ketika Islam dilihat sebagai gejala budaya, maka metodologi yang
digunakan adalah metode penelitian budaya seperti filsafat, sejarah, studi
naskah dan arkeologi serta ilmu lainnya. Lalu, ketika Islam dilihat sebagai
gejala sosial maka metodologi yang digunakan adalah metode penelitian ilmu-ilmu
sosial. Atau dapat pula suatu studi Islam mencoba melihat suatu gejala Islam
sebagai gejala budaya dan sosial sekaligus. Studi tentang fatwa-fatwa dilihat
sebagai studi menggabungkan melihat Islam sebagai gejala budaya dan sosial
sekaligus. Ketika studi itu membahas dalil-dalil naqli suatu fatwa dan
pembahasan masalah itu dalam kitab-kitab fikih berarti sedang melihat fatwa
sebagai gejala budaya. Dan manakala studi
itu membahas faktor-faktor sosial politik yang mempengaruhi penafsiran para
ulama tentang dalil-dalil tersebut berarti sedang melihat Islam sebagai gejala
sosial.
Atho Mudzhar secara sistematis membagi wilayah
permasalahan fatwa MUI ini dalam dua aspek: pertama, bagaimana fatwa-fatwa MUI
itu dirumuskan secara metodologis; dan kedua, faktor-faktor sosial politik, dan
kultural apa yang melatar belakangi lahirnya fatwa-fatwa MUI itu, dan bagaimana
dampak fatwa itu terhadap masyarakat. Selain itu, Apa
substansi yang terkandung bersama dengan lahirnya fatwa-fatwa Majlis Ulama
Indonesia?
D.
Pentingnya
Topik Penelitian
Penelitian ini mengandung signifkansi pada pemahaman
tentang latar belakang lahirnya fatwa-fatwa MUI. Terkait dengan kelembagaan MUI
yang dibentuk oleh pemerintah, yang bertugas mengeluarkan fatwa hukum Islam
maka ini akan menarik untuk diteliti sejauh mana pengaruh sosio-politik
kultural yang ada dalam masyarakat.
Sebagaimana diketahui pula bahwa Hukum Islam, sejauh ia berhubungan dengan
manusia, sesungguhnya
merupakan produk sejarah kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian maka dapat dikatakan
bahwa setiap pemikiran hukum Islam pada hakekatnya juga merupakan hasil dari
adanya interaksi antara si pemikir hukum Islam—baik berupa individu ataupun
institusi formal – dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik di mana
pemikiran itu dihasilkan.
E.
Kerangka
Teori
Syarat utama dalam melakukan penelitian
baik tesis, disertasi ataupun lainnya adalah penguasaan metodologi. Tanpa
penguasaan metodologi ilmiah yang memadai, dapat dipastikan penelitian itu
gagal. Begitupun Atho Mudzhar ketika hendak melakukan penelitan fatwa-fatwa
Majlis Ulama Indonesia. Dia membaca hasil-hasil penelitan sebelumnya yang
dinilai terbaik. Dia juga membaca buku-buku sosiologi seperti The Coming
Crisis of Western Sociology oleh Gouldner, buku tentang teori konflik
sosial oleh Lewis Coser, Teori tentang Organisasi oleh Olson, Tentang Perubahan
Sosial oleh Emitai Etizoni, Metode-metode Penelitian Masyarakat oleh
Koentjaraningrat, dan buku The Discovery of Grounded Theory oleh Barney
G.Glazer dan Anzelm Strauss.
Dalam penelitannya tentang fatwa-fatwa MUI mulai tahun 1975-1988, Atho
Mudzhar melihat bahwa metodologi fatwa-fatwa itu tidak mengikuti suatu pola
tertentu. Beberapa fatwa berawal dengan dalil-dalil menurut Al-Qur’an sebelum
melacak hadis-hadis yang bersangkutan atau menunjuk pada naskah-naskah fiqih.
Fatwa lainnya mengenai masalah yang dibicarakan tanpa mempelajari terlebih
dahulu ayat-ayat al-Qur’an atu hadis-hadis yang bersangkutan. Bahkan ada
sejumlah fakta, bahwa beberapa fatwa kecil yang bahkan tidak mengemukakan dalil
sama sekali, baik yang berdasarkan naskah maupun yang menurut akal sama sekali;
ia langsung saja menyatakan isi fatwa.
Secara teori, MUI secara mendalam mempelajari keempat sumber hukum Islam:
al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas, demikian menurut urutan tingkat wewenangnya
menurut madzhab Syafi’ie. Tetapi dalam praktik, prosedur metodologis tersebut
tidak sepenuhnya diberlakukan. Disamping terkait dengan persoalan teknis
metodologis, ternyata perumusan fatwa-fatwa MUI senantiasa terikat oleh
beberapa faktor yang bersifat politis.
Beberapa fatwa hanya terikat pada satu faktor, tetapi ada pula yang terikat
pada gabungan beberapa faktor, sehingga sering mempersukar dalam menentukan
faktor mana yang dianggap paling berpengaruh.
Faktor pertama; adalah kecenderungan perumusan fatwa-fatwa untuk
membantu kebijakan pemerintah. Fatwa tentang peternakan kodok, daging kelinci,
pemotongan hewan dengan mesin dan keluarga berencana telah menunjukkan sifat
dukungan fatwa-fatwa tersebut membantu kebijakan-kebijakan pemerintah. Yang
lebih menarik pun dalam hal ini adalah bahwa soal ibudah pun dapat dikatakan
sedikit banyak telah dipengaruhi oleh keinginan untuk membantu kebijakan
pemerintah. Contohnya adalah fatwa tentang berlakuny Jeddah dan bandar udara
Raja ‘Abdul Aziz sebagai tempat mi’qat bagi para jamaah haji indonesia. Namun
demikian bukan berarti keinginan untuk mendukung kebijakan pemerintah itu
tidaklah berarti bahwa fatwa-fatwa tersebut tidak berdasarkan keagamaan.
Faktor kedua, keinginan untuk menghadapi tantangan dan menjawab
persoalan-persoalan zaman moderen. Banyak fatwa-fatwa yang menunjukkan telah
disusun sedemikian rupa untuk mengatasi perkembangan-perkembangan moderen.
Fatwa yang membolehkan sumbangan kornea mata dan pencangkokan jantung adalah
fatwa-fatwa yang mencoba menaggapi perkembangan moderen dalam bidang
kedokteran. Dan ini bisa juga dicatat bahwa beberapa fatwa bahkan menunjukkan kemajuan dalam menerapkan cara
berpikir menurut hukum agama, sebagaimana ditunjukkan sewaktu-waktu dengan
kesediaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh badan sekuler,
parlemen, mengungguli pandangan naskah fiqih baku.
Selain itu ada beberapa fatwa yang menyimpang dari ikatan pada pandangan
ajaran syafi’i dan empat madzhab sunni yang berlaku, untuk kemudian menerima
pandangan mazhab Zahiri yang umumnya tidak diakui, seperti halnya dalam
persoalan sholat jumat bagi orang-orang yang dalam perjalanan dan soal mi’qat.
Akan tetapi harus diingat pula, bahwa gambaran yang demikian itu bukanlah hal
yang berlaku umum. Gambaran utama fatwa itu masih dikuasai oleh pandangan
syafi’i. Hal ini dilihat dari penunjukkan karya-karya syafi’i sebagai rujukan
seperti syarh al-muhazzab dari an-Nawawi dan fath al-wahhab dari
al-Ansari mendapat prioritas utama dari lainnya. Tuhfat al-muhtaj dari ibn
Hajar al Haitami dan I’anat at-Talibin dari Sayyid Bakri ad-Dimyati
menyusul kemudian. Sedangkan karya Syafi’i sendiri, Al-Umm, jarang
sekali dipergunakan dibandingkan dengan susunan rujukan Nahdlatul Ulama yang
memberika prioritas pandangan pandangan ar-Rafi’i bersama dengan pandangan
an-Nawawi, kehadiran an-Nawai maupun al-ansari bersama sebagai pengganti
ar-Rafi’i menunjukkan bahwa Komisi Fatwa MUI tidaklah dikuasai oleh para ulama
Nahdlatull Ulama.
Faktor ketiga, ialah hubungan antaragama. Terbukti bahwa perumusan
beberapa fatwa telah dipengaruhi oleh persaingan sejak lama dan saling tidak
percaya antar umat Islam dan kaum Kristen di negeri ini. Maka, tidak heran pula
untuk menjelasakan fatwa tentang larangan menghadiri perayaan natal telah
dipengaruhi oleh masalah persaingan antar golongan antar agama. Persaingan itu
sangat kuat hingga bertentangan dengan pemerintah mengenai masalah tersebut.
Selain itu juga fatwa-fatwa tentang pernikahan dengan non-muslim. Dari
fatwa-fatwa tersebut nampaknya terdapat keinginan untuk memelihara hubungan
baik dengan pemerintah dan kewaspadaan terhadap ancaman kristenisasi. Fatwa
yang melarang kaum muslimin hadir pada perayaan natal adalah salah satu contoh
yang jelas di mana MUI telah berani mengambil risiko untuk tidak sepakat dengan
pemerintah demi menghadapi ancaman kristenisasi.
Faktor keempat, adanya hasrat keinginan untuk menjawab
tantangan-tantangan zmaan modern. Di dalam MUI sendiri terdapat oknum-oknum
progresif yang termasuk dalam keanggotaan komisi fatwa. Akan tetapi kedudukan
oknum-oknum progresif itu tidaklah kuat untuk memasuki dinamika yang lebih
besar ke tubuh komisi fatwa dalam pelaksanaan pemikiran hukum Islam.yang
demikian sebagian adalah akibat keterikatan kuat yang berkelanjutan dari
sebagian besar anggota komisi pada mazhab syafi’i disebabkan oleh pendidikan
tradisional modern hanya sebagian kecil saja.
Mengenai
peranan fatwa dalam masyarakat, orang dapat mencatat bahwa kebanyakan fatwa
telah dikeluarkan sebagai tanggapan atas keprihatinan umum pada sesuatu atau
atas pertanyaan pemerintah atau badan-badan lainnya. Ini berarti bahwa
pemilihan persoalan yang diberika fatwanya itu telah dilakukan sedemikian rupa
sehingga fatwa-fatwa itu menyangkut masyarakat luas.
Berdasarkan
tipologinya, ada lima golongan fatwa sepanjang menyangkut reaksi masyarakat.
1.
Pertama, fatwa yang tersiar luas dan tidak
menimbulkan pertentangan. Fatwa-fatwa ini terkait dengan soal kebudayaan
termasuk dalam golongan ini: izin untuk pertunjukan film Adam and Eve,
larangan pembacaan secara keliru ayat-ayat al-Qur’an dalam lagu-lagu.
2.
Kedua,
fatwa-fatwa yang tidak mendapat penyebaran secara luas atau tidak juga
memperoleh reaksi banyak dari masyarakat; fatwa itu disambut oleh kaum muslimin
tanpa menimbulkan perhatian. Termasuk dalam hal ini adalah fatwa sholat jumat
dalam perjalanan.
3.
Ketiga,
fatwa-fatwa yang cukup tersiar luas dan telah menimbulkan pertentangan di
kalangan masyarakat Islam, sedangkan pemerintah tetap bersikap netral. Termasuk
dalam hal ini; fatwa mengenai peternakan kodok dan makan daging kodok.
4.
Keempat, fatwa-fatwa yang tersiar secara luas
tetapi hanya menimbulkan sedikit pertentangan, sedangkan pemerintah
menyambutnya dengan baik. Dalam hal ini, adalah fatwa tentang miqat dan tentang
Keluarga Berencana.
5.
Kelima, fatwa-fatwa yang tersiar secara luas
dana telah menimbulkan banyak pertentangan, sedangkan pemerintah tidak menyukai
fatwa itu. Fatwa yang paling menonjol dari golongan ini adalah fatwa mengenai
kehadiran orang Islam pada perayaan natal.
Maka,
secara umum bisa dikatakan bahwa fatwa-fatwa MUI adalah hasil dari seperangkat
keadaan sosial budaya dan sosial politik, yang kebijakan pemerintah merupakan
bagian di dalamnya. Akan tetapi tingkat dampak fatwa-fatwa pada masyarakat
tidak sama dengan tingkat pengaruh pemerintah, baik secara negatif maupun
positif. Fatwa tentang izin untuk menggunakan IUD dalam Keluarga Berencana yang
sangat dipengaruhi kebijakan pemerintah boleh jadi mempunyai pengaruh yang sama
seperti fatwa tentang larangan bagi kaum muslimin untuk menghadiri perayaan
natal, yang bebas dari pengaruh pemerintah atau bahkan berlawanan dengan
kebijaksanaan pemerintah.
F.
Pendekatan
Penelitian
Dalam penelitian yang dilakukan
Atho’ Mudzhar ini, ia menggunakankan pendekatan sosiologi. Selain itu Atho Mudzhar jugan menggunakan dua metode. Pertama,
deskriptif-eksploratif yaitu sebuah penelitian yang berusaha untuk
menggambarkan sebuah kenyataan atau fenomena, sehingga dari sana bias
diidentifikasi cirri-ciri yang diinginkan. Hal ini terlihat saat peneliti
berusaha memaparkan prosedur pembuatan fatwa. Kedua, komparasi yaitu bentuk
penelitian yang berusaha menemukan persamaan atau perbedaan sesuatu terhadap
sesuatu yang lain. Ini terlihat saat peneliti membandingkan fatwa-fatwa MUI
dengan teks fikih klasik (syafi’i). Pendekatan ini juga digunakan untuk melihat
seberapa jauh tanggapan masyarakat terhadap fatwa dan pengaruh sosio politik
yang mempengaruhinya. Dalam kacamata fikih kontemporer, teori ini juga dikenal
dengan teori talfiq.
G.
Ruang
Lingkup Dan Istilah Kunci Penelitian
Studi yang dilakukan oleh Atho
Mudzhar ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penelitian agama dengan
menjadikan fenomena budaya – dalam hal ini adalah fatwa-fatwa MUI, yang menjadi
bagian dari produk-produk atau bentuk-bentuk hukum Islam, sebagai objek
kajiannya dengan menggunakan kerangka teori dan analisis sosiologi. Penelitian ini memanfaatkan data-data literatur
(library research) beserta data-data lapangan (field research) sekaligus.
Utamanya adalah sejumlah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI sejak tahun
1975-1988.
Istilah kunci yang dipakai dalam penelitian
ini adalah fatwa, hukum Islam dan sosiologi.
H.
Kontribusi
Bagi Ilmu Pengetahuan
Fatwa-fatwa
yang dikeluarkan oleh badan fatwa MUI menurut Atho’ Mudzhar sudah barang tentu
tidak terlepas dari kondisi dan lingkungan yang mempengaruhinya. Pengaruh itu
Tidak hanya bersumber dari para mufti dan cendikiawan muslim yang lansung
berinteraksi dengan nash yang akan difatwakan menjadi sebuah naskah, dan dijalankan
sebagai sebuah anjuran atau nasihat yang tidak mengikat. Pengaruh social-budaya
dan politik secara signifikan turut berpengaruh terhadap eksistensi fatwa.
Artinya, secara tidak lansung fatwa harus sejalan dengan kondisi social
masyarakat dan sejalan dengan pemerintah selaku pengatur dan pengambil
kebijakan. Kecendrungan itu terlihat ketika MUI berperan aktif membantu
beberapa program pemerintah, seperti fatwa peternakan kodok, KB, IUD, dan lain
sebagainya. Walaupun begitu, secara umum fatwa disusun sedemikian rupa untuk
mengatasi dan menjawab perkembangan zaman.
Secara metodologi, jelas bahwa fatwa bukanlah bersumber dari kaedah
hokum Islam yang bersifat klasik. Fatwa tidak mengikuti pandangan siapapun
secara menyuluruh, namun fatwa mempunyai pola tersendiri. Bagi beberapa fatwa,
argument atau landasan utama yang dipakai tetaplah bersumber dari Al Qur’an dan
hadis, dan beberapa diantaranya juga merujuk pada kitab-kitab fikih, hanya saja
pola yang dipakai berbeda secara umum. Akan tetapi ada pula fatwa yang lansung
diinterpretasikan melalui metode rasional, tanpa menggunakan nash/dalil sama
sekali. Hal ini dikarenakanan secara teori MUI percaya sebuah fatwa dapat
dikeluarkan ketika MUI telah mempelajari secara mendalam keempat sumber hokum
Islam yaitu Al Qur’an, hadis, Qiyas, dan Ijma’.
I.
Sistematika
Penulisan
Penelitian
ini bertolak dari suatu asumsi bahwa produk fatwa yang dikeluarkan MUI selalu
dipemgaruhi oleh setting sosio cultural dan sosio politik, serta fungsi dan
status yang harus dimainkan oleh lembaga tersebut. Produk – produk fatwa MUI
yang ditelitinya adalah terjadi di sekitar tahun 1975 sampai dengan 1988 pada
saat mana Menteri Agama dijabat masing-masing oleh A. Mukti Ali (1972-1978),
Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1985) dan Munawir Sjadzali (1983-1988).
Sementara itu Ketua MUI dijabat oleh K. H. Hasan Basri.
Hasil
penelitian Atho Mudzhar dituangkan dalam empat bab. Bab pertama mengemukakan
tentang latar belakang karakteristik Islam di Indonesia serta pengaruhnya
terhadap corak hukum Islam. Karakteristik tersebut dilihat dalam empat aspek,
yaitu latar belakang kultur, doktrin teologi, struktur social dan ideology
politik, selanjutnya, pada bagian ini juga dikemukakan tentang kondisi hukum Islam
di Indonesia serta berbagai lembaga yang memegang kekuasaan hukum tersebut
mulai dari periode penjajahan sampai dengan periode Indonesia merdeka. Berbagai
muatan pemikiran yang dikemukakan pada bagian pendahuluan ini digunakan sebagai
alat untuk menganalisa berbagai produk fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama.
Dengan demikian penelitian ini ingin melihat seberapa jauh latar belakang
budaya, doktrin teologi, struktur social dan ideologi politik yang dianut
masyarakat dan pemerintah Indonesia.
Pada bab
kedua, desertasi tersebut mengemukakan tentang MUI dari segi latar belakang
didirikannya, sosio politik mengitarinya, hubungan MUI dengan pemerintah dan
organisasi Islam serta organisasi non Islam lainnya dan berbagai fatwa yang
dikeluarkannya.
Pada bab
ketiga, penelitian dalam desertasi tersebut mengemukakan tentang isi
produk fatwa yang dikeluarkan oleh MUI serta metode yang digunakannya.
Fatwa – fatwa tersebut antara lain meliputi bidang ibadah ritual, masalah
keluarga dan perkawinan. Kebudayaan, makanan perayaan hari-hari besar agama
nasrani, masalah kedokteran, keluaraga berencana dan aliran minoritas dalam Islam.
Sedangkan
bab keempat adalah berisi kesimpulan yang dihasilkan dari studi tersebut. Dalam
kesimpulan tersebut dinyatakan bahwa fatwa MUI dalam kenyataannya tidak selalu
konsisten mengikuti pola metodologi dalam penetapan fatwa sebagaimana dijumpai
dalam ilmu fiqih. Fatwa – fatwa tersebut terkadang langsung merujuk pada Al –
Qur’an sebelum merujuk pada hadits dan pada kitab fiqih yang ditulis para ulama
mazhab. Sedangkan sebagian fatwa lainnya terkadang tidak didukung oleh argumen
yang meyakinkan, baik secara tekstual maupun rasional. Menurut peneliti hal ini
tidak berarti MUI tidak memiliki metodologi yang digunakan. Secara teoritis
setiap produk fatwa yang dikeluarkan MUI didasarkan pada landasan Al – Qur’an,
Al – Hadits, Ijma dan Qiyas yang dianut oleh mazhab Syafi’i. Namun dalam
prakteknya dasar – dasar hukum tersebut tidak selamanya diikuti.
J. Penutup
Penelitian Atho
Mudzhar bermanfaat dalam upaya membuka pikiran dan pandangan para ulama fiqih
di Indonesia yang cenderung kurang berani mengeluarkan fatwa, atau kurang
produktif dalam menjawab berebagai masalah actual yang muncul di masyarakat
sebagai akibat dari kekurang pahaman dalam memahami situasi dalam rangka
melahirkan produk hukum. Hukum Islam baik langsung maupun tidak langsung masuk
ke dalam kategori ilmu social. Hal ini sama sekali tidak mengganggu kesucian
dan kesakralan Al – Qur’an yang menjadi sumber hukum Islam tersebut. Sebab yang
dipersoalkan di sini bukan mempertanyakan relevan dan tidaknya Al – Qur’an
tersebut, tetapi yang dipersoalkan adalah apakah hasil pemahaman terhadap ayat
– ayat Al – Qur’an, khususnya mengenai ayat – ayat ahkam terbut masih sejalan
dengan tuntutan zaman atau tidak. Keharusan menyesuaikan hasil pemahaman ayat –
ayat Al – Qur’an yang berkenaan dengan hukum tersebut dengan perkembangan zaman
perlu dilakukan. Karena dengan cara inilah makna kehadiran Al – Qur’an secara fungsional
dapat dirasakan oleh masyarakat.
Daftar
Pustaka